Tulisan lama Nina, sebuah
kritik fotografi, yang pernah dimuat di harian KOMPAS Minggu, 06-07-1997,
halaman 24. Tulisan di bawah adalah versi editan Kompas. Versi asli sudah tidak
jelas ke mana....
=^.^=
PADA sebuah kafe. Di tengah
alunan musik, di sela obrolan ringan golongan menengah atas Jakarta, terhampar
foto-foto wajah molek para model yang sering tampil di sampul maupun berita
media cetak. Foto-foto tersebut seakan menjadi bagian ruang santai berkelas
di bilangan Kemang tersebut. Di sudut
lain, di sebuah ruangan yang lebih terang, terpampang foto-foto yang lain lagi
ragamnya, mulaidari tukang sepatu, gadis desa, sampai selebritis.
Nilai sebuah karya seni,
sebagaimana dipercaya banyak orang,sering tergantung pada banyak hal. Misalnya,
bobot karya itu sendiri, apresiasi kritikus, institusi ruang pamer, akses
bisnis dan lain sebagainya. Benno Harun, fotografer muda lulusan Academy of Art
San Francisco yang baru empat tahun lalu merintis karirnya di blantika foto
Indonesia rupanya paham benar keterkaitan tersebut. Sebagai fotografer yang
punya perhatian terhadap bidang desain grafis, ia memanfaatkan elemen ruang
dengan sangat baik. Penempatan foto-foto para model di ruang utama kafe,
sementara jenis lainnya di ruang galeri,
menunjukkan kejelian tersebut.
Secara garis besar foto yang
dipamerkan terdiri atas dua kategori, pribadi dan pesanan. Karya pesanan
mempunyai dua tema: perjuangan dan wanita Indonesia. Pada tema wanita Indonesia
tampil potret perempuan desa dengan setting kuno, berlatar belakang lukisan mooi
indie (4). Sentuhan tata rias dari pakarnya dan pilihan tata lampu yang tepat
membuat foto-foto tersebut tampil cemerlang. Secara fotografis Benno berhasil
menampilkan nuansa kecantikan masa lalu, bahkan lebih cantik dari foto kuno
yang kita kenal. Sebagai foto kangen-kangenan, ia berhasil mengusik kerinduan
akan eksotisme tempo doeloe.
Namun, tidak banyak yang dapat
dikomunikasikan lewat fotosemacam itu. Konsep yang hanya menyentuh permukaan
tidak memberiruang eksplorasi yang lebih jauh. Foto semacam ini hanya
mengandalkan kekuatannya pada sensasi retina belaka. Tidak ada kedalaman sama
sekali. Sebagaimana diungkapkan Benno, "Ide dasarnya memang hanya sebatas
membuat foto dengan setting kuno."
Sementara itu foto dengan tema
perjuangan walaupun sama-sama foto pesanan, secara konsep lebih kuat dan karena
itu foto yang tampil pun terasa lebih berisi. Di sini Benno berusaha
menampilkan subyek secara utuh. Menurut penuturannya, dalam pengerjaannya ia
berusaha membuat pendekatan yang dalam. "Saya bahkan membiarkan mereka
memilih props-nya sendiri, demi menjaga keutuhan penampilan mereka," ujar
Benno. Tak heran bila di sini Benno lebih berhasil menampilkan subyek secara
menonjol. Apalagi ditunjang latar polos berwarna kusam. Namun demikian latar
tersebut - sering dipakai dalam pemotretan mode - yang seharusnya
mendramatisasi keadaan, malah menampilkan kesan gemerlap. Padahal menurut
pengakuan Benno ia sangat tersentuh akan penderitaan mereka.
Keengganan Benno campur tangan
terlalu banyak dalam proses pemotretan mengakibatkan beberapa kejanggalan yang
mengganggu. Haltersebut terutama terlihat dari sikap tubuh mereka (3). Disadari
atau tidak, memindahkan subyek dari konteksnya akan mengakibatkanmereka merasa
gamang. Di sinilah diperlukan sentuhan fotografer - dengan kepekaan dan
sensibilitas tinggi - untuk membangun kembali keutuhan eksterior maupun
interior si subyek.
Mengenai kontradiksi ini
(membebaskan subyek demi kewajaran, tapi di sisi lain memaksa mereka keluar
dari konteksnya untuk difotodi studio) Benno memberikan alasan demi
kesederhanaan. Pemakaian latar polos dilakukan juga untuk memberikan kesan
sederhana supaya obyek tampil lebih dominan dan lebih mudah dicerna umum.
Menurutnya, sebagai foto pesanan bila 75 persen ide pemotret bisa masuk, sudah
oke. Yang 25 persen lagi buat klien karena mereka butuh batu loncatan untukbisa
mengapresiasi karya yang total pribadi.
***
PADA karya Benno pribadi,
muncul dua jenis foto: selebritis dan model. Keduanya digarap dengan
pencahayaan dan setting sederhana.
Di sini Benno tampil lebih
berhasil. Pada foto para model (1) ia berhasil menampilkan eksistensi subyek
lewat nilai estetika. Penataan cahaya yang sederhana dan pemaksimalan grafis
menjadikan kesederhanaan muncul sebagai kekuatan. Walaupun bukan sebuah
terobosan dominan, paling tidak Benno berhasil memberi warna berbeda dalam
khasanah foto mode Indonesia yang nyaris mandek. Pada foto ini terlihat Benno
lebih in touch karena ia dan subyek sama-sama akrab dengan dunia mode dan foto.
Foto pribadi yang lainnya
adalah para selebritis yang dieksplotasi dari sisi kartun (2). Foto-foto ini
tampil paling menarik karena sekaligus merekam sisi gemerlap mereka - Benno
berasal dari latar belakang kelas sosial yang kurang lebih sama sehingga bisa
langsung menangkap simbol-simbol mereka - tanpa terjebak menampilkan mereka
seperti badut.
"Sisi humor saya harap
bisa menjadi stopper bagi pemirsa untuk lebih mengamati, karena kita sudah
jenuh dengan persoalan berat,"ungkap Benno. Ia juga menjelaskan, foto-foto
pada pameran ini memangtidak dipersiapkan khusus. Semua berlangsung atas
permintaan rekansemasa sekolah yang kebetulan mengelola kafe dan galeri.
Pamerannya yang berlangsung di TC cafe Kemang yang dikaitkan dengan ulang
tahunke 470 Jakarta, 22 Juni 1997 lalu, dilangsungkan atas permintaan salah
satu rekannya.
***
SEBAGAI pameran foto, bisa
dibilang Benno cukup berhasil. Karya-karyanya menarik disimak. Karya pribadinya
berhasil membuat pengunjung berhenti mengamati. Terlihat di sini Benno selalu
berhasil merekam sisi cemerlang, gemerlap dari segala hal. Namun apakah dalam
merekam kehidupan wong cilik, sisi gemerlap masih harus menonjol? Pertanyaan
untuk direnungkan, mengingat pernyataan Benno, ia lebih suka fotonya tampil
powerful dibandingkan beautiful.
Sebagai fotografer yang sempat
mengenyam pendidikan seni rupa fotografi di sebuah institusi di Amerika,
seyogyanya ia tidak hanya bermain dengan tema yang hanya menyentuh permukaan
saja tapi harus mampu melangkah kepersoalan yang lebih dalam.
Namun demikian, sebagai
fotografer muda yang baru memulai kiprahnyadi Indonesia, kehadiran Benno dalam
khasanah foto di negeri ini sangat menjanjikan. Apalagi ditunjang pendidikan
formalnya yang memberinya kesempatan memiliki studi banding yang luas serta
keterbukaannya menerima kritik dan saran. Diharapkan di masa mendatang di
Indonesia akan lahir fotografer komersial yang bisa disejajarkan dengan Annie
Lebowitz atau Herb Rits yang foto-foto potretnya mampu menampilkan karakter
subyek secara dalam dan memvisualkan idenya secara lugas.*
(Klik, pengamat fotografi jalanan)
Artikel di Kompas Minggu