Friday, December 26, 2014

Tentang Firasat

Manusia percaya bahwa kami para binatang mempunyai firasat bila sebuah bencana alam akan terjadi. Sehingga, kami mampu menyelamatkan diri kami sebelum kejadian. Tapi, bagaimana mungkin sih para binatang bisa mempunyai firasat?

Sesungguhnya, kami tak tahu apa itu firasat. Hanya saja, hidup kami para binatang dari awalnya selalu dekat dengan alam. Karenanya, kami pun mempunyai naluri. Meskipun sebagian dari kami seperti misalnya aku terbiasa hidup dengan manusia, naluri tetap kami miliki. Kemampuan kami membaca alam dengan naluri inilah yang dianggap oleh manusia sebagai firasat.

Lalu, bagaimana dengan para manusia? Dibandingkan dengan kami para binatang, kehidupan manusia tidak terlalu dekat dengan alam. Beberapa kelompok etnis yang masih mengandalkan hidup pada alam, mungkin masih mempunyai kemampuan dalam membaca gejala alam. Antara lain, dengan mengamati tingkah laku kami para binatang. Sedangkan mereka yang sudah jauh dari alam, terutama yang hidup di kota-kota besar, jangan diharap. Meskipun ada di antaranya yang bisa membaca sesuatu yang akan terjadi yang disebut sebagai firasat. Ada yang dengan cara membaca gelagat, ada juga yang bisa mengetahui sesuatu akan terjadi karena mempunyai indera keenam.

Membaca gelagat pun tak semua manusia dapat melakukannya. Bila seorang manusia (si A) melihat keanehan-keanehan tindakan atau perkataan dari seorang manusia lain (si B), si A hanya akan berpikir betapa anehnya si B. Ketika kemudian si B mengalami musibah besar sampai meninggal dunia, si A baru akan menyimpulkan bahwa keanehan-keanehan yang diperlihatkan si B sesungguhnya adalah pertanda. Bagaikan berpamit.

Pertanda juga dapat diterima seseorang manusia tentang dirinya sendiri, tapi, kemungkinannya ia tak menyadarinya. Sampai sesuatu terjadi pada dirinya. Seperti yang pernah dialami oleh Nina sekian dekade lalu. Waktu ia masih duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Tentu saja, kesadaran bahwa apa yang dirasakannya adalah sebuah firasat atau pertanda baru disadarinya setelah musibah menghampirinya.

Waktu itu, kebiasaan Nina pada hari Minggu pagi adalah menjemput sahabatnya di sekolah minggu. Dari sana, bersama mereka jalan kaki menuju rumah sang teman. Yang notabene berada di dekat rumah Nina.


Pada satu hari Minggu tertentu, ketika sedang siap-siap untuk berangkat, ada sebuah perasaan aneh melingkup diri Nina. Bulu roma seluruh badan berdiri semua. Ada seperti rasa panas yang datang dari ulu hati dan menjalar ke seluruh tubuh. Meski heran, Nina mengabaikan kondisi aneh tersebut.


Sahabat dijemputnya, dan berdua mereka jalan kaki pulang ke rumah si sahabat. Sambil nyemil kue kepang, kue mana yang sambil jalan diamati oleh Nina dengan seksama.


"Rajin
amat ya orang yang bikin kue ini," kata Nina.

Itu hal terakhir yang diingat Nina. Selanjutnya, samar-samar, dengan mata tertutup, ia melihat bayangan kepala-kepala orang.


"Mulai sadar dia," terdengar seseorang berkata.

Tak lama, matanya terbuka. Dengan heran Nina mendapati dirinya terbaring di sebuah sofa. Sejumlah orang mengelilinginya, dan mereka adalah para orang tua tetangga. Termasuk ibu sahabatnya. Ada juga ayah dan ibunya. Sewaktu hendak bangkit, nyeri menusuk di salah satu dengkul kakinya.

Rupanya, Nina pingsan. Tetapi, apa yang sebenarnya terjadi sih?


Tadi, saat ia berkomentar tentang kue kepang, tanpa disadarinya mereka tiba di jalan besar. Untuk mencapai rumah si teman, mereka harus menyeberangi jalan tersebut. Jalan tersebut sebagai jalan di pemukiman, memang tak terlalu ramai, tapi, bukan berarti tak ada kendaraan yang lalu-lalang di jalan satu arah tersebut. Pada saat Nina menyeberang dengan mata terpaku pada kue kepang tersebut, sebuah vespa melintas di jalanan.


Jger! Nina pun semaput. Sang sahabt menangis sambil menjerit memanggil ibunya. Ibunya keluar. Nina digotong masuk dan dibaringkan di sofa. Orangtuanya lalu dipanggil. Barangkali ada sedikit heboh. Tapi, bisa juga tidak. Mungkin saja peristiwa ini dianggap cuma sebagai salah satu cara Nina memperoleh luka, saking seringnya Nina terluka—tapi, orangtua mana
sih yang tak cemas melihat anaknya tertabrak!?

Entah berapa lama Nina pingsan, sudah lupa, katanya.

Vespa yang menabrak Nina dikendarai oleh seorang perempuan muda yang mengoncengi ibunya. Jalannya vespa perlahan saja. Karena itu mungkin meski pingsan dan salah satu dengkulnya luka, tak ada luka lain baik di dalam maupun di luar tubuh Nina. Dengan demikian, ia tak punya alasan untuk tidak masuk sekolah pada keesokan harinya.


Pengendara vespa juga terluka, omong-omong. Salah satu kakinya, pada bagian atas tapak kakinya, bengkak. Tertindih vespa rupanyanya. Ibunya sepertinya tak mengapa. Mereka berdua baru pulang setelah yakin Nina tidak apa-apa.


Setelah kecelakaan itu, Nina baru menyadari bahwa perasaan aneh yang dirasakannya pada pagi hari itu adalah sebentuk firasat. Sebuah pertanda yang seolah menyuruhnya untuk tinggal di rumah saja dan beristirahat. Kini, setelah sekian dekade lewat, Nina masih ingat perasaan yang tak nyaman itu. Bagaimana detilnya perasaan itu, dikatakannya bahwa ia tak dapat menjabarkannya dengan kata-kata.


Perasaan itu tak pernah dirasakannya sebelumnya, dan juga sesudahnya. Waktu diserang monyet, ketika jatuh dari motor, atau saat pulang berkemah di mana truk yang ditumpanginya terserempet sampai Nina terluka; tak ada perasaan pertanda seperti itu. Entah kenapa, hanya satu kali saja ada pertanda yang menghampirinya.


Tapi, mungkin lebih baik begitu. Karena, kalau sering-sering
kan Nina jadi khawatiran anaknya. Dan, bisa jadi dia tak akan berani melangkah lebar-lebar dalam hidupnya. =^.^=

No comments:

Post a Comment