Saturday, November 7, 2015

Sepatu Gunung



Jaman dulu waktu N mulai seneng-senengnya hiking/naik gunung, hampir empat puluh tahun lalu lah kira-kiranya, kelengkapan yang dipakai ya seada-adanya aja. Naik gunung pakai sepatu kets biasa kalau tidak pakai sandal jepit. Bisa juga pakai sepatu but militer lungsuran dari ayah yang pensiunan tentara, yang melungsurnya bareng-bareng dengan ransel dan jaket militer. Kaus kakinya ya kaus kaki biasa sajalah. Atau, nyuri-nyuri pinjam kaus kaki bola sekandungnya N. 

N punya tante yang hidup lajang dan yang pekerjaannya kerap membawa beliau melanglangbuana. Setiap pergi, selalu membawa oleh-oleh untuk keponakannya yang berjumlah 27 orang. Kadang ada yang sudah pesan sesuatu terlebih dahulu, bikin ngiri yang lain saja kalau ketahuan—makanya tante selalu suruh diam-diam saja. Salah satu yang pernah pesan oleh-oleh adalah N, waktu tante En (nama si tante), pergi tugas ke Wina di Austria. Oleh-oleh yang N pesan adalah sepatu gunung hohoho... Di Wina ada sepupu yang tinggal di sana, namanya Et. Anak pecinta alam juga—dulu sih disebutnya anak gunung, yang jauh lebih senior daripada N. Hitungannya suhu lah kalo di perguruan silat Cina. Senior. Itu sebab N berani minta oleh-oleh sepatu gunung, sebab kan ada Et yang bisa memilihkan. Soal ukuran, tak jadi masalah. Kaki tante En dan N ukurannya kura-kira sama. 

Sepulangnya tante En ke tanah air, tak lama beliau datang ke rumah membawa oleh-oleh. Sepasang sepatu gunung kulit, sepasang kakus kaki wol, sepasang kaus kaki campuran wol dan akrilik, semir sepatu khusus, dan serentet gerutuan diterima N dari tante En. Banyak ya oleh-olehnya...

Tapi, kenapa donk tante En menggerutu begitu? Sebab, kata beliau, sepatu itu mahal banget harganya. Sudah gitu, kata tante En lagi, Et nambah-nambahin dengan dua pasang kaos kaki yang nggak murah juga, plus semirnya! Duh, kenapa donk tante nggak protes ke Et, demikian N bertanya. Siapa tahu ada yang lebih murah. 

"Karena kata Et sepatu yang ini adalah yang paling sesuai," begitu kira-kita kata tante En sebagaimana yang diingat N. Mungkin tante En ada berucap lebih panjang, tapi, sudahlah, N sudah lupa. 

Itu kejadian di 1980. Saat yang sama, N baru diterima di perguruan tinggi. Hari pertama masa perkenalan mahasiswa baru masih boleh pakai pakaian bebas. Pada hari itu N nekad memakai sepatu gunung itu untuk pertama kalinya. Sepeti nggak sabaran, sekalian latihan memakai sepatu yang berat itu. Sebagai informasi, sepasang sepatu gunung itu berat totalnya 2,4 kg.

Mahasiswa baru dikumpulkan di ruang teater, lalu disuruh naik ke panggung nan berlantai kayu. Berjalan dengan sepatu seberat itu di lantai kayu, seringan apapun langkah yang dibikin N, tetap saja pledak-pledok bunyinya.

N tak ingat lagi merek sepatunya, tapi ia tak akan lupa bahwa merek sol sepatunya adalah vibram. Pun awalnya tak ada perhatian dengan judul vibram ini kalau saja salah satu kakak seniornya tak menyerukan sesuatu yang berhubungan dengan itu.

"Gileee..., dia pake vibram!!!" 

Eh!?

Rupanya, ini merek yang lumayan dipandang oleh orang-orang yang suka naik gunung. Sesuatu yang tak disadari oleh N sebelumnya.

Tentang vibram, ini adalah merek sol karet tebal yang dikhususkan untuk sepatu kegiatan luar ruangan macamnya hiking dan sejenisnya. Pabriknya berada di kota Albizzate di propinsi Varese, Italia, merupakan perusahaan yang didirikan pada 1937 oleh Vitale Bramani. Vibram adalah singkatan nama dari sang pendiri ini. Misi Brahmani adalah membuat sepatu gunung yang dapat diandalkan oleh para pendaki/hikers, setelah pada 1935 enam orang teman pendakinya meninggal di gunung Alpen akibat dari ketidaklayakan alas kaki yang dipakai oleh mereka.

Sepatu vibram oleh-oleh dari tante En itu pada akhirnya menemani N berpetualang selama hampir delapan tahun. Termasuk dalam sebuah ekspedisi di Pulau Seram selama lima bulan. Sepatu itu mungkin bisa lebih lama lagi dipakai apabila dirawat dengan lebih khusus, tapi mungkin juga tidak. Belakangan sudah terasa sedikit lebih sempit sampai dikira sepatunya yang mengkerut. Pun di beberapa titik kulitnya mulai aus sampai berlubang. Memang sudah waktunya untuk pensiun. Beberapa tahun kemudian, N sempat punya lagi sepasang sepatu gunung yang mungkin sol-nya vibram juga, tapi rasanya tidak sespektakuler si vibram yang duluan itu. Ringan dan tak terasa tegap saat dipakai. 

Kenapa ya kejadian 35 tahun lalu itu diingat-ingat lagi? Gara-gara terjadinya pertemuan tak direncanakan antara N dan Et yang kebetulan sedang liburan di tanah air. Sebuah pertemuan yang tertunda selama 36 tahun loh! Pada sesi tukar menukar informasi dalam pertemuan dadakan itu antara lain terceritakanlah oleh N bagaimana hebohnya protes dari tante En soal mahalnya sepatu gunung itu. Sesuatu yang belum pernah diketahui Et sebelumnya tentunya. Et menimpali dengan mengungkakan alasannya memilih sepatu 'mahal' itu. Karena, di Austria, jenis sepatu gunung macam itu adalah sepatu gunung yang telah memenuhi standar keselamatan pemakainnya. Nah!   =^.^=

Friday, November 6, 2015

Puisi Prancis


Satu lagi dongeng dari jaman N kuliah pada 1980an nih.... Dia kan kuliah di fakultas sastra, jurusan arkeologi alias purbakala. Di fakultas itu juga ada yang namanya jurusan sastra Prancis. Satu kali, jurusan ini mengadakan lomba baca puisi dalam bahasa Prancis untuk peserta baik dari jurusan Prancis maupun jurusan non-Prancis.

Masa-masa duduk di SMA, N lumayan sering ikut lomba baca puisi lho. Nggak pernah juara sih, paling banter lanjut ke semi final doank. Setelah kuliah semangatnya di bidang ini sudah sangat memudar, oleh karena itu semula tak ada minantnya untuk ikutan. Tapi, atas dorongan dari teman-teman di jurusan itu, N pun memutuskan ikut serta. Juara kedua yang diincar, sebab hadiahnya adalah buku-buku. Padahal buku-buku bahasa Prancis lho, nggak pun mengerti bahasanya. Asal buku deh pokoknya... 

Pergi mendaftar dan dapat salinan daftar puisi yang dilombakan. Hari itu juga N latihan, dibimbing almarhum Mas Aji, temannya yang mahasiswa Prancis sekaligus sastrawan muda terkemuka masa itu (kalau Mas Aji masih ada, pasti dia sebal disebut sastrawan terkemuka). Mungkin ada juga beberapa temen anak Prancis lainnya yang ikutan membimbing N, dia sudah lupa siapa aja. N terutama memerlukan bimbingan dalam cara membaca. Bahasa Prancis itu kan kebanyakannya antara tulisan dan pembacaannya berbeda. Itu yang paling susah buat orang awam macam N. Kalau tak salah, Mas Aji juga yang membantu memilihkan puisi untuk dibaca, dan menjelaskan makna dari puisi terpilih itu. 

Judul puisi pilihannya adalah Pour Toi, Mon Amour; buah karya penyair Prancis Jacques Prévert (4 February 1900 – 11 April 1977). Sebuah puisi cinta heee... Salinan puisinya ada di bawah setelah tulisan ini ya... 

Ternyata, N hanya latihan hari itu saja lho. Dasar pemalas dan penunda, tak terasa hari-hari berlalu, dan hari H perlombaan yang jatuh beberapa minggu setelah dirinya mendaftar, tahu-tahu sudah muncul di depan mata. Merasa nggak siap, N nyaris membatalkan keikutsertaannya kalau saja teman-temannya tak protes. Ya sudahlah, pikir N, ikut saja buat seru-seruan. Lupakan bisa jadi juara dua dan mendapat buku-buku hadiahnya, bujuk N ke dirinya sendiri. Nikmatin aja deh... 

Ya, lupakan hadiah juara kedua! Sebab ternyata N menjadi juara pertama. Hadiahnya: kursus satu tingkat di pusat kebudayaan Prancis. 

Aduh... 

Merasa kewalahan sebab dua kali seminggu ada kursus bahasa Inggris, maka ketika pendaftaran untuk kursus bahasa Prancis dibuka, sementara N tidak mendaftar dahulu. Pada yang berikutnya rencananya sih mau nunda lagi, tapi, datanglah peringatan bahwa pembukaan pendaftaran kali ini adalah kesempatan terakhirnya. Setelah itu, hadiah hangus.

Kursus bahasa Inggris jatuh pada Senin dan Rabu, entah kenapa kelas Prancis dapatnya Senin dan Kamis. Tidak ada kelas yang harinya tidak menumpuk dengan hari kursus Inggris seperti kemauan N. Apa boleh buat, tiap Hari Senin pontang-panting lah Nina dari Jl. Pramuka tempat kursus Inggris ke pusat kebudayaan Prancis di Salemba. Sebab, waktunya cukup mepet. Kursus Inggris selesai jam 3 siang, sementara Prancis mulai pada pukul 3.30 sore. Moda angkutan yang dipakai adalah bemo si roda tiga yang jalannya anjut-anjutan lambat begitu. Akibatnya, nyaris tiap Senin N tiba di kelas Prancis saat guru sudah berada di dalam. 

Berhubung sibuk les Inggris, beraktifitas olahraga di kampus, naik gunung, dan kongkow-kongkow dengan teman-teman; nyaris tak ada waktu untuk mengulang pelajaran bahasa Prancis di rumah. Pada akhirnya lulus juga sih, naik ke kelas dua dengan peringkat passable. Passable adalah bahasa Prancis yang artinya pas-pas-an... 

N tak pernah melanjutkan kursus bahasa Prancis-nya. Tak pernah juga mengambil tanda kelulusan yang pas-pas-an itu. Tak pun tertinggal pelajaran di kepalanya sehingga tak ada kemampuan sama sekali untuk memahami bahasa Prancis. Sepertinya tak suka, tapi semua pengalaman ini tersimpan di dalam kotak kenangan yang selalu menghangatkan hati. Termasuk kenangan tentang pohon asam di kantin pusat kebudayaan Prancis di Salemba waktu itu. Pohon asam yang buahnya tidak terasa asam tapi rada-rada manis asyik, begitu. Karenanya, N suka mengisap-isap buahnya bagaikan mengisap permen di mulut di kelas saat pelajaran bahasa Prancis berlangsung.   =^.^=


Catatan:
Pusat kebudayaan Prancis yang dimaksud adalah yang dulu bernama Centre Culturel Francais atau CCF. Nama CCF belakangan dirubah menjadi IFI (Institut Francais d`Indonesie). Semula beralamat di Jl. Salemba Raya No. 25, Jakarta Pusat; dan sekarang bergabung dengan kedutaan Prancis di Jl. M. H. Thamrin no 20, Jakarta Pusat. 


Pour Toi, Mon Amour 
by Jacques Prévert

Je suis allé au marché aux oiseaux
Et j'ai acheté des oiseaux
Pour toi
mon amour
Je suis allé au marché aux fleurs
Et j'ai acheté des fleurs
Pour toi
mon amour
Je suis allé au marché à la ferraille
Et j'ai acheté des chaînes
De lourdes chaînes
Pour toi
mon amour
Et puis je suis allé au marché aux esclaves
Et je t'ai cherchée
Mais je ne t'ai pas trouvée
mon amour

Monday, November 2, 2015

Naik-naik ke Puncak Gunung~~



Dulu itu, N suka sekali pergi berkemah alias kemping. Tiap kali ada kesempatan kemping, pasti pergi. Pas SMP dengan bergabung ke Pramuka, ia mendapat kesempatan kemping cukup banyak. Masuk SMA, ikut kegiatan ekskul pecinta alam yang pada masa itu artinya pergi-pergi kemping dan naik-naik gunung. Di bawah bendera ekskul itu, rada lumayan deh N bisa lebih bebas kemping-kemping tanpa menyusahkan hati orangtua.

Loh, kenapa ada urusan dengan menyusahkan hati orangtua? Sebab, dulunya lagi, di pinggir jalan di Puncak sana banyak anak muda berkemah pada musim liburan. Duduk-duduk ngeliatin jalan, apabila ada mobil lewat mereka akan teriak-teriak minta rokok. Orangtua N nggak mau banget anaknya apalagi yang satu-satunya perempuan berlaku seperti itu. Bisa terasa susah hati.

Untuk bisa kemping di luar kegiatan ekskul, amboy susahnya untuk dapat ijin!!! Waktu N duduk di kelas satu SMA, seniornya yang di kelas tiga sampai khusus menemui ayah N untuk minta ijin mengajak anaknya si ayah kemping. Ditanya ayah siapa saja yang ikut, sang senior menjawab dengan menyebutkan sejumlah nama. Mungkin setengah tak percaya, maka itu ayah menimpali.

"Ada Budi, ada Hasan...". Demikian timpalan ayah.

Pasti sulit bagi sang senior untuk bisa paham kenapa ayah menimpali secara demeikian. Latar belakangnya adalah, di kompleks rumah N dulu ada seorang anak muda yang bernama Budi. Si Budi ini punya kambing yang diberi nama Hasan. Saking terkenalnya pasangan itu di kompleks, sampai-sampai orang-orang di kompleks memplesetkan sebuah lagu yang berjudul Kau Tinggalkan Aku. Lirik pertama lagu ini yang berbunyi “Budi bahasamu sangat halus”, diganti menjadi "Budi, Hasan kambing...". 
[Lihat di bawah, ada lirik lagu ini yang sayangnya N tak ingat siapa pengarang dan penyanyi aslinya.]

Balik ke soal ijin-ijinan itu, memang ada bohongnya juga sih. Dibilangnya kemping, padahal sih naik gunung. Kenapa pakai bohong segala? Sebab, kalau dibilang naik gunung pasti tidak diijinkan. Ada sedikit ketakutan dalam diri orangtua N, berhubung sebelumnya ada kematian dua anak muda di lingkungan tempat tinggal.

Pada 1969, anak muda yang bernama Idhan Loebis yang tinggal di depan kompleks, meninggal di Gunung Semeru bersama seorang aktifis mahasiswa dari Universitas Indonesia, Soe Hok Gie. Setelah kejadian itu, tak ada yang berubah, anak-anak muda di kompleks tetap pergi mendaki gunung. Situasi berubah dua tahun kemudian, pada 1971, ketika seorang anak muda dari kompleks tempat N tinggal, bernama Idja Djalius, meninggal di Gunung Ciremai. Padahal, ia adalah yang terkuat dalam urusan naik gunung. Sejak kematian uda Idja—demikian N memanggilnya, semua orang seperti terhenyak dan kegiatan itu berhenti sama sekali.

N menduga, berdasarkan kejadian-kejadian itu maka orangtuanya tak memperbolehkan N pergi naik gunung. Anak perempuan satu-satunya gitu kan dia. Akibatnya, bohong terus deh.

Pada 1978, N dan teman-temannya merencanakan pendakian ke Gunung Rinjani di Pulau Lombok. Pamitannya jalan-jalan ke Bali dan Lombok seadanya, yang sekarang ini disebutnya backpacking. Padahal carrier/ranselnya gede banget, model jaman dulu yang pakai rangka aluminium. Karena ada kerabat di Lombok dan juga di Bali yang akan dilewati dalam perjalanan, mampir ke rumah mereka sudah jadi keharusan. Setibanya di Bali, N segera mampir ke rumah kerabat di sana. Ketika di Lombok, naik gunung dulu ah...

Di Lombok N dan teman-teman menginap di rumah kakak sepupu salah satu teman yang adalah anggota polisi dan menjabat sebagai danres (komandan resot) di sana. Malam hari sebelum pendakian, seseorang mengetuk pintu. N yang tak bisa tidur, menyambut orang tersebut yang lalu menyebutkan bahwa dirinya adalah wadan (wakil komandan). Menjempun pak danres karena ada kasus pembunuhan. Keesokan harinya, N dan teman-teman diantar ke kaki satu titil pendakian ke gunung Rinjani dengan sebuah mobil pick-up polisi.

Pick-up yang sama kemudian juga mengantar rombongan ke Lembar, pelabuhan feri ke Bali. Dua anak danres ikut menemani dalam perjalanan ini. Sebelum meninggalkan Pulau Lombok, N masih harus mampir ke rumah sepasang mbah yang tinggal di kota Mataram. Pick-up polisi yang disupiri oleh seorang polisi itu pun terlebih dahulu mengarah ke alamat yang disampaikan oleh N. Kalau tidak salah, N sudah menelpon terlebih dahulu, karena itu sesampainya di alamat tujuan kedua mbah sudah menunggu.

Eh, tapi koq dua anak pak danres ikutan turun dari pick-up? Begitu juga supir yang juga polisi, yang langsung sikap tegak serta memberi hormat ke pada kedua mbah-nya N. Heeeee, ada apa?

"Ini kan rumahnya pak wadan," kata anak pak danres yang paling besar.

Lah!? Jadi, yang malam itu dibukakan pintu oleh N adalah oom/paman-nya sendiri. Tapi nggak mengenali. Walaaah...

Bukan saja pak polisi yang menyupiri pick-up yang kenal dengan kerabat N itu, demikian juga dengan anak-anaknya pak danres. Hubungan antara pak danres dan pak wadan cukup akrab rupanya, anak-anak pak danres sering main ke situ.

Nah, kenyataan bahwa N baru saja naik gunung, sudah tak bisa ditutupi lagi hahaha... N hanya bisa pasrah dan berbuat seolah tak ada apa-apa. Berharap detil bahwa dia naik gunung tak akan pernah terdengar oleh orangtuanya. Perjalanan kembali ke Jakarta merupakan perjalanan panjang yang makan waktu beberapa hari. Dua kali menyeberang lautan dan dua kali perjalanan darat di dua pulau (Bali dan Jawa). Ketika N masih dalam perjalanan pulang itu, sepertinya sih kabar bahwa dia naik gunung Renjani sudah sampai ke orangtuanya. Tapi, berhubung sepulang perjalanan orangtuanya tak berkata apa-apa, N merasa rahasianya tak terbuka.

Beberapa bulan kemudian, di sebuah acara keluarga di Jakarta, ibu mendekati N dan bertanya pelan.

"Dulu itu, kamu naik gunung Rinjani ya?"

Howadowh, ketauaaan!!!

N cuman mengangguk sambil nyengir kuda, lalu ngeloyor ke arah dapur.   =^.^=


Kau Tinggalkan Aku

Budi bahasamu sangat halus
Melemahkan hatiku
Daku tertawa padamu
Oh...kasih
Janji setiamu kepadaku
Tuk selama-lamanya
Namun sekarang
Apa yang terjadi
Kau tinggalkan aku
Mengapa oh ..mengapa
Hancurlah diriku
Mengenang dikau
Biar daku rela
Demi cinta kepadamu
Oh...Kasih tinggal aku
Tinggalkan....
Tinggalkan....

Sunday, November 1, 2015

Jaman Jepang ~ Catatan Kenangan



Almarhumah ibu dan almarhum ayah Nina itu dilahirkan dan dibesarkan di jaman penjajahan Belanda. Berasal dari orangtua yang lahir dan dibesarkan di jaman yang sama juga. Bahasa pertama yang diketahui beliau-beliau itu adalah bahasa Belanda. Bersekolah pun di sekolah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda.

Maka, tibalah jaman penjajahan Jepang (1942-1945). Masa di mana semua yang berbau dan berhubungan dengan Belanda dilarang oleh pemerintahan pendudukan militer Jepang. Termasuk pemakaian bahasa Belanda tentunya. Mereka yang tak bisa berbahasa Indonesia, diwajibkan untuk belajar di kursus-kursus bahasa Indonesia yang khusus diadakan. Ibuyang masih duduk di sekolah lanjutan atas—dan saudara-saudara sekandungnya termasuk dalam kelompok ini.

Pada hari dimana ibu mendaftarkan dirinya di kursus, sang penerima pendaftaran menilik nama akhir ibuyang merupakan nama ayahnya—dan lalu membuka mulutnya.

"Tadi ada juga yang mendaftar dengan nama ini," demikian ia berkata, disusul dengan menyebutkan sebuah nama.

"Itu mpok saye," ibu menyahut dengan bahasa Betawi.

Berhubung tidak diperkenankan bercakap memakai bahasa Belanda, maka ibu memakai satu-satunya bahasa lokal yang lumayan dikuasainya. Yaitu, bahasa Betawi. Bahasa ini dipelajari ibu dari para pembantu rumahtangganya yang adalah orang-orang Betawi.

Kalau almarhum ayah, lain lagi ceritanya dari jaman ini. Beliau benci sekali dengan penjajahan Jepang, benci juga disuruh-suruh Jepang belajar bahasa Indonesia (yang dibenci disuruh-suruhnya itu loh...). Maka, diputuskannya untuk bolos sekolah saja dan pergi jalan-jalan. Menggunakan akalnya, ayah membuat sebuah surat keterangan yang akan menjadi dokumen penting untuk jalan-jalannya itu. Surat keterangan yang ditandatangani oleh kepala sekolahnya, dan dilengkapi dengan cap sekolah. Sebuah surat yang menjelaskan bahwa ayah adalah murid sekolah tersebut yang dikirim sebagai utusan untuk berkunjung ke sekolah-sekolah lain di Jawa.

Tandatangan pak kepala sekolah palsu, tentunya; cap-nya mungkin asli yang 'dipinjam' diam-diam.

Ayah lalu bepergian dengan menumpang kereta di sepanjang pulau Jawa bagian utara. Berangkat dari Jakarta (pada waktu itu Jepang sudah mengganti nama Batavia menjadi Jakarta) dan mengarah ke timur. Berbekal surat sakti 'dari sekolah', ayah boleh naik kereta dengan gratis. Di kota-kota di mana ayah memutuskan untuk menginap, ayah tinggal mendatangi sekolah terdekat. Dengan memperlihatkan surat saktinya, ayah menjadi tamu kehormatan di sekolah yang didatanginya. Dijamu makan dan diberikan tempat menginap gratis.

Dua kota yang disinggahi ayah diantaranya adalah Tegal dan Surabaya, demikian data bedasarkan ingatan N. Tak ada kota-kota lain lagi yang muncul dalam ingatan N, atau memang ayah tak pernah menyebutkannya. Tegal berada di tengah-tengah perjalanan, sementara Surabaya menjadi titik berakhirnya perjalanan spektakuler ini, sebagai akibat dari sebuah kesalahan teknis. Di kota terakhir itu ayah rupanya mendatangi sekolah yang salah, yang mana kepala sekolahnya merupakan kerabat ayah sendiri. Yah..., entah bagaimana beliau tahu bahwa semua itu adalah kebohongan yang dibuat ayah, dan menghentikan kenakalan tersebut. Tak ada ribut-ribut, tak ada hukuman, tak ada pengaduan ke sekolah asal—demikian yang diceritakan ayah. Pak kepala tadi cukup memulangkan ayah ke ibukota. Dengan 'ditemani' seseorang untuk memastikan bahwa dalam perjalanan pulang itu ayah tak belok ke mana-mana.

Tak pernah diceritakan oleh ayah apakah pada akhirnya beliau ikut kursus bahasa Indonesia atau tidak. Atau, apakah ayah memang sejak sebelumnya sudah menguasai bahasa Indonesia bersama dengan bahasa Minangkabau—yang terakhir ini sudah pasti. Yang jelas, dengan N dan anak-anak kandungnya yang lain ayah berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Anehnya, di hari-hari terakhirnya ketika beliau sudah sangat sakit, kemampuan berbahasa Indonesia-nya menghilang. Beliau hanya mampu mengekspresikan diri dengan bahasa Belanda. Hal yang sama terjadi juga dengan almarhum ibu dan almarhum oma, ibu dari ibu. Dan, mungkin juga terjadi dengan kerabat lain yang berasal dari masa yang sama.

Kenangan tentang almarhun ibu diketahui N dari kakaknya ibu yang juga sudah almarhum. Sementara tentang ayah, diceritakan sendiri oleh beliau. Semua kenangan ini mucul lagi saat N membaca bundel-bundel majalah Djawa Baroe (DB) di Arsip Nasional RI, ketika sedang melakukan sebuah riset. DB adalah sebuah majalah propaganda pemerintah penjajahan Jepang di Indonesia pada masa itu. Merupakan sedikit dari rekaman sejarah tentang jaman Jepang yang bisa ditemukan di masa kini.

Sedikit catatan tambahan tentang almarhum ayah, meskipun beliau benci sekali dengan penjajahan Jepang—seperti banyak orang Indonesia pada masa itu, ayah ternyata tidak benci dengan Jepang dan orang Jepang di luar masa penjajahan. Karena itu, ketika kemudian beliau bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bekerjasama dengan perusahaan Jepang, sehingga beliau harus beinteraksi dengan bangsa tersebut bahkan sampai harus pergi ke negara sakura itu, tak ada masalah sama sekali.

Oleh-oleh ayah dari Jepang antara lain cerita-cerita dan foto-foto. Rasanya, dari situlah minat acak-dan-sembarang N pada Jepang berakar. Waktu itu dia masih SMP, dan ketika ada tugas mengarang tulisan yang ditunjang dengan gambar-gambar yang dipotong dari majalah, N mencacah majalah Jepang bawaan ayah. Cerita yang ditulis mengambil dasar cerita ayah ketika minum the di Taman Ueno di Tokyo, Jepang.