Sudah tau belum, bahwa beberapa hari lalu Nina terjatuh di trotoar di jalanan depan Blok M Plaza, Jakarta Selatan. Matanya yang meleng membuat kaki kanannya melayang ke udara kosong. Dengkul kiri
pun mencium tepian trotoar. Berdarah deh—untung otaknya tak berada di situ ya...
Kejadian yang menimpanya ini mengingatkan Nina pada ibundanya.
Almarhumah dulu seorang supir yang handal. Ke mana-mana pasti menyetir sendiri. Pada saat beliau tidak mengendarai mobil sendiri,
beliau memilih naik biskota. Tahulah bagaimana bis kota di Jakarta, di mana ketika penumpang turun belum pun menapakkan satu kaki di jalan, kadang sudah langsung tancap gas.
Ditambah dengan kadang terserang vertigo, tak hanya sekali dua si ibu mendarat bukan tengan telapak kakinya ketika
turun dari bis kota. Melainkan, dengan
lututnya. Bikin cemas terutama karena beliau itu penderita diabetes.
Kembali ke lokasi trotoar tempat di mana Nina jatuh, di mana kita dapat melihat Nina yang meringis-ringis nyeri. Ada tiga titik luka. Makin
ke atas, makin parah. Pada bagian
atas betis terdapat baret-baret
rada panjang, sedangkan di bagian
bawah tempurung lutut baretnya lebih pendek
tapi lebih dalam. Sementara di lutut terpampang luka terbuka
yang lumayan dalam.
Sebagai upaya penanganan, Nina menekan luka yang di lutut. Berusaha agar darah tak
keluar. Sambil mengumpulkan kembali semangat hidup yang ikut terbang ke mana-mana.
"Sakitnya luar biasa, Moooy!" lapor Nina.
Aaah..., cengeng!
Untung saat itu Nina sedang bersama tante Lulu. Sang tante segera mengorek-korek tasnya
mencari plester instan yang selalu dibawa-bawanya. Luka di dengkul pun lalu sukses ditutupi plester supaya
darahnya tak berleleran. Perjalanan
masih panjang, Nina masih harus wira-wiri ke sana ke sini sehingga diharap
pelester tersebut akan membantu.
Terjatuh memang kerap
mewarnai (mengancam?) kehidupan Nina. Mungkin karena
kakinya yang cenderung tipe tapak rata, dan menonjolnya tulang kaki di dekat ke
dua jari jempol kakinya.
Kondisi kaki yang demikian, membuat Nina cenderung memilih sepatu yang rata dan
terbuka. Kesukaannya jalan kaki membuatnya merasa cocok dengan sepatu-sandal
gunung. Sempat mencoba dengan sepatu-sandal yang modelnya lebih manis untuk
perempuan, tapi akhirnya Nina memilih untuk tetap setia pada sepatu-sandal
gunungnya sebab lebih asik untuk
kakinya.
Kalau memilih sepatu Nina memang harus sangat hati-hati. Satu kali pernah dia menyukai sebuah sepatu model
kets tanpa tali. Alasnya terlihat empuk, sepertinya enak untuk dipakai jalan.
Bukan merek terkenal, tapi mungkin mencontoh
atau meniru model sepatu
olahraga dari merek ternama. Harganya murah, maka dibelinya dengan senang hati. Tapi, setiap kali Nina
memakai sepatu itu, ia pasti jatuh. Kalau tidak benar-benar jatuh, pasti
tersandung sesuatu. Atas saran sahabatnya, sepatu itu akhirnya dihibahkan ke
orang lain. Yang lalu aman-aman saja memakainya.
Gara-gara jatuh juga tulang ekor Nina jadi rada bergeser. Sekurangnya dua
kali dia terjatuh di tangga sih, ya nggak
heran. Terpeleset sampai jatuh terduduk, dan lalu menggelosor sampai beberapa jenjang
tangga ke bawah dengan pantatnya. Horor dirasakannya waktu kejadiannya!
Keseimbangan Nina memang buruk sih. Karena
itu, ia memang harus
hati-hati kalau melangkah. Atau,
berkendara. Untungnya dia sudah tak pernah naik sepeda motor lagi. Kalau tidak,
pasti entah sudah berapa ratus kali dia jatuh tuh! Sejauh ini sih hanya satu kali dia pernah jatuh dari motor yang
dikendarainya. Masa di sekolah menengah atas dulu. Tulang kering kaki kanannya sampai
sobek, dijahit di ruang gawat darurat RSCM. Mana motornya pinjaman pula...
Tapi, sebenarnya sedang diam pun bisa saja Nina tu jatuh. Misalnya, seperti yang pernah terjadi suatu waktu dulu. Masa ketika ia masih kuliah, saat dia dan saudara-saudara
sekandungnya masih tinggal dengan orangtua yang masih lengkap. Hari itu, Nina yang sedang duduk diam-diam dan asik
nonton televisi bermaksud untuk menggeser posisi duduknya. Tapi, aduh, ternyata ia bergeser terlalu jauh ke bagian
pinggir sofa yang tak berpegangan. Keseimbangan yang buruk ditambah tarikan
grafitasi bumi yang kuat, Nina pun jatuh menuju lantai.
Ajaibnya, jatuhnya tidak gubrag gabrug petakilan.
Melainkan, secara perlahan. Perlahaaan
sekali..., seperti adegan slow
motion dalam sebuah film atau adegan ulang dalam sebuah
pertandingan bola kaki. Konyolnya, dalam kondisi pasrah sebab tak bisa
menghentikan proses jatuh perlahannya itu, Nina merekam bagaimana ajaibnya ekspresi keheranan dan terbengong-bengong ayah dan adik laki-laki bungsunya yang menyaksikan adegan jatuh perlahan-lahannya
Nina.
Sebelum badannya gedubrag menyentuh lantai, terdengar suara 'ting!'
yang nyaring sekali. Hasil
sentuhan halus antara cincin perak di jemari Nina dan tabung gas yang ada di
sekitar. Untung hanya cincinnya yang beradu dengan benda biru itu. Apabils jarinya yang kena, dan dengan keras, pasti sakitnya luar biasa!
Jangan heran kalau kemudian yang paling kencang terbahak adalah Nina
sendiri. Sebab ia merasa geli dengan ekspresi wajah para penonton kejatuhannya.
Yang pernah bertemu dengan Nina umumnya menyadari
bahwa kedua tangannya itu, tepat di
bagian siku, bengkok adanya. Apalagi kalau bukan karena jatuh!
Kejadiannya adalah waktu umurnya sekitar empat
setengah tahun. Ketika jendela-jendela lebar dan besar yang bercokol di rumah
keluarganya masih belum dipasangin terali. Pada
suatu hari, tiga saudara laki-laki
Nina—satu kakak dan dua adik—yang masih
kecil-kecil juga, main kuda-kudaan di jendela. Bagaimana dengan Nina? Tidak ikutan tapi penuh dengan keinginan yang tercegahkan oleh kata-kata ibunya.
"Jangan ikut-ikutan
sama anak-anak laki-laki, Nin. Biar rasa sendiri, kalau nanti jatuh tanganya pada patah," demikian kira-kira ucapan ibunya.
Tapi, bukan berarti keinginan Nina untuk main kuda-kudaan di jendela
lebar itu pupus sama sekali.
Begitu sang ibu berhasil membuat tiga anak lelaki bandelnya beralih minat dan mau bermain bersama ibu di kamar, Nina
pun melihat kesempatan emas. Diserbunya jendela itu. Berhubung masih kecil dan
pendek, cukup sulit naik ke jendela yang tingginya sekitar satu meter dari
lantai. Biarpun sudah bertumpu pada kotak peralatan kerja ayah yang ada di situ.
Maka Nina pun melompat, tuiiiing! Dan, dengan manis ia mendarat di sisi
lain jendela. Jatuh dengan
posisi menelungkup, tangan kanan terpelintir di bawah badan.
Nina merasa ada yang aneh dengan tangan kanannya—sampai sekarang masih diingatnya rasa aneh itu—dan dia tahu
bahwa tangannya telah patah. Teringat Nina akan peringatan ibunya tadi, tentang kalau jatuh tangan bisa patah. Karenanya, meski tak sanggup bangun, ia diam saja. Tak berani bersuara, takut ketahuan ibu.
Entah berapa lama dia dalam
posisi itu sebelum akhirnya ditemukan ibu. Amarhum ibu dulu sempat bercerita bahwa ketika sedang seru-serunya
bermain dengan ketiga anak lelakinya di kamar, beliau tiba-tiba merasa ada sesuatu yang
salah. Karena, terlalu sepi di luar kamar, tak
ada suara apapun dari Nina.
Meski tak ingat bagaimana ia ditemukan sang ibu, tapi Nina ingat
beberapa hal berikutnya. Ayah yang
buru-buru pulang dari tempat dinasnya, masih memakai seragam AURI, segera memboyong Nina. Awalnya ke
dokter anak di daerah Polonia—daerah rumahnya
dulu—di Jakarta Timur. Nina tidak
turun dari mobil, sepertinya ayah hanya
berkonsultasi sebentar saja. Lalu mereka menuju ke rumah sakit umum
pusat yang sekarang disebut RSCM.
Waktu itu, awal 1966, situasi di Jakarta sangat
mencengkam. Di mana sedang berlangsung serangkaian demonstrasi Tritura yang dimotori oleh organisai-organisasi mahasiswa
dan pelajar di Jakarta. Ayah seharusnya berjaga di kantor. Berkat Nina, beliau terpaksa harus meninggalkan
pos-nya. Mengurusi anak perempuan satu-satunya nan badung itu...
Tentu Nina tak ingat bagaimana gawat daruratnya situasi malam itu, tapi dia ingat bagaimana pada
akhirnya tangannya di-gips. Bagaimana
aroma adonan gips, bagaimana dingin di tangan terasa ketika adonan basah tersebut menyentuh tangan
patahnya. Semua ingatan itu masih tersimpan rapih dalam kotak rekaman
di kepala Nina.
Pada masa itu Nina tidur
di tempat tidur anak-anak yang berkaki tinggi dan berpagar. Supaya Nina yang tidurnya lasak tak jatuh dalam lelapnya. Kira-kira seminggu setelah tangan kanannya patah, suatu siang, Nina yang terkungkung di tempat tidur
berpagarnya itu ingin pipis. Tak ada guna minta bantuan pada kakaknya, sebab, sang
kakak yang hanya berusia satu setengah tahun lebih tua itu sama tak berdayanya. Bukannya berteriak memanggil ibu, Nina memilih memanjat
pagar tempat tidur. Tentunya, dengan
hanya berpegangan dengan tangan kirinya yang bebas dari gips.
Lalu, ia terjatuh. Lagi. Menyusul
tangan kanannya, yang kiri pun patah jua adanya.
Episode tangan patah ini bukan satu-satunya epic fall dalam masa
kecil Nina. Ada satu lagi kejadian, yang sepertinya terjadinya sebelum
tangannya patah.
Suatu hari, Nina dan
dua dari tiga sekandung laki-lakinya bepergian dengan ayah. Naik mobil dinas jeep
willys atap kanvas. Entah bagaimana,
Nina dapat kesempatan duduk di kursi depan, sementara dua saudara laki-lakinya
duduk di belakang.
Dua anak laki-laki yang
duduk di belakang itu ribut saja. Saat mobil melaju dari arah Jl. Jend. Sudirman menuju ke Jl. Gatot Subrotodi di tanjakan lengkung Semanggi—di posisi yang sekarang berada di depan Plasa Semanggi—ricuh perkelahian di belakang terdengar semakin meninggi. Ayah cepat menengok ke belakang, bermaksud untuk memarahi mereka. Pada saat sedang
menggerakan kepalanya itu, ayah melihat bahwa anaknya yang perempuan sedang
sibuk mempermainkan kait pengunci
pintu jip.
Sehabis memarahi anak-anak laki-lakinya ayah lalu menengok ke Nina
untuk menyuruhnya berhenti memainkan
kait pintu. Takut nanti Nina jatuh. Tapi, yang ayah temukan adalah kursi depan yang kosong tanpa Nina. Sementara pintu jip
yang terbuka tampak melambai-lambai.
Dengan panik ayah menghentikan mobilnya. Beberapa puluh meter jaraknya dari mobil, dilihatnya Nina terbengong-bengong dalam posisi bertumpu di kedua lutut dn kedua tangannya.
"Aku juga masih ingat
waktu menggelinding itu, Moy," kenang Nina, "pemandangannya terang
gelap, terang gelap, begitu".
Pasti menggelindingnya kencang tuh!
Mengingat mobil saat itu
sedang menanjak di putaran Semanggi sementara Nina jatuh ke
arah sebaliknya. Menurun.
Tak ada luka serius atau tulang
yang patah, untungnya. Biarpun pedis di sekujur badan luar biasa rasanya.
Semakin pedis saja ketika di
rumah luka beset-beset itu diobati bukannya dengan obat merah biasa, tapi
dengan yodium tingtur (iodine tincture) yang berasal dari kotak P3K militer punya sang
ayah.
Untunglah kejadiannya masih di sekitar pertengahan 1960-an. Masa ketika jembatan Semanggi masih
sepi. Bukan terjadi pada masa-masa sekarang di mana kendaraan umum macam bis kota, kopaja, metromini; berderu seolah tanpa rem...
"Tapi, kalau kejadiannya sekarang-sekarang ini juga pun mungkin nggak apa-apa, Moy. Aku nggak
akan cedera parah. Yang namanya Semanggi kan macet mulu
sampai-sampai mobil-mobil cuman bisa diem berjam-jam," kata Nina.
Ya terserah deh... §
Kaki Nina yang terluka itu...