=^.^=
Masih ingat dengan heboh komik asal Jepang Sin-chan—dan mungkin
juga anime-nya yang di tayangkan sebuah stasiun televisi swasta—yang merebak
beberapa tahun lalu? Waktu itu, para orangtua tiba-tiba menjadi berang akan
polah tingkah bocah tokoh utama di komik yang kerap mereka beli untuk anak-anak
kesayangan mereka. Kelakuan yang dianggap sebagai kelakuan yang tidak senonoh
dari sorang bocah, sehingga perlu melarang anak-anaknya membaca dan/atau
menontonnya. Pokoknya, sungguh-sungguh heboh deh.
Saya tak ingat adegan mana dan bagaimana tepatnya yang
membuat para orangtua tersebut menjadi kebakaran jenggot macam itu. Tapi, saya
ingat ada sepotong percakapan dari seorang keponakan yang rupanya sudah berhasil
‘dididik’ oleh orangtuanya, kepada keponakan yang lain.
“Ih, jangan baca komik Sin-chan! Jorok!!!” Maksud jorok di
sini adalah porno tentunya.
Mendengarnya, saya tak tahan untuk tidak nyengir. Lalu, belagak bijak dan coba-coba menjelaskan sesuatu yang berkaitan
dengan komik tersebut kepada dua keponakan tadi. Kata saya, memang sebetulnya
Sin-chan itu bukan komik anak-anak, maka, jorok atau tidak, ya tak pantas saja
bila dibaca oleh anak-anak. Penjelasan ini tidak bisa diterima oleh akal mereka.
Saya tak heran, sebab, umumnya pengertian komik, dan juga anime yang kadang
disebut sembarangan sebagai film kartun, digeneralisasikan sebagai media untuk
anak-anak. Nah…
Kenyataannya, oleh mangaka-nya
(penciptanya), almarhum Yoshito Usui, manga
(komik Jepang) Sin-chan—yang judul aslinya Crayon Sin-chan, memang tidak dibuat
untuk anak-anak. Saya tidak ingat lagi di mana saya membaca hal ini, atau apakah
ini merupakan hasil pembicaraan dengan teman-teman sesama penggemar manga di saluran mIRC waktu itu, bahwa Sin-chan
diciptakan untuk orang-orang dewasa mentertawakan diri mereka sendiri. Tentang
hidup yang sedemikian heboh karena kehadiran anak bandel semacam Sin-chan.
Sesuatu yang, saya rasa, bukan hal yang asing dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Sebagai contoh, sekurangnya satu kali dalam kehidupan ini kita pasti pernah
melihat bagaimana seorang bocah memanggil ibunya dengan nama si ibu, sebagaimana
yang kerap dilakukan oleh Sin-chan—“Misao!!! Misao!!!” demikian Sin-chan. Mengapa
bisa begitu, mungkin Anda akan bertanya. Jawabannya sederhana saja, anak, sebagai
proses belajar dalam hidupnya, cenderung mencontoh orang dewasa—ayahnya
Sin-chan kan memanggil ibunya dengan nama
kecilnya, Misao.
Di Jepang, manga
Sin-chan ini disebut sebagai seinen, yang
sasaran pembacanya adalah laki-laki dewasa dengan rentang usia antara 20 sampai
dengan 40 tahunan. Sebagai penjelasan, seinen
itu sendiri merupakan satu dari sejumlah kategori manga yang ada. Kategori lainnya antara lain adalah josei (untuk perempuan dewasa dengan
rentang usai antara 17-18 tahun sampai 30-40 tahunan, dan dikenal juga sebagai ledikomi atau redikomi, lafal Jepang untuk kata ladies’ comics), shounen
(untuk anak laki-laki antara 10 sampai 20 tahun), shoujo (untuk anak perempuan usia 10 sampai 17 tahun), dan kodomo-muke yang diperuntukan bagi anak-anak,
laki-laki dan perempuan, usia 10 tahun ke bawah. Disamping sejumlah kategori
lain yang berdasarkan pada bidang minat tertentu semisal sejarah, robot-robotan
dan lain-lainnya, yang sering-sering bisa termasuk juga ke dalam kategori yang
telah telah saya jelaskan tadi. Lalu, menyusul adalah, beberapa sub-kategori
lainnya. Banyak ya ternyata…
Kalau Sin-chan adalah seinen
dan bukan kodomo-muke, kenapa tokoh
utamanya anak-anak yang berusia lima
tahun? Demikian pertanyaan yang mungkin akan tercetus. Kalau bertanyanya ke
saya, saya akan menjawab bahwa di situ lah letak kecerdasan dari manga ini, yang memakai sudut pandang
anak kecil untuk melihat permasalahn orang-orang dewasa. Menarik, kan?
Masing-masing kategori manga
sebenarnya mempunyai ciri khas tersendiri. Latar belakang sebuah frame pada josei, misalnya¸ cenderung kosong atau bersih dari gambar-gambar
latar, atau dengan pemakaian tone
yang sangat minimal. Seinen dikenal
kerap menghadirkan gambar yang lebih realistis, sampai-sampai bila ceritanya
tentang kekerasan, adegannya bisa menjadi sangat disturbing. Namun, Usui-san menggambar Sin-chan dengan teknik yang sederhana,
dengan garis-garis yang tipis saja. Sin-chan memang bukan satu-satunya manga seinen yang gambarnya tidak realistis, tapi buat saya kesederhanaan
teknik menggambar Usui-san di sini merupakan salah satu daya tarik dari manga ini.
Tadi sudah disebutkan bahwa judul asli dari manga ini adalah Crayon Sin-chan. Kata
crayon (krayon) dipilih karena alat menggambar ini merupakan sarana yang banyak
dipakai di taman kanak-kanak, tempat Shinnosuke Nohara—nama lengkap
Sin-chan—bersekolah. Tambah lagi satu hal yang menarik dari manga ini. Tapi, mungkin justru karena
sebegitu kentalnya nuansa kanak-kanak pada judul manga ini, justru orang lalu menganggap Sin-chan sebagai material
hiburan buat anak-anak. Anggapan yang tentu saja terbentuk oleh dukungan
presepsi salah kaprah yang sudah berakar kuat. Bahwa komik dan anime merupakan
bacaan anak-anak belaka. Stereotip yang absurd…
Kenapa ya, bisa demikian? Padahal, kalau orang berbicara
tentang komi-komik Marvel, atau komik-komik lokal macam Si Buta Dari Gua Hantu
atau Gundala Putra Petir, orang akan langsung memahaminya sebagai bukan bacaan anak-anak.
Jadi, kenapa dong stereotip di atas tidak
bisa diangkat dari jenis-jenis komik lainnya? Sungguh sebuah misteri…
(Yoshito Usui yang pamit untuk pergi mendaki gunung, pada 12
September 2009 dilaporkan hilang oleh keluarganya. Pada 19 September-nya,
jenazah laki-laki yang berpakaian yang sama dengan yang dikenakan Usui sesuai
dengan laporan dari keluarganya, ditemukan di Gunung Arafune di Perfektur
Gunma. Berdasarkan catatan gigi [dental
record], keluarga Usui menyatakan jenazah tersebut adalah almarhum Usui)