Friday, October 31, 2014

SISI GEMERLAP BENNO HARUN



Tulisan lama Nina, sebuah kritik fotografi, yang pernah dimuat di harian KOMPAS Minggu, 06-07-1997, halaman 24. Tulisan di bawah adalah versi editan Kompas. Versi asli sudah tidak jelas ke mana....


=^.^=


   PADA sebuah kafe. Di tengah alunan musik, di sela obrolan ringan golongan menengah atas Jakarta, terhampar foto-foto wajah molek para model yang sering tampil di sampul maupun berita media cetak. Foto-foto tersebut seakan menjadi bagian ruang santai berkelas di  bilangan Kemang tersebut. Di sudut lain, di sebuah ruangan yang lebih terang, terpampang foto-foto yang lain lagi ragamnya, mulaidari tukang sepatu, gadis desa, sampai selebritis.

   Nilai sebuah karya seni, sebagaimana dipercaya banyak orang,sering tergantung pada banyak hal. Misalnya, bobot karya itu sendiri, apresiasi kritikus, institusi ruang pamer, akses bisnis dan lain sebagainya. Benno Harun, fotografer muda lulusan Academy of Art San Francisco yang baru empat tahun lalu merintis karirnya di blantika foto Indonesia rupanya paham benar keterkaitan tersebut. Sebagai fotografer yang punya perhatian terhadap bidang desain grafis, ia memanfaatkan elemen ruang dengan sangat baik. Penempatan foto-foto para model di ruang utama kafe, sementara jenis lainnya di ruang  galeri, menunjukkan kejelian tersebut.

   Secara garis besar foto yang dipamerkan terdiri atas dua kategori, pribadi dan pesanan. Karya pesanan mempunyai dua tema: perjuangan dan wanita Indonesia. Pada tema wanita Indonesia tampil potret perempuan desa dengan setting kuno, berlatar belakang lukisan mooi indie (4). Sentuhan tata rias dari pakarnya dan pilihan tata lampu yang tepat membuat foto-foto tersebut tampil cemerlang. Secara fotografis Benno berhasil menampilkan nuansa kecantikan masa lalu, bahkan lebih cantik dari foto kuno yang kita kenal. Sebagai foto kangen-kangenan, ia berhasil mengusik kerinduan akan eksotisme tempo doeloe.

   Namun, tidak banyak yang dapat dikomunikasikan lewat fotosemacam itu. Konsep yang hanya menyentuh permukaan tidak memberiruang eksplorasi yang lebih jauh. Foto semacam ini hanya mengandalkan kekuatannya pada sensasi retina belaka. Tidak ada kedalaman sama sekali. Sebagaimana diungkapkan Benno, "Ide dasarnya memang hanya sebatas membuat foto dengan setting kuno."

   Sementara itu foto dengan tema perjuangan walaupun sama-sama foto pesanan, secara konsep lebih kuat dan karena itu foto yang tampil pun terasa lebih berisi. Di sini Benno berusaha menampilkan subyek secara utuh. Menurut penuturannya, dalam pengerjaannya ia berusaha membuat pendekatan yang dalam. "Saya bahkan membiarkan mereka memilih props-nya sendiri, demi menjaga keutuhan penampilan mereka," ujar Benno. Tak heran bila di sini Benno lebih berhasil menampilkan subyek secara menonjol. Apalagi ditunjang latar polos berwarna kusam. Namun demikian latar tersebut - sering dipakai dalam pemotretan mode - yang seharusnya mendramatisasi keadaan, malah menampilkan kesan gemerlap. Padahal menurut pengakuan Benno ia sangat tersentuh akan penderitaan mereka.

   Keengganan Benno campur tangan terlalu banyak dalam proses pemotretan mengakibatkan beberapa kejanggalan yang mengganggu. Haltersebut terutama terlihat dari sikap tubuh mereka (3). Disadari atau tidak, memindahkan subyek dari konteksnya akan mengakibatkanmereka merasa gamang. Di sinilah diperlukan sentuhan fotografer - dengan kepekaan dan sensibilitas tinggi - untuk membangun kembali keutuhan eksterior maupun interior si subyek.

   Mengenai kontradiksi ini (membebaskan subyek demi kewajaran, tapi di sisi lain memaksa mereka keluar dari konteksnya untuk difotodi studio) Benno memberikan alasan demi kesederhanaan. Pemakaian latar polos dilakukan juga untuk memberikan kesan sederhana supaya obyek tampil lebih dominan dan lebih mudah dicerna umum. Menurutnya, sebagai foto pesanan bila 75 persen ide pemotret bisa masuk, sudah oke. Yang 25 persen lagi buat klien karena mereka butuh batu loncatan untukbisa mengapresiasi karya yang total pribadi.

                                   ***

   PADA karya Benno pribadi, muncul dua jenis foto: selebritis dan model. Keduanya digarap dengan pencahayaan dan setting sederhana.

   Di sini Benno tampil lebih berhasil. Pada foto para model (1) ia berhasil menampilkan eksistensi subyek lewat nilai estetika. Penataan cahaya yang sederhana dan pemaksimalan grafis menjadikan kesederhanaan muncul sebagai kekuatan. Walaupun bukan sebuah terobosan dominan, paling tidak Benno berhasil memberi warna berbeda dalam khasanah foto mode Indonesia yang nyaris mandek. Pada foto ini terlihat Benno lebih in touch karena ia dan subyek sama-sama akrab dengan dunia mode dan foto.

   Foto pribadi yang lainnya adalah para selebritis yang dieksplotasi dari sisi kartun (2). Foto-foto ini tampil paling menarik karena sekaligus merekam sisi gemerlap mereka - Benno berasal dari latar belakang kelas sosial yang kurang lebih sama sehingga bisa langsung menangkap simbol-simbol mereka - tanpa terjebak menampilkan mereka seperti badut.

   "Sisi humor saya harap bisa menjadi stopper bagi pemirsa untuk lebih mengamati, karena kita sudah jenuh dengan persoalan berat,"ungkap Benno. Ia juga menjelaskan, foto-foto pada pameran ini memangtidak dipersiapkan khusus. Semua berlangsung atas permintaan rekansemasa sekolah yang kebetulan mengelola kafe dan galeri. Pamerannya yang berlangsung di TC cafe Kemang yang dikaitkan dengan ulang tahunke 470 Jakarta, 22 Juni 1997 lalu, dilangsungkan atas permintaan salah satu rekannya.

                                  ***

   SEBAGAI pameran foto, bisa dibilang Benno cukup berhasil. Karya-karyanya menarik disimak. Karya pribadinya berhasil membuat pengunjung berhenti mengamati. Terlihat di sini Benno selalu berhasil merekam sisi cemerlang, gemerlap dari segala hal. Namun apakah dalam merekam kehidupan wong cilik, sisi gemerlap masih harus menonjol? Pertanyaan untuk direnungkan, mengingat pernyataan Benno, ia lebih suka fotonya tampil powerful dibandingkan beautiful.

   Sebagai fotografer yang sempat mengenyam pendidikan seni rupa fotografi di sebuah institusi di Amerika, seyogyanya ia tidak hanya bermain dengan tema yang hanya menyentuh permukaan saja tapi harus mampu melangkah kepersoalan yang lebih dalam.

   Namun demikian, sebagai fotografer muda yang baru memulai kiprahnyadi Indonesia, kehadiran Benno dalam khasanah foto di negeri ini sangat menjanjikan. Apalagi ditunjang pendidikan formalnya yang memberinya kesempatan memiliki studi banding yang luas serta keterbukaannya menerima kritik dan saran. Diharapkan di masa mendatang di Indonesia akan lahir fotografer komersial yang bisa disejajarkan dengan Annie Lebowitz atau Herb Rits yang foto-foto potretnya mampu menampilkan karakter subyek secara dalam dan memvisualkan idenya secara lugas.*
(Klik, pengamat fotografi jalanan)

Artikel di Kompas Minggu
 

Pameran Foto Susan Kemenesi dan Agus Leonardus: IMAJI DAN KENYATAAN



Satu lagi tulisan lama Nina yang merupakan sebuah kritik fotografi. Dimuat di harian KOMPAS Minggu, 20-07-1997, halaman 24. Tulisan di bawah adalah versi editan Kompas berhubung versi aslinya sudah tidak jelas ke mana....


=^.^=

   BAHWA sebuah foto bermakna seribu kata bukan lagi adagium yang sepenuhnya benar. Sesungguhnya, foto adalah imaji yang terperangkap dalam penggalan waktu sehingga terlepas dari konteksnya. Jadi, foto tidak dengan sendirinya merekam makna, karena makna diberikan oleh
pemirsa, sesuai dengan rangsang yang bangkit dalam imajinasi. Fotonya sendiri hanya berfungsi sebagai pemicu bagi pemirsa untuk merefleksikan pengalamannya. Fitrah inilah yang sering dieksploitir
fotografer dalam mengomunikasikan gagasannya, dengan mengarahkan imajinasi pemirsa lewat judul atau teks foto, pengantar di katalog dan sebagainya.

   Dalam pameran foto di galeri TC yang berlangsung sampai 22 Juli 1997, pemirsa bisa melihat betapa ide dapat dipaparkan dengan gamblang lewat visualisasi serangkaian foto; atau malah sebaliknya. Dua orang fotografer dengan latar belakang dan pendekatan komunikasi berbeda, bercerita tentang dunia mereka lewat pameran berjudul bombastis International Photo Exhibition, Worlds and Zones.

   Zsuzsanna Kemenesi atau Susan (26) dari Hongaria, saat ini tengah belajar di ISI Yogyakarta. Tadinya ia merupakan mahasiswi jurusan pendidikan visual dan jurusan komunikasi di Universiy of Pecs, Hongaria. Para seniman yang hidup di negara-negara Eropa Timur di mana sensor sangat ketat, dalam berkarya cenderung memakai bahasa nonverbal. Kritik maupun gagasan selalu dibungkus dalam idiom
multiarti. Tak heran bila Susan memilih gaya personifikasi dalam karyanya. Kata pengantarnya di katalog mengandaikan keberadaan sebuah dunia maya yang disebutnya Infranesia. Sebuah ruang tanpa batas, di mana segala sesuatu menjadi mungkin. "All the magic of their world is that they can desire contradictions, opposites without restriction."

   Lewat foto-foto hitam putihnya yang dibuat tak hanya di Indonesia, ia mengajak bertualang ke dunia Infranesia-nya. Dunia dalam segmen foto yang bebas diberi makna sendiri. Susan tidak membatasi imaji pemirsa, ia hanya memberi judul pada foto-fotonya, yang dalam katalog ditata apik secara grafis, dan pengantar sebagai pembimbing yang membuat pemirsa lebih bebas bertualang.

   Fotonya berjudul Sunny Night (4) yang menggambarkan refleksi sinar matahari di jalanan basah menggambarkan siluet orang dengan sepeda di ujung jalanan, merangsang imaji untuk meluaskan horison ke arah ruang antah berantah, yang menjanjikan petualangan menarik di suatu malam saat terang bulan. Atau, Road to Paradise, foto puncak tanjakan jalan raya yang ujungnya tak terlihat sehingga membuat orang tergelitik rasa penasaran: apa yang ada di balik tanjakan itu? Imajinasi yang ditimbulkan foto bisa menyenangkan atau menakutkan.
   Manhunt (3), foto dengan siluet burung di sudut kanan yang terancam (siluet) alat pemotong kawat, adalah gambaran ancaman teknologi pada alam.

Esensi
   Dalam menggarap foto-fotonya, Susan tidak pernah berusaha menangkap realitas kehidupan. Ia melihat sesuatu bukan sebagaimana adanya, tapi sebagai sesuatu yang dapat dimetamorfosiskan. Ia pun tidak memperhitungkan segi estetika, tapi menangkap esensi. Sebagai wanita muda dalam pengalaman dan usia, ia berusaha mengungkapkan perasaan, mimpi dan pengalaman batinnya lewat gambar yang penuh tenaga. Namun demikian, kebanyakan foto tersebut hanya berhasil mengusik angan-angan
akan sesuatu yang sering kita khayalkan. Susan belum mampu menggiring pada perenungan yang mengarah pada pemahaman nilai-nilai baru. Fotonya berjudul 1, 2, 3; yang mungkin bermaksud menggambarkan hubungan manusia dan Khaliknya, terasa hanya menyentuh permukaan. Bandingkan
dengan foto Agus Leonardus berjudul Remember Him. Foto ini memperlihatkan bidang gelap terpotong secara diagonal oleh seberkas cahaya yang melebar di bawah. Di bagian bawah berkas cahaya terdapat
siluet salib. Foto ini terasa lebih kuat dan menggiring pemirsanya pada perenungan.

   Agus Leonardus, rekan berpameran Susan, asal Yogya, punya latar belakang pendidikan di fakultas ekonomi. Pada 1978 ia mulai belajar fotografi lewat Salon Foto Indonesia. Sebagian besar foto-fotonya
bergaya salon dengan obyek human interest. Menurut Agus, foto tersebut dibuat dengan dasar pamrih (pujian, menang lomba, jualan atau lainnya).

   Dalam pameran kali ini, Agus menyajikan foto yang sangat berbeda. Ia mengeksploitir detail benda-benda yang ada di sekelilingnya dan mentransformasikannya ke sesuatu yang lain. Bila Susan lewat fotonya menangkap esensi kejadian atau benda agar termetamorfosa menjadi nilai-nilai baru, penekanan Agus sangat berbeda. "Impuls saya paling tergerak bila melihat warna. Mungkin itu sebabnya kenapa foto hitam putih kurang memuaskan bagi saya," katanya. Memang terlihat Agus sangat mengandalkan penekanan pada warna dan pola, termasuk warna pigura. Tak heran bila foto-foto tersebut terasa sangat dekoratif.

   Dari sekian banyak unsur estetika (warna, tekstur, gradasi, grafis dan lain sebagainya), warna memang unsur yang paling mudah merangsang mata. Tetapi, sensasi warna saja tidak cukup kekuatannya untuk
merangsang imajinasi pemirsa agar memberikan nilai-nilai baru pada sebuah karya. Para penganut mazhab komposisi ini (disebut juga "Westonian", dari nama fotografer yang mengembangkan aliran ini,
Edward Weston) berkarya dengan melakukan isolasi atau menyederhanakan obyek lewat kemampuan kamera (fokus, ruang tajam, framing, jenis film dan sebagainya). Penyederhanaan ini bertujuan agar obyek yang difoto tertransformasi menjadi sesuatu yang baru. Bentuk aslinya tidak dapat dikenali lagi, sementara maknanya mengikuti khayalan si pemirsa.

   Dalam kebanyakan karya Agus di sini, isolasi tersebut tidak bisa dibilang berhasil. Dengan mudah asal-muasal foto dapat ditebak: jangkar, dinding rumah, layar, gelas dan tembok dan seterusnya. Sementara itu, pola dan warna yang menjadi andalan kekuatan foto terasa kurang bertenaga. Dari sekian banyak foto yang dipamerkan, hanya beberapa yang bisa dibilang berbeda. Misalnya foto sepotong jangkar (1). Dari sudut transformasi foto ini cukup berhasil. Sayangnya sangat verbal mengarah pada bentuk palus. Foto berjudul Loneliness (2) walaupun secara transformasi gagal, masih mempunyai tenaga. Dinding retak-retak membawa imajinasi pemirsa pada kengerian perang saudara di Haiti atau aparteid di Afrika Selatan.

   Namun secara umum foto-foto Agus cukup enak dipandang, karena sifatnya dekoratif. Barangkali agak berlebihan bila mengharapkan bobot dari foto-foto demikian. Yang justru mengganggu adalah judulnya yang terlalu dipaksakan sehingga terasa berlebihan dan tidak menjadi pembimbing bagi pemirsa. Sebaliknya, judul itu malah menjadi antiklimaks bagi imajinasi. Foto Chinese New Year, misalnya. Warna
merah yang ditampilkan enak dilihat, sayang judulnya mematahkan imajinasi. Foto Nude, biarpun tak jelas mengarahkan ke mana, transformasinya bisa dibilang berhasil. Lagi-lagi judulnya mementahkan
kekuatan foto. Barang kali benar juga apa yang dikatakan Agus bahwa ia tidak suka dengan judul karena bisa jadi pembatas.

   Terlepas dari segala macam kekurangan yang ada, secara keseluruhan pameran foto ini tetap menarik disimak. ***
 (Nina Y Masjhur, anggota Klik, kelompok fotografi jalanan)


Artikel di KOMPAS Minggu, 20-07-1997

Mie Ayam



Mi ayam, atau yang lebih kerap ditulis sebagai mie ayam, adalah makanan yang sangat digemari para manusia. Jenis makanan itu dapat diperoleh di mana-mana. Baik di restoran yang berpendingin, maupun di pinggir jalan nan panas berdebu. Yang terakhir biasanya dijajakan oleh penjualnya dengan gerobak yang bentuknya sangat khas. Sedemikian khas-nya, kalau seseorang manusia meligat gerobak macam itu, dia segera tahu bahwa itu adalah penjual mie ayam. Sebaliknya, kalau ia ingin makan mie ayam, maka ia akan mencari gerobak berbentuk khusus tersebut.

Standarnya mie ayam ini terdiri dari sekepal mie telur berkuah yang diberi sejumlah bahan. Mie tersebut sebelumnya selama beberapa menit direndam dalam air mendidih yang berada di atas kompor bersama daun sawi. Lalu, diletakan di sebuah mangkuk. Disusul dengan potongan daun bawang, cacahan daging ayam yang sudah diolah, tongcai, garam, merica, dan, terkadang bumbu penyedap yang ditengarai tak sehat itu. Lalu, kuah kaldu ayam pun disiramkan. Lain metode, kuah tak disiramkan pada mie dan kawan-kawannya itu. Melainkan, di taruh terpisah pada sebuah mangkok yang lebih kecil. Yang suka pedas boleh pakai sambal, atau saus yang kadang dianggap saus tomat atau saus sambal, tapi sebenarnya entah apa bahannya. Mungkin bahannya cabai juga. Atau, entah apa...

Dimakannya bisa begitu saja, dan kadang disebut polos. Kalau yang tak polos biasanya ditambahi baso daging atau pangsit. Atau, dua-duanya sekaligus. Terserah daya muat perut si pemesan.

Ada juga yang mie-nya diaduk dulu dengan kecap sebelum diberi bahan-bahan lainnya. Bisa yang asin atau manis, tergantung selera si manusia lah. Disebut yamin, tapi ada juga yang menyebutnya yami (eh, ataukan yamin dan yami ini punya arti yang berbeda ya?).

Seperti yang disebutkan di atas, mie-nya direndam dalam air mendidih yang berada di atas kompor. Itu artinya direbus, kan? Ya, betul. Tapi, kalau para manusia menyebut 'mie rebus', jenis masakannya lain lagi. Mie-nya sama-sama mie telur tapi bentuknya sedikit berbeda. Bahan-bahan pelengkapnya pun kebanyakannya tak sama. 'Lawan' dari mie rebus ini adalah mie goreng. Oya, ada satu lagi jenis mie berkuah lho! Namanya, mie masak. Dulu Nina sempat sangat menggemarinya. Mirip mie rebus tapi bahan-bahan lainnya bisa disebut segala ada. Baso daging dan baso ikan, cacahan daging dan hati ayam, udang, berbagai jenis sayuran, jamur.

Kembali ke mie ayam, makanan yang satu ini bisa menjadi makan kegemaran, tapi, nah ini hebatnya nih, juga bisa jadi makanan penyelamat dan survival food. Coba deh perhatikan. Kalau ada seseorang manusia yang lapar, kecenderungannya ia akan mencari mie ayam. Atau, kalau buntu dalam mencari ide hendak makan apa siang ini, sering ucapan tersebut di bawah ini yang keluar.

Mie ayam aja deh...

Sebuah jawaban yang membuat manusia yang mengucapkannya lalu menjadi terlepas dari beban maha berat untuk memikirkan menu apa untuk makan siangnya. Soal gizi? Hehehe..., terserah! Tapi, lumayan tuh ada ptotein nabati dan protein hewaninya.

Bahwa mie ayam itu adalah survival food, bisa diketahui dari dialog di bawah ini.

Hei, udah makan? tanya si A.

Sudah, makan mie ayam tadi. Laper banget sih, adanya mie ayam, ya udah makan itu aja deh, jawab B.

Jelas kan bahwa mie ayam itu survival food!? Kalau tidak makan mie ayam, si B itu pasti sudah mati kelaparan sebelum sempat ditanya oleh si A.

Mie ayam juga sering disebut sebagai bakmie ayam. Sebuah sebutan salah kaprah karena bak itu berarti babi—dari salah satu bahasa kelompok masyarakat Cina dari mana budaya mie itu berasal. Nina mengetahuinya secara kebetulan. Pada sekian dekade lalu, tepatnya 1987, di Pulau Seram, Maluku.

Waktu itu, setelah hidup di hutan selama tiga bulan, akhirnya Nina dan teman-teman satu ekspedisi kembali ke kota. Kota kecil saja yang bernama Wahai, yang pada masa itu merupakan sebuah kota kecamatan. Setelah sekian lama hidup dengan makanan kalengan, biskuit, oatmeal, coklat batangan, kiju, dan lainnya; kini terbuka kesempatan untuk makan makanan 'betulan'. Tersiar kabar bahwa ada sebuah tempat di mana manusia bisa makan bakmie. Bukan restoran atau warung, tapi di sebuah keluarga Cina setempat yang punya toko yang sama sekali bukan toko makanan. Ke sanalah Nina dan teman-teman berbondong-bondong datang.

Selamat malam, kami mau makan bakmie, sapa mereka pada yang punya rumah.

Silahkan masuk! kata bapak kepala keluarga di rumah itu.

Nina cs. dipersilahkan duduk di ruang tamu rumah keuarga itu, meriung di satu set sofa sederhana. Kan bukan restoran, jadi seadanya duduknya.

Tak lama, dari ruangan tengah terdengar pembicaraan dalam salah satu dialek bahasa Cina antara si bapak dengan istrinya. Tak makan waktu lama, si bapak keluar dan mengajak kami bicara.

Maaf, kami tidak punya daging babi. Kami hanya ada dendeng rusa, jelas si bapak.

Sebagai catatan, di pulau itu pada waktu itu, daging yang tersedia adalah daging rusa yang sudah didendeng supaya awet. Jenis daging lain sedikit lebih sulit untuk diperoleh.

Lho, kami ini nggak makan babi, pak, kami muslim, jelas salah satu teman Nina.

Begitu ya? Habis tadi mintanya bakmie," terang si Bapak. Lanjutnya, ‘’’Bak itu kan artinya babi.

Nina dan teman-temannya bengong. Lho lho lho lhooooo... Baru pada tahu ya... Padahal, ayahnya si Nina juga sudah tahu tuh. Nina saja yang tak pernah tanya-tanya ke ayahnya sendiri.

Nina itu termasuk penggemar mie ayam juga, ngomong-ngomong. Namun, menjadi vegan membuatnya berhenti menyantap makanan khas tersebut. Untungnya, ia lalu menemukan sebuah rumah makan vegetarian yang juga menjual mie ayam. Mie ayam vegetarian/vegan tentunya. Kuahnya bukan kaldu daging, cacahan ayamnya diganti unsur non hewani, dan, mie-nya bukan mie telur atau yang mengandung telur. Oya, ada pangsitnya juga lho! Patutlah Nina jadi girang banget.

Aku pernah bertanya ke Nina, dari semua mie ayam yang pernah dirasakannya, yang mana kiranya yang paling enak menurutnya.

Jangan tanya yang paling enak deh, Moy, sebab banyak tuh yang enak tapi beda-beda rasa enaknya. Meskipun demikian, aku bisa cerita soal mie ayam paling epic yang pernah kusantap, tegasnya.

Di manakah itu? Di Bandung, yang nama tempat dan jalannya pun sudah tak diingatnya lagi. Kejadiannya berlangsung beberapa tahun lalu. Sekitar tahun 2009 kalau tak salah—aku belum terbit tuh dalam kehidupannya Nina.

Waktu itu, di suatu malam minggu, Nina sedang nongkrong-nongkrong di galeri Antara di Pasar Baru itu. Barang Nina banyak, jadi oom Danny yang kerja di situ menawarkan untuk mengantarkan Nina pulang dengan mobilnya. Masuklah semua barang Nina ke bagasi mobilnya oom Danny. Tapi lalu tiba-tiba, oom Danny bilang begini...

“Ke Bandung yuk, mak,” kata oom Danny. “Temenin gue, lagi pengen makan mie ayam yang di Bandung nih,” sambungnya—‘mak’ adalah panggilan Nina di komunitas di situ.

Ya sudah, Nina sih ayo saja. Nina tahu bahwa di Bandung ada beberapa tempat di mana orang biasa makan mie ayam yang enak, jadi, kemungkinan itu salah satunya. Jam sembilan malam mereka pun meninggalkan galeri yang di Pasar Baru itu. Rencananya, pagi besok sehabis sarapan mie ayam yang diidamkan, langsung kembali ke Jakarta. Di mana menginap? Ah, bukan hal penting. Dan, sesampainya kembali di Jakarta nanti, si oom akan langsung mengantar Nina pulang.

Pergi ke Bandung lewat tol Cipularang. Lancar saja dan tak ada macet. Sampai di Bandung sekitar pukul sebelas. Makan malam sambil nongkrong di semacam mol di jalan Dago yang buka 24 jam. Jam satu malam sudah bosan, jadi mereka berdua lalu putar-putar kota Bandung.  Sampai oom Danny ngantuk, dan mobil di parkir di dekat sebuah taman. Sementara oom Danny tidur di mobil, Nina yang imsonia keluyuran di taman itu. Melihat kesibukan para loper koran yang sedang mengambil jatah koran paginya. Mengobrol dengan kucing-kucing liar yang bersedia nanggep Nina.

Jam tujuh pagi, dua manusia itu pun sampai di sebuah restoran masakan Cina dan memesan mie ayam. Mie ayamnya rasanya sih biasa-biasa saja kecuali bahwa sayurannya bukan sawi, melainkan daun selada. Yang berubah hitam ketika terkena air panas hehe...

Makan makan makaaaaan..., lalu dua manusia itu buru-buru kembali ke Jakarta. Oom Danny harus sampai di galeri sebelum jam sepuluh pagi. Akibat waktu yang mepet, tak ada tempo buat mengantar Nina terlebih dahulu. Maka, mereka langsung kembali ke galeri. Nina diantar pulang baru kemudian.

Berangkat dari galeri semalam pada pukul sembilan, tiba kembali jam sembilan pagi. Pas dua belas jam perjalanan epic demi semangkuk mie ayam itu. Tapi, sesungguhnya, yang paling epic dari semua itu adalah apa yang beberapa hari kemudian oom Danny ungkapkan ke Nina. Yang berbunyi kira-kira begini.

“Mak, kita kan salah tempat makan mie ayam di Bandung itu. Bukan yang itu benerannya, gue lupa sih tempatnya blahblahblah...”

Ya Nina bengong aja hahahaha....   =^.^=