Tuesday, September 30, 2014

Bangau Teh Coffeewar



Pada Sabtu malam, 27 September 2014 lalu, Nina mampir di sebuah warung kopi di Jl. Kemang Timur Raya No. 15 A, Jakarta Selatan. Coffeewar, demikian nama warung kopi tersebut.

Okeh, buat yang belum tau, Coffeewar adalah dapur kopi yang didirikan oleh Yogi D. Sumule & Derby Sumule pada awal tahun 2009, sebagai penghormatan kepada kopi lokal Indonesia.—hehehe..., keterangan ini di-copas dari facebook group Coffeewar yang bisa ramai-ramai dikasih periksa di sini.

Pada malam itu, ada dua teman Nina yang mau nyanyi di sana, Ari-Reda namanya. Acaranya dimulai pada 19:00, tapi jam 17-an Nina dan teman-temannya sudah nimbrung di sana. Sambil menunggu acara dimulai, Nina pun jajan-jajan plus ganggu-ganggu yang sedang sibuk bekerja. Yang sedang bekerja dalam hal ini adalah crew Coffeewar. Tuntutan Nina pada para crew yang baik hati dan sabar itu adalah sebagai berikut.

“Itu bungkusan-bungusan teh nanti jangan dibuang yaaa....,” kata Nina sok manja sembari menunjuk ke paket-paket teh yang tersusun rapih.

Oke. Untuk apa sih?” tanya mbak crew—payah si Nina, dia lupa tuh nama mbak yang baik hati itu.

Dijawab Nina dengan memperlihatkan sebuah bangau origami.

Selesai acara, Nina hampir saja lupa dengan permintaannya. Berhubung dia girang sebab ada ketemu dengan teman-teman lama dari masa kuliah dulu. Untunglah, mbak crew Coffewar yang baik hati dan yang Nina lupa namanya itu, mengumpulkannya sekaligus mengantarkannya ke Nina yang sedang sibuk cengengesan dengan teman-temannya.

Tiga hari kemudian, koleksi bangau origami Nina bertambah sebanyak 56 buah. Semua terbuat dari bekas bungkus teh yang dibicarakan di atas. Ukurannya mungil-mungil tentunya... 

Atas nama Nina, kuucapkan terima kasih kepada Coffeewar and crew.   =^.^=










Friday, September 26, 2014

Demikianlah, Mungkin Saja Terjadi



Bulan Juli 2014 lalu, kira-kira lebih dari seminggu sebelum lebaran, tertangkap mata Nina pengumuman tentang akan diadakannya sebuah festival film. Tepatnya, festival German Cinema 2014. Disebutkan bahwa pembukaannya akan berlangsung pada tanggal 22. Hanya untuk undangan. Penayangan untuk umum diadakan dari tanggal 23 sampai 26. Penutupannya, yang hanya untuk undangan juga, jatuh pada tanggal 31. Tak ada penayangan pada 27 sampai dengan 30. Tentu saja, demikian kesimpulan Nina, tanggal 27 adalah malam takbiran, lalu, 28-29 lebaran kan. Semua penayangan untuk umum akan dilangsungkan di GoetheHaus, tempat favorit Nina untuk menonton festival film.

Sebagai catatan, pembukaan dan penutupan tidak berlangsung di GoetheHaus. Melainkan, di suatu tempat di daerah Kuningan.

Kepada tante Lulu, Nina melaporkan tentang akan diadakannya festival film tersebut. Menurut tante Lulu, timing-nya koq aneh sekali. Mengingat bahwa saatnya terlalu dekat dengan lebaran. Nina menjawab pendek tanpa berpikir panjang, "Tauk tuh..."

Karena tanggal 22 hanya untuk undangan, maka Nina bersiap diri untuk nonton mulai dari tanggal 23 sampai seterusnya. Tante Lulu menawarkan bantuan supaya Nina bisa dapat undangan pembukaan. Tapi, kata Nina tak usah saja. Ditambahkan Nina, bahwa lokasinya tak menarik. Buat Nina yang maunya enak saja dalam hubungannya dengan moda transportasi, lokasi GoetheHaus itu sangat nyaman sebab dekat dengan stasiun krl. Sepanjang tahun ini menonton beberapa festival film kan dilakukan Nina karena lokasi GoetheHaus yang nyaman-kendaraan tersebut. Sementara, lokasi pembukaan berada di daerah yang sama sekali berbeda. Daerah yang lebih sering diwarnai kemacetan daripada tidak.

Dan, pada Rabu siang 23 Juli Nina meluncur tanpa ragu ke GoetheHouse. Masih tengah hari, jam 12 siang kira-kira, dia sudah tiba di sana. Berhubung paginya habis mengajar, sementara pulang dulu ya tanggung. Padahal, film pertama terjadwal baru pada pukul tiga siang. Sekalian saja dia makan siang di sana. Kantinnya selalu bisa mengakomodasikan keveganan Nina. Ada nasi merah juga nyaaam... blah, aku sih nggak suka tuh!

Tiba di GoetheHouse, Nina langsung menuju kantin. Situasinya tak terlalu ramai, tapi kayaknya koq sepi banget ya. Sepertinya murid-murid kursus bahasa Jerman sudah tak terlalu banyak lagi. Seminggu lagi lebaran tiba, sebagian mungkin sudah pulang kampung. Dan, mungkin juga karena itu bisa jadi penonton festival juga bakalan tak sebanyak seperti biasanya. Lihat saja, pikir Nina, masih sangat sepi begini. Tapi kan bisa jadi juga karena pemutaran film baru akan berlangsung tiga jam lagi, pikiran Nina membantah pikirannya sendiri. Ya sudah deh, makan sajalah dulu; pikiran Nina berikutnya menengahi. Sambil menepis sebuah pikiran lain yang tiba-tiba menyeruak.

Saat sedang makan begitu, dari sebuah ruangan seseorang keluar. Seseorang yang dikenal dan mengenal Nina. Keduanya saling melambai, dan Nina berteriak halus kepadanya—ya, betul, berteriak tapi halus.

"Kapan festival film Jerman-nya!?"

Bertanya dengan gaya sambil lalu. Nina sudah semakin tak yakin bahwa hari ini memang akan ada pemutaran film. Tak terlhat sebatang-dua pun hidung mereka yang beratribut panitia—biasanya ditandai dengan kaos seragam dan kartu identitas yang dikalungkan. Jangankan panitia berkaos seragam, tak jua ada terlihat persiapan meja untuk registrasi dan pengambilan tiket masuk.

"Bulan depan!" jawab sang kenalan.

“Oke!”

Terkonfirmasi sudah kekuatiran Nina. Diselesaikannya makannya dengan santai, sambil berpikir hendak ke mana setelah makan. Disangkanya hari ini ia akan menonton empat film, yang artinya ia akan sibuk sampai dengan sekitar jam sebelas malam. Lalu, tiba-tiba saja menjadi tidak ada satu pun film untuk ditonton. Perubahan mendadak itu membuat Nina bagaikan perahu layar yang mati angin di tengah laut.

Jadi, kesimpulannya, Nina terlalu cepat satu bulan datang ke GoehteHouse untuk menonton di German Cinema 2014. Festival yang sejatinya akan dibuka pada 22 Agustus 2014, dikira Nina pembukaannya pada 22 Juli 2014. Koq bisa!? Barangkali akan ada yang bertanya demikian. Jawabanku hanya satu, "Dengan Nina, apapun mungkin saja kejadian".    =^.^=

Tak Kuasa Melawan Gaya Tarik Bumi



Sudah tau belum, bahwa beberapa hari lalu Nina terjatuh di trotoar di jalanan depan Blok M Plaza, Jakarta Selatan. Matanya yang meleng membuat kaki kanannya melayang ke udara kosong. Dengkul kiri pun mencium tepian trotoar. Berdarah deh—untung otaknya tak berada di situ ya...

Kejadian yang menimpanya ini mengingatkan Nina pada ibundanya. Almarhumah dulu seorang supir yang handal. Ke mana-mana pasti menyetir sendiri. Pada saat beliau tidak mengendarai mobil sendiri, beliau memilih naik biskota. Tahulah bagaimana bis kota di Jakarta, di mana ketika penumpang turun belum pun menapakkan satu kaki di jalan, kadang sudah langsung tancap gas.

Ditambah dengan kadang terserang vertigo, tak hanya sekali dua si ibu mendarat bukan tengan telapak kakinya ketika turun dari bis kota. Melainkan, dengan lututnya. Bikin cemas terutama karena beliau itu penderita diabetes.

Kembali ke lokasi trotoar tempat di mana Nina jatuh, di mana kita dapat melihat Nina yang meringis-ringis nyeri. Ada tiga titik luka. Makin ke atas, makin parah. Pada bagian atas betis terdapat baret-baret rada panjang, sedangkan di bagian bawah tempurung lutut baretnya lebih pendek tapi lebih dalam. Sementara di lutut terpampang luka terbuka yang lumayan dalam.

Sebagai upaya penanganan, Nina menekan luka yang di lutut. Berusaha agar darah tak keluar. Sambil mengumpulkan kembali semangat hidup yang ikut terbang ke mana-mana.

"Sakitnya luar biasa, Moooy!" lapor Nina.

Aaah..., cengeng!

Untung saat itu Nina sedang bersama tante Lulu. Sang tante segera mengorek-korek tasnya mencari plester instan yang selalu dibawa-bawanya. Luka di dengkul pun lalu sukses ditutupi plester supaya darahnya tak berleleran. Perjalanan masih panjang, Nina masih harus wira-wiri ke sana ke sini sehingga diharap pelester tersebut akan membantu.

Terjatuh memang kerap mewarnai (mengancam?) kehidupan Nina. Mungkin karena kakinya yang cenderung tipe tapak rata, dan menonjolnya tulang kaki di dekat ke dua jari jempol kakinya. Kondisi kaki yang demikian, membuat Nina cenderung memilih sepatu yang rata dan terbuka. Kesukaannya jalan kaki membuatnya merasa cocok dengan sepatu-sandal gunung. Sempat mencoba dengan sepatu-sandal yang modelnya lebih manis untuk perempuan, tapi akhirnya Nina memilih untuk tetap setia pada sepatu-sandal gunungnya sebab lebih asik untuk kakinya.

Kalau memilih sepatu Nina memang harus sangat hati-hati. Satu kali pernah dia menyukai sebuah sepatu model kets tanpa tali. Alasnya terlihat empuk, sepertinya enak untuk dipakai jalan. Bukan merek terkenal, tapi mungkin mencontoh atau meniru model sepatu olahraga dari merek ternama. Harganya murah, maka dibelinya dengan senang hati. Tapi, setiap kali Nina memakai sepatu itu, ia pasti jatuh. Kalau tidak benar-benar jatuh, pasti tersandung sesuatu. Atas saran sahabatnya, sepatu itu akhirnya dihibahkan ke orang lain. Yang lalu aman-aman saja memakainya.

Gara-gara jatuh juga tulang ekor Nina jadi rada bergeser. Sekurangnya dua kali dia terjatuh di tangga sih, ya nggak heran. Terpeleset sampai jatuh terduduk, dan lalu menggelosor sampai beberapa jenjang tangga ke bawah dengan pantatnya. Horor dirasakannya waktu kejadiannya!

Keseimbangan Nina memang buruk sih. Karena itu, ia memang harus hati-hati kalau melangkah. Atau, berkendara. Untungnya dia sudah tak pernah naik sepeda motor lagi. Kalau tidak, pasti entah sudah berapa ratus kali dia jatuh tuh! Sejauh ini sih hanya satu kali dia pernah jatuh dari motor yang dikendarainya. Masa di sekolah menengah atas dulu. Tulang kering kaki kanannya sampai sobek, dijahit di ruang gawat darurat RSCM. Mana motornya pinjaman pula...

Tapi, sebenarnya sedang diam pun bisa saja Nina tu jatuh. Misalnya, seperti yang pernah terjadi suatu waktu dulu. Masa ketika ia masih kuliah, saat dia dan saudara-saudara sekandungnya masih tinggal dengan orangtua yang masih lengkap. Hari itu, Nina yang sedang duduk diam-diam dan asik nonton televisi bermaksud untuk menggeser posisi duduknya. Tapi, aduh, ternyata ia bergeser terlalu jauh ke bagian pinggir sofa yang tak berpegangan. Keseimbangan yang buruk ditambah tarikan grafitasi bumi yang kuat, Nina pun jatuh menuju lantai.

Ajaibnya, jatuhnya tidak gubrag gabrug petakilan. Melainkan, secara perlahan. Perlahaaan sekali..., seperti adegan slow motion dalam sebuah film atau adegan ulang dalam sebuah pertandingan bola kaki. Konyolnya, dalam kondisi pasrah sebab tak bisa menghentikan proses jatuh perlahannya itu, Nina merekam bagaimana ajaibnya ekspresi keheranan dan terbengong-bengong ayah dan adik laki-laki bungsunya yang menyaksikan adegan jatuh perlahan-lahannya Nina.

Sebelum badannya gedubrag menyentuh lantai, terdengar suara 'ting!' yang nyaring sekali. Hasil sentuhan halus antara cincin perak di jemari Nina dan tabung gas yang ada di sekitar. Untung hanya cincinnya yang beradu dengan benda biru itu. Apabils jarinya yang kena, dan dengan keras, pasti sakitnya luar biasa!

Jangan heran kalau kemudian yang paling kencang terbahak adalah Nina sendiri. Sebab ia merasa geli dengan ekspresi wajah para penonton kejatuhannya.

Yang pernah bertemu dengan Nina umumnya menyadari bahwa kedua tangannya itu, tepat di bagian siku, bengkok adanya. Apalagi kalau bukan karena jatuh!

Kejadiannya adalah waktu umurnya sekitar empat setengah tahun. Ketika jendela-jendela lebar dan besar yang bercokol di rumah keluarganya masih belum dipasangin terali. Pada suatu hari, tiga saudara laki-laki Nina—satu kakak dan dua adik—yang masih kecil-kecil juga, main kuda-kudaan di jendela. Bagaimana dengan Nina? Tidak ikutan tapi penuh dengan keinginan yang tercegahkan oleh kata-kata ibunya.

"Jangan ikut-ikutan sama anak-anak laki-laki, Nin. Biar rasa sendiri, kalau nanti jatuh tanganya pada patah," demikian kira-kira ucapan ibunya.

Tapi, bukan berarti keinginan Nina untuk main kuda-kudaan di jendela lebar itu pupus sama sekali. Begitu sang ibu berhasil membuat tiga anak lelaki bandelnya beralih minat dan mau bermain bersama ibu di kamar, Nina pun melihat kesempatan emas. Diserbunya jendela itu. Berhubung masih kecil dan pendek, cukup sulit naik ke jendela yang tingginya sekitar satu meter dari lantai. Biarpun sudah bertumpu pada kotak peralatan kerja ayah yang ada di situ. Maka Nina pun melompat, tuiiiing! Dan, dengan manis ia mendarat di sisi lain jendela. Jatuh dengan posisi menelungkup, tangan kanan terpelintir di bawah badan.

Nina merasa ada yang aneh dengan tangan kanannya—sampai sekarang masih diingatnya rasa aneh itu—dan dia tahu bahwa tangannya telah patah. Teringat Nina akan peringatan ibunya tadi, tentang kalau jatuh tangan bisa patah. Karenanya, meski tak sanggup bangun, ia diam saja. Tak berani bersuara, takut ketahuan ibu.

Entah berapa lama dia dalam posisi itu sebelum akhirnya ditemukan ibu. Amarhum ibu dulu sempat bercerita bahwa ketika sedang seru-serunya bermain dengan ketiga anak lelakinya di kamar, beliau tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah. Karena, terlalu sepi di luar kamar, tak ada suara apapun dari Nina.

Meski tak ingat bagaimana ia ditemukan sang ibu, tapi Nina ingat beberapa hal berikutnya. Ayah yang buru-buru pulang dari tempat dinasnya, masih memakai seragam AURI, segera memboyong Nina. Awalnya ke dokter anak di daerah Polonia—daerah rumahnya dulu—di Jakarta Timur. Nina tidak turun dari mobil, sepertinya ayah hanya berkonsultasi sebentar saja. Lalu mereka menuju ke rumah sakit umum pusat yang sekarang disebut RSCM.

Waktu itu, awal 1966, situasi di Jakarta sangat mencengkam. Di mana sedang berlangsung serangkaian demonstrasi Tritura yang dimotori oleh organisai-organisasi mahasiswa dan pelajar di Jakarta. Ayah seharusnya berjaga di kantor. Berkat Nina, beliau terpaksa harus meninggalkan pos-nya. Mengurusi anak perempuan satu-satunya nan badung itu...

Tentu Nina tak ingat bagaimana gawat daruratnya situasi malam itu, tapi dia ingat bagaimana pada akhirnya tangannya di-gips. Bagaimana aroma adonan gips, bagaimana dingin di tangan terasa ketika adonan basah tersebut menyentuh tangan patahnya. Semua ingatan itu masih tersimpan rapih dalam kotak rekaman di kepala Nina.

Pada masa itu Nina tidur di tempat tidur anak-anak yang berkaki tinggi dan berpagar. Supaya Nina yang tidurnya lasak tak jatuh dalam lelapnya. Kira-kira seminggu setelah tangan kanannya patah, suatu siang, Nina yang terkungkung di tempat tidur berpagarnya itu ingin pipis. Tak ada guna minta bantuan pada kakaknya, sebab, sang kakak yang hanya berusia satu setengah tahun lebih tua itu sama tak berdayanya. Bukannya berteriak memanggil ibu, Nina memilih memanjat pagar tempat tidur. Tentunya, dengan hanya berpegangan dengan tangan kirinya yang bebas dari gips.

Lalu, ia terjatuh. Lagi. Menyusul tangan kanannya, yang kiri pun patah jua adanya.

Episode tangan patah ini bukan satu-satunya epic fall dalam masa kecil Nina. Ada satu lagi kejadian, yang sepertinya terjadinya sebelum tangannya patah.

Suatu hari, Nina dan dua dari tiga sekandung laki-lakinya bepergian dengan ayah. Naik mobil dinas jeep willys atap kanvas. Entah bagaimana, Nina dapat kesempatan duduk di kursi depan, sementara dua saudara laki-lakinya duduk di belakang.

Dua anak laki-laki yang duduk di belakang itu ribut saja. Saat mobil melaju dari arah Jl. Jend. Sudirman menuju ke Jl. Gatot Subrotodi di tanjakan lengkung Semanggi—di posisi yang sekarang berada di depan Plasa Semanggi—ricuh perkelahian di belakang terdengar semakin meninggi. Ayah cepat menengok ke belakang, bermaksud untuk memarahi mereka. Pada saat sedang menggerakan kepalanya itu, ayah melihat bahwa anaknya yang perempuan sedang sibuk mempermainkan kait pengunci pintu jip.

Sehabis memarahi anak-anak laki-lakinya ayah lalu menengok ke Nina untuk menyuruhnya berhenti memainkan kait pintu. Takut nanti Nina jatuh. Tapi, yang ayah temukan adalah kursi depan yang kosong tanpa Nina. Sementara pintu jip yang terbuka tampak melambai-lambai. Dengan panik ayah menghentikan mobilnya. Beberapa puluh meter jaraknya dari mobil, dilihatnya Nina terbengong-bengong dalam posisi bertumpu di kedua lutut dn kedua tangannya.

"Aku juga masih ingat waktu menggelinding itu, Moy," kenang Nina, "pemandangannya terang gelap, terang gelap, begitu".

Pasti menggelindingnya kencang tuh! Mengingat mobil saat itu sedang menanjak di putaran Semanggi sementara Nina jatuh ke arah sebaliknya. Menurun.

Tak ada luka serius atau tulang yang patah, untungnya. Biarpun pedis di sekujur badan luar biasa rasanya. Semakin pedis saja ketika di rumah luka beset-beset itu diobati bukannya dengan obat merah biasa, tapi dengan yodium tingtur (iodine tincture) yang berasal dari kotak P3K militer punya sang ayah.

Untunglah kejadiannya masih di sekitar pertengahan 1960-an. Masa ketika jembatan Semanggi masih sepi. Bukan terjadi pada masa-masa sekarang di mana kendaraan umum macam bis kota, kopaja, metromini; berderu seolah tanpa rem...

"Tapi, kalau kejadiannya sekarang-sekarang ini juga pun mungkin nggak apa-apa, Moy. Aku nggak akan cedera parah. Yang namanya Semanggi kan macet mulu sampai-sampai mobil-mobil cuman bisa diem berjam-jam," kata Nina.

Ya terserah deh... §



 Kaki Nina yang terluka itu...

Tuesday, September 23, 2014

Palang Pintu



Entah tahun berapa kejadiannya, Nina sudah lupa. Dia hanya ingat bahwa waktunya adalah setelah kehidupan umat manusia masuk ke dalam abad ke-21. Sementara tempatnya sih dia tak lupa sama sekali. Yaitu, di perlintasan kereta api Jl. Pramuka, Jakarta Pusat.

Di siang hari nan tertentu itu, kalau tak salah Nina baru saja mencari sesuatu di Pasar Pramuka. Dari sana, ia melanjutkan perjalanan jalan kakinya menuju Utan Kayu. Sebelum melintasi rel kereta, dengan hati-hati Nina menengok ke kanan dan ke kiri. Aman. Tak ada tanda-tanda kereta akan segera melintas. Rel di situ dobel, ada dua jalur, dan setelah menyeberangi rel terakhir, terdengar suara orang berteriak-teriak. Dengan panik Nina tengok-tengok ke kanan dan ke kiri, tapi sepertinya aman saja tuh. Tak dipahaminya apa yang dimaksud orang itu, tapi langkah pun dipercepat biar aman. Dengan sedikit panik tentunya.

Dan, lalu...

BLETAAAKKK!!! Suara keras terdengar membahana. Diiringi jeritan dari sana-sini.

Itu suara berasal dari kepala Nina yang tertimpa sesuatu. Tak main-main, sesuatu tersebut adalah palang pintu kereta. Rupanya, teriakan-teriakan tadi maksudnya memperingati Nina akan palang pintu kereta yang sedang turun dengan perlahan tapi pasti.

Sakitkah? Tentu saja! Sakit di kepala bagian atas tentunya, tapi, yang paling tak enak adalah rasa pegal yang timbul di leher belakang.

Beberapa orang yang berada tak terlalu jauh darinya bertanya apakah ia baik-baik saja. Sambil tetap terus melangkah, Nina menjawab bahwa; ya, dia baik-baik saja. Rada malu, pastinya, apalagi sudut matanya menangkap beberapa orang yang tampak menahan senyum geli. Yaaah..., selalu kan ada orang-orang yang mendapat penghiburan jiwa melalui kesialan orang lain.

Sebagai catatan, pegal di leher belakang berlangsung selama beberapa hari. Ditambah benjut di ubun-ubun tentunya. Selebihnya, tak ada masalah. Nggak percuma Nina berkepala batu, jadi tak sampai bocor itu kepalanya.

Namun, bukan berarti pelajaran telah diserap dengan baik. Sebaliknya, pengalaman penuh kesialan itu malah menguap entah kenapa. Sebab, kejadian serupa kemudian terjadi lagi. Kali ini di halaman gedung Djakarta Theater yang berada di pojokan antara Jl. MH Thamrin dan Jl. Wahid Hasyim, Jakarta Pusat.

Kali itu Nina sedang dengan santainya melintas masuk melalui pintu akses untuk kendaraan bermotor yang terletak di sisi Jl. Wahid Hasyim, alias yang berada di seberang toserba Sarinah. Ketika itulah suara 'bletak' keras seperi yang dulu di Jl. Pramuka itu mengelegar lagi di telinganya. Datang dari sisi kepala sebelah kiri atas, tempat di mana palang pintu parkiran tepat menghantam.

Biarpun hanya di satu sisi kepala, rasa sakitnya sama saja seperti waktu di Jl. Pramuka. Pegal di lehernya pun tak berbeda. Mungkin ada orang yang mentertawakannya, tapi yang pasti Nina lebih merasa dongkol terhadap dirinya sendiri. Dirinya yang tak cukup hati-hati dan waspada padahal pernah mengalami hal yang sama sebelumnya.

Perlu dua kali Nina mengalami terkemplang palang pintu sampai akhirnya dia menjadi cukup waspada. Makanya sampai sekarang belum pernah ada lagi palang pintu nyasar di ubun-ubun Nina.

Namun, sebenarnya, sebelum dua kejadian tersebut di atas, pernah juga tuh kepala Nina nyaris tertimpa palang pintu rel kereta. Peristiwa yang menurut Nina terjadi bukan karena kesalahannya. Dan, meski namanya nyaris, tetap saja ia merasa dirugikan. Kejadiannya adalah di palang pintu perlintasan kereta di Pasar Bintaro, Jakarta Selatan.

Pada hari yang rada-rada nahas itu, Nina menggonceng sepeda motor seorang anak muda yang adalah asistennya pada waktu itu. Ia, si anak muda itu, model pengendara sepeda motor yang selalu terburu nafsu dan tak sabaran. Begitulah kira-kiranya. Karena itu, mungkin tak aneh jadinya kalau pada saat motornya mendekati pelintasan rel terdengar lantunan suara peringatan, ditambah dengan situasi di mana palang pintu perlahan mulai turun, yang dilakukannya bukannya berhenti tapi malah menancap gas.

"Woi! Berhenti!" teriak Nina seraya menepak bagian atas helm si bocah bangor.

Bocah bangor segera menginjak rem motornya. Lebih karena kaget gara-gara tepakan di helm-nya daripada merupakan bentuk dari sebuah kepatuhan. Motor pun terhenti, dan palang pintu perlintasan kereta turun tepat di depan mata Nina. Situasinya jadi aneh, karena palang pintu itu posisinya berada di antara Nina dan bocah bangor. Dengan kata lain, motor berada separuh di luar area terlarang dan separuh berada di dalam. Pengendara berada di dalam, pegonceng berada di luar.

Entah apakah palang itu menyenggol bocah bangor atau tidak, yang jelas sih kepala Nina tidak kena kemplang sama sekali. Namun, bukan berarti dia baik-baik saja. Sebab, dia mendengar suara 'trek!' yang halus. Yang ternyata adalah suara patahnya gagang kacamata baca yang berada di saku kiri bajunya, akibat tertekan palang pintu. Kacamata yang baru seminggu lalu dibuat di salah satu optik ternama.

Sebenarnya sih Nina baik-baik saja. Masalahnya adalah, dia tidak punya kacamata baca cadangan. Kacamata patah itu adalah satu-satunya kacamatanya.

"Kalau saya nggak disuruh berhenti, kacamata mbak nggak akan rusak," bocah bangor dengan pandainya berkelit.

Ya, tapi mungkin kita sudah mejret terlindas kereta, anak bodoh!, desis Nina.

Semua kejadian itu tak lagi terlalu diingat oleh Nina. Mungkin, dia pikir, yang sudah lalu biarlah berlalu. Cukup sudah bahwa dia kini menjadi waspada tiap kali meliwati palang pintu macam itu, tanpa perlu merasa tahu kenapa ia harus waspada kecuali demi keselamatan. Baik yang di perlintasan kereta, maupun pada akses masuk kendaraan bermotor. Entah yang otomatis, ataupun yang manual. Sampai dengan beberapa waktu lalu, ketika pada satu hari, Nina ada pergi main dengan tante Didi mamihboz Pacoh. Entah bagaimana, tanteku ini bercerita ke Nina kalau tante Sandy mamihprez Dung Dung pernah ketiban palang pintu macam itu. Cerita si tante yang disampaikan secara sambil lalu itu seperti menekan sebuah tombol dalam tabung memori di kepala Nina. Maka itu, semua ingatan Nina tentang tertiban palang pintu pun mengalir keluar.

Siapa suruh lalu diceritakannya kepadaku. Oleh sebab itu, kini seluruh dunia pun jadi tahu melalui tulisan ini. Hehehe... §