Monday, February 8, 2021

 

Vaksin Covid-19, Cukupkah?

**********

Kedatangan 2021 disambut dunia dengan gegap gempita. Karena, dianggap membawa berkah vaksin covid-19. Obat mujarab yang diharap akan membuat hidup kita kembali normal.

#VaksinSajaTidakCukup

**********

 

"Nina…, Nina…,” kudengar sayup-sayup suara ayah memanggil.

Terbangun dari tidur, perlahan aku membuka mata.

“Lihat nih, ayah punya hadiah buat kamu".

Pandanganku tak fokus, berhubung panas badan yang masih tinggi. Wajah ayah hanya terlihat samar-samar. Tapi, senyum lebar penuh cintanya kulihat jelas. Dari kuping ke kuping. Kucoba melihat baik-baik apa yang ditunjukkan ayah padaku.

Ah! Sebuah boneka anak perempuan berkuncir dua. Aku suka sekali dengan boneka! Tingginya kira-kira 15-20 cm. Warna ‘kulitnya’ coklat. Bibirnya jambon pucat, tersenyum lebar. Matanya seperti ikut tersenyum dengan bibirnya. Alis tipisnya melengkung.

Dia memakai blus tak berlengan yang menutupi dadanya. Bagian atas celana panjangnya pas melekat di pinggul. Memperlihatkan pusarnya yang, lohkoq bolong?

"Lihat! Ini kamu banget!" kata ayah sambil menekan jemarinya di dua sisi pinggang si boneka.

Plop!

Dari pusarnya yang bolong itu, keluar sebentuk balon kecil berwarna seperti bibirnya. Lucu sekali! Aku tersenyum senang meski lemah, dan perlahan meraih boneka lucu itu. Memeluknya. Ayah tersenyum lagi. Tangannya yang sejuk memegang keningku. Aaah…, rasanya sungguh nyaman!!!

"Tidur lagi saja. Kalau sudah mau pulang, nanti ayah bangunkan lagi".

Aku mengangguk kecil, lalu mengatupkan kedua mataku lagi. Bahagia meski masih sangat terganggu oleh demam, aku segera kembali ke dunia mimpi yang absurd dengan boneka itu di pelukan.

Tadi ayah bilang bahwa boneka itu sangat saya, kan? Ada alasannya. Saya juga berkulit gelap, dan kebetulan saya juga punya pakaian yang modelnya mirip. Saya tak ingat lagi motif dan warna kain pakaian si nona coklat mungil itu. Tapi, saya masih cukup ingat yang saya punya. Batik kontemporer—untuk ukuran masa itu—dengan campuran warna kuning dan coklat.

Tapi, kemiripan paling utama antara saya dan boneka itu adalah, saat masih bayi entah sampai usia berapa saya lupa, pusar saya suka keluar seperti boneka itu. Plop! Persis sekali. Bedanya, pinggang saya tak perlu dipencet seperti terhadap si boneka. Saya cukup menangis sambil menjerit.

Sampai sekarang, mungkin sudah setengah abad berlalu, masih saja saya kagum bahwa ayah bisa menemukan si boneka yang identik dengan saya itu. Dibeli beliau di Jakarta Fair pada masanya, ketika lokasinya masih di Lapangan Medan Merdeka dekat Monas, Jakarta Pusat.

Sejak saat itu, tak sekali pun saya maupun ayah menemukan lagi penjualnya di Jakarta Fair. Atau, di mana pun. Tak pernah juga saya lihat orang lain memiliki boneka yang sama. Sungguh hadiah yang istimewa.

Ayah khusus membelikanku si cantik itu karena malam itu aku tepar demam di rumah opa dan oma. Sementara, yang lain ramai-ramai bersenang-senang di Jakarta Fair. Siangnya pada hari yang sama, di sekolah aku divaksin.

Usiaku saat itu sekitar 7-8 tahun. Masaku di sekolah dasar, vaksin memang selalu diadakan di sekolah. Di antara jam-jam pelajaran. Kami berbaris menunggu giliran, lalu satu per satu disuntik. Tidak gratis. Harus bayar dengan uang yang dibekalkan orangtua kepada kami. Tidak mahal koq, tapi saya lupa berapa nilainya per vaksin.

Biasanya yang memegang uang vaksin adalah abang saya. Pernah loh, satu kali, abang memakai uangnya buat jajan kami. Akibatnya, kami pun tak ikut berbaris untuk divaksin karena uangnya habis. Siangnya ketika ayah datang menjemput, kami sembunyi di toilet takut dimarahi. Tentu ketahuan, dan akhirnya divaksin juga.

Setiap kali divaksin, saya pasti demam. Kadang-kadang bisa sampai tak masuk sekolah selama 2-3 hari. Tak masuk sekolah dengan resmi sesungguhnya enak. Tapi, hanya bisa terbaring tak berdaya di tempat tidur, apa asyiknya? Berbagai kegiatan seru tak bisa saya lakukan. 

Entah di mana salahnya, sehingga pada hari tertentu itu rencana ke Jakarta Fair bersama para sepupu dengan ditraktir opa dan oma, jatuh pada hari yang sama dengan hari vaksin. Siang di rumah, tubuh sudah mulai tak enak. Mata, mulut, dan hidung terasa makin membara. Tapi, aku menggagahkan diri, pura-pura baik-baik saja. Supaya tetap bisa ikut pergi.

Sayangnya, badan yang semakin demam tak bisa lagi berbohong. Sesampainya di rumah oma dan opa, aku pun tumbang. Jangankan pura-pura baik-baik saja, duduk tegak pun sudah tak mampu. Untung dapat hadiah boneka cantik berpusar balon. Sangat mengobati hati meski demam jalan terus. Meredakan kekesalan; melihat abang, adik-adik, dan sepupu yang juga divaksin tadi koq baik-baik saja.

Selain demam, efek yang paling buruk dari segala suntikan vaksin yang kuterima adalah setelah disuntik BCG (Bacillus Calmette-Guérin), vaksin untuk melindungi manusia dari virus tuberkulosis (TB). Tak hanya demam, bekas suntikan di lengan atas dan tepat di bawah bahu itu, meruyak menjadi borok. Melebar sampai hampir memenuhi lengan atas.

Sampai sekarang saya masih ingat bau lukanya. Sembuhnya lama, meski mungkin itu juga karena saya suka mengorek-ngorek lukanya. Seseorang pernah berkata, luka itu adalah tanda bahwa tubuh saya sudah diserang vaksin TB. Ya, tak tahu sih kebenarannya.

Selesai pendidikan SD, selesai pula urusan hidup saya dengan vaksin. Demikian saya berpendapat. Dengan senang hati saya mengucapkan salam perpisahan pada dunia vaksinasi. Namun, siapa sangka bahwa saat sudah dewasa begini, ternyata saya masih akan berhadapan dengan vaksin? Gara-gara di abad ke-21 ini dunia dilanda pandemi mematikan. Covid-19.

Sebagai penyegar ingatan, saya kutip apa kata dokter ahli paru, Brigjen TNI Pur dr. Alexander K. Ginting Suka,Sp.P. (K) FCCP, tentang covid-19. Yang tercantum dalam materi untuk webinar Vaksin Saja Tidak Cukup, pada 28 Januari 2021.

Covid-19 adalah penyakit menular infeksius yang disebabkan oleh corona virus jenis baru SARS-CoV-2, yang ditemukan pertama kali di Wuhan, Cina pada 31 Desember 2019. Suatu penyakit yang menyerang organ-organ tubuh multisistem.

Kasus pertama di Indonesia yang dilaporkan tercatat pada 2 Maret 2020. Pada 11 Maret 2020 World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa covid-19 merupakan pandemic disease. Indonesia memasuki tahap tanggap darurat pada 17 Maret 2020.

Belum..., belum ada pencegahannya atau vaksinnya waktu itu. Maka, seperti yang kita semua tahu, kepada seluruh penduduk bumi keras disarankan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu sebagai pencegahan. Social distancing, memakai masker, rajin mencuci tangan, dan lainnya—yang kita semua tentunya sudah sangat hafal. Banyak negara menutup diri. Lockdown. Seiring dengan naiknya grafik jiwa yang hilang akibat covid-19, dunia pun berupaya membuat vaksin untuk memerangi penyakit mematikan ini.

Dengan adanya vaksin diharap akan menurunkan kesakitan dan kematian akibat covid-19. Dan, demi tercapainya kekebalan kelompok (herd immunity) untuk mencegah dan melindungi kesehatan masyarakat. Dengan demikian, akan dapat melindungi dan memperkuat sistem kesehatan secara menyeluruh. Sehingga dapat menjaga produktifitas, serta meminimalkan dampak sosial dan ekonomi.

Kita masih ingat bagaimana dunia menyambut kedatangan 2021, yang dianggap sebagai tahun pembawa vaksin covid-19. Vaksin yang sangat diharap-harap itu dipercayai akan menjadi satu-satunya penyelamat dunia. Agar manusia dapat kembali ke kehidupan normal seperti sebelum masa pandemi.

Dalam gegap gempita penuh harapan itu, saya adalah salah satu orang yang menyatakan siap untuk divaksin. Dengan harapan pandemik akan segera tuntas. Meski diam-diam cemas akan kemungkinan menjadi demam setelah disuntik. Sementara, sudah tak ada lagi ayah yang tangannya nyaman di dahi, dan yang akan menghadiahi boneka cantik sebagai penghibur.

Namun, sebetulnya vaksin tidak akan langsung menuntaskan pandemik. Apalagi, tidak semua orang bisa divaksin. Orang-orang dengan penyakit tertentu (komorbit), penyintas penyakit berat seperti kanker, dan penyandang otoimun merupakan orang-orang yang tak bisa divaksin. Sebenarnya begitulah kondisi vaksin secara umum, bukan kasus khusus vaksin covid-19.

Di lain sisi, vaksin covid-19 untuk anak-anak juga belum ada. Untuk lansia barangkali juga belum cocok. Jelaslah, kita benar-benar harus paham akan kenyataan yang sebenarnya. Apakah betul vaksin covid-19 saja sudah cukup untuk melindungi kita.

Harus dipahami juga bahwa vaksin covid-19 tidak membuat tubuh kebal akan virus mematikan tersebut. Yang terjadi adalah, vaksin hanya akan meningkatkan imunitas tubuh. Kita menjadi tak terlalu gampang terpapar virus covid-19. Secara umum, kerja vaksin memang untuk meningkatkan imunitas tubuh manusia.

Contohnya, sebagaimana diingatkan oleh dr. Alexander K. Ginting adalah, bahwa vaksin BCG juga tak membuat kita kebal virus TB. Namun, daya tahan tubuh kita yang akan meningkat, menjadi lebih kuat dalam menghadapi serangan TB.

Jelaslah artinya bahwa vaksin saja tidak cukup. Dengan demikian, kita tetap harus disiplin menjalankan segala aturan prokes yang ada. Teruslah menjaga kesehatan tubuh supaya kebugaran tetap prima. Ketahui juga apakah orang-orang di sekitar kita sudah divaksin.

Siapa tahu mereka merupakan golongan yang tak dapat menerima vaksin. Kepada golongan ini, kita yang sudah divaksin harus lebih waspada. Jangan sampai mereka malah terpapar oleh kita. Vaksin hanya melindungi orang yang sudah disuntik.

Harus diingat baik-baik , bahwa sehat kita bukan hanya untuk diri kita sendiri saja. Tapi, untuk semua. Untuk keluarga, untuk masyarakat. Ingat juga, kalau kita, atau siapapun, terpapar covid-19, tak hanya diri kita sendiri yang susah. 

Tolong, pikirkan juga para tenaga kesehatan. Mereka sudah lelah. Pakaian hazmat yang sehari-hari memerangkap mereka sampai-sampai urusan sederhana seperti minum atau buang air kecil menjadi sulit dilakukan, ternyata tak menjamin mereka bebas dari paparan covid-19.

Nyaris setahun pandemi di Indonesia, kita sudah kehilangan lebih dari 600 orang nakes. Jumlah yang sangat sangat terlalu banyak…   =^.^=

#VaksinSajaTidakCukup

 

 

Wednesday, February 3, 2021

 Empon-empon – Sudah Enak, Sehat Pula…

*****

“Makanan enak pasti nggak sehat!” kata keponakan saya dulu. Eh…, jangan salah! Siapa bilang yang enak-enak itu pasti tak sehat?

*****


“Pak Tolani, minta serehnya yaaa…,” saya berseru


“Ambil aja. Eh, nggak usah pakai pisau, bu! Kan tinggal ditarik saja,” jawab Pak Tolani yang tengah bekerja di bawah tenda plastik darurat di tanah kosong itu.

“Ah, baik pak”.

Padahal, saya sudah tahu bahwa mencabut sereh cukup ditarik saja batangnya—atau apalah itu nama batang tubuhnya. Tapi, saya punya sedikit trauma. Saat kecil, ketika mencabut sereh tangan saya malah tersayat oleh bilah daun sereh. Duh, rasa perihnya yang nggak enak sampai sekarang masih tersimpan baik di memori dalam kepala.

Sereh yang baru saya cabut itu, hendak saya pakai sebagai campuran minum teh. Kelar mencabut sereh yang alhamdulilah tanpa tangan perlu terluka, saya mengambil waktu untuk berpikir sejenak. Berpikir tentang hal yang sepele saja sebenarnya. Yah, gitu deh, kadang saya suka mikir yang nggak perlu-perlu. Tapi, karena bikin hati senang, ya nggak apa-apalah…

Pemikiran tak guna kali ini adalah, apakah si sereh nanti cukup digeprek, ataukah akan saya iris-iris. Hehe, masalah selera saja sih… Kalau diiris rasa serehnya bakal lebih nonjok aja. Bisa pula dua kali diseduh.

Untuk teh-nya, sudah pasti teh hitam donk, bukan teh hijau. Berdasarkan rasa, dan selera juga tentunya, teh hitam lebih cocok untuk diminum bersama batang sereh—daunnya biasanya saya buang. Kalau untuk teh hijau, nah, buat saya campuran yang cocok adalah daun mint.

Sereh yang tadi saya cabut, rumpunnya tumbuh di tanah kosong di seberang agak serong ke kanan dari rumah saya. Ditanam oleh Pak Tolani atas ijin pemilik tanah. Selain sereh, Pak Tolani juga menanam beberapa jenis tanaman berguna lainnya. Semisal, kumis kucing, lidah buaya, sejenis rimpang yang saya lupa namanya, dan beberapa jenis tanaman lainnya. Singkong adalah yang paling banyak, Ada pisang juga.

Juga ada di situ adalah dua pokok pohon kelor. Pokok-pokok kelor ini cukup besar diameternya. Melihat itu, saya menduga pasti tadinya mereka pohon-pohon yang tinggi besar. Lalu, ditebang sampai hanya menyisakan tinggi sekitar dua meter. Kenapa ditebang? Karena, kabarnya ada kekhawatiran rubuh. Katanya juga, guna menghindari pohon­-pohon itu menjadi hunian dari yang gaib-gaib. Tapi kan sayang ya pohon besar ditebang…

Ah, siapalah saya ini kalau hendak protes soal penebangan pohon-pohon yang bukan milik saya itu. Memang, daerah rumah saya pada musim-musim penghujan anginnya cenderung kencang. Masih bagus disisakan cukup tinggi pokok-pokok pohon kelor itu. Mereka pun berkeras menolak mati, dedaunannya selalu tumbuh banyak.

Saya sering merambah di tanah kosong itu. Termasuk memetik daun singkong dan daun kelor. Kalau beruntung, akan mememukan pohon pepaya terselip di antara berbagai tumbuhan di situ. Daun mudanya bisa saya petik juga. Belum saja ketemu kembang pepaya, sayangnya.

Di sebelah belakang tanah kosong itu, kalau dilihat dari rumah saya, ada tanah kosong lagi. Perbatasan keduanya ditandai oleh jejeran pokok-pokok tanaman pepaya Jepang alias pepaya sakura. Saya tak paham kenapa nama tanaman ini dikaikan dengan nama Jepang dan sakura. Disebut sebagai pepaya adalah karena bentuk daunnya mirip dengan daun pepaya. Hanya saja lebih kecil dalam ukuran.

Buahnya? Jauh dari bentuk buah pepaya. Saya sendiri belum pernah melihatnya secara nyata. Hanya pernah melihat fotonya. Kecil-kecil  berwarna hijau, lonjong atas ke bawah. Kalau bunga-bunganya sering saya lihat, kecil putih menggerumbul. Bentuknya seperti bunga kemuning, tapi tak beraroma sama sekali. Daun pepaya Jepang bisa dimakan juga. Jadi, so pasti saya sering memetiknya pula.

Tepat dibalik jejeran pepaya Jepang ada tumbuh pohon melinjo. Saya sempat melihatnya sebagai pohon yang gagah menjulang tinggi. Penuh dengan buahnya yang berwarna kuning dan merah, yang entah kenapa tak pernah saya lihat dipanen orang. Mungin, karena ia tumbuh terlalu tinggi.

Kini, pokok kayu pohon melinjo hanya tinggal sekitar setengah meter saja tingginya dari permukaan tanah. Alasan penebangannya sama dengan alasan penebangan pohon-pohon kelor. Sungguh sayang, tapi sebenarnya menguntungkan saya. Sama seperti si kelor, pokok melinjo tak menyerah meski ditebang. Ia selalu melahirkan daun-daun yang, ya betul sekali, selalu bisa saya rambah juga untuk masuk dapur.

Ketika saya bercerita tentang tanah kosong itu, ada teman yang berjanji akan mengirimkan tanaman-tanaman gedi, kemangi, dan mint. Agar bisa ditanam di situ. Wuih, senangnya! Namun, harus sabar. Karena, teman saya baru mulai membudidayakan lagi tiga jenis tanaman berdaun itu.

Oh, buat yang tak tahu, gedi itu adalah sayuran dengan rasa khas yang dahsyat. Bentuk tumbuhan dan daunnya mirip dengan pepaya Jepang. Yang tak tahu akan berpikir mereka adalah tanaman yang sama. Saya sendiri masih belum bisa membedakan antara keduanya.

Daun gedi selalu dimasukan orang ke dalam masakan bubur tinotu’an. Bubur ini adalah bubur yang dikenal juga dengan sebutan bubur Manado. Saya duga, direbus atau dikukus saja harusnya juga bisa. Pasti sedap!!! Apalagi dimakan dengan daun kemangi.

Saya juga sangat menantikan tanaman mint. Tumbuhan seperti semak dengan daun yang kira-kira berukuran sekitar uang logam seratus rupiah ini, sedap diminum bersama teh hijau. Tak ada yang menjual daun mint di daerah rumah saya yang rada-rada dusun ini.

Kalau mau, saya harus khusus pergi ke supermarket besar di sebuah mal baru. Jaraknya sih hanya sedikit lebih dari satu kilometer dari rumah. Tapi, di masa pandemi begini, saya memilih tak mengunjungi tempat ramai macam mal.

Ketiadaan daun mint bukan soal besar juga sih. Apabila saya ingin menikmati teh dengan rasa lebih dari sekedar rasa daun teh, ada banyak pilihan sesungguhnya. Di rumah selalu ada jeruk nipis dan lemon. Daun jeruk juga tersedia—tinggal petik di tetangga sebelah sono. Mau pandan juga tinggal metik di sebelah sini. Rimpang-rimpangan sebangsa jahe juga selalu tersedia di rumah. Tinggal pilih. Tinggal comot.

Demikian pula dengan kayu manis dan cengkeh, selalu siap untuk ditambahkan ke teh.Dua macam rempah ini juga enak untuk dicampur dengan seduhan tatalan batang secang. Sedap lho diminumnya! Seru menyesapnya sambil menikmati keindahan warnanya yang merah berani.

Pun juga asyik adalah, menyesap sambil memanjakan mata dengan birunya teh telang. Ini adalah teh yang tanpa daun teh. Hanya kembang telang biru belaka yang diseduh. Kembang itu tak tumbuh di seputaran rumah saya. Saya biasa memetiknya di salah satu jalur jalan kaki saya.

Lima puluh kembang telang sekali petik—ya, sambil memetik saya menghitungnya. Dengan pertimbangan lima kembang untuk sekali seduh, maka saya bisa menyeduh sepuluh kali. Sebelum kemudian kembali memanen kembang ini di pagar luar rumah orang di situ hehe…

Seduhan bunga telang juga bisa dicampur dengan berbagai rempah. Perasan atau potongan jeruk nipis atau lemon, daun jeruk purut, daun pandan, cengkeh, jahe, kayu manis; hanyalah sebagain dari padanya. Saya sendiri hanya pernah menambahkan irisan daun jeruk purut, atau perasan lemon.

Dengan lemon biasanya bila iseng hendak melihat larutan biru si teh telang perlahan berubah menjadi jambon cantik. Selebihnya, murni sajalah. Karena, bahan-bahan tambahan itu akan menelikung rasa asli teh telang yang sudah enak.

Kalau saya baca-baca di artikel-artikel yang bersumber di internet, banyak sekali kebaikan dari teh telang ini. Tapi, saya baru tahu dari pemaparan dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes, Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional, Kemenkes RI; di webinar Vaksin Saja Tidak Cukup, 28 Januari 2021; bahwa kembang telang menyimpan manfaat yang sangat luar biasa.

Dijelaskan bahwa telang dapat memperbaiki fungsi otak. Kita terbiasa berupaya untuk memperbaiki fungsi berbagai organ tubuh kita, lanjut ibu dr. Wiendra. Baik itu yang di luar misalnya kulit, maupun yang di dalam; jantung, ginjal, hati, dan lainnya. Tapi, kita seringkali lupa merawat organ yang bernama otak. Padahal, otak adalah organ yang merupakan pusat syaraf seluruh tubuh kita.

Senangnya! Tak hanya karena jadi tambah tahu soal kebaikan si teh telang itu, tapi juga karena dari paparan dr. Wiendra, saya mengetahui bahwa ternyata berbagai rempah kesukaan saya itu mempunyai sangat banyak manfaat.

Sejak awal mewabahnya pandemi yang di Indonesia terhitung sejak awal Maret 2020, kita selalu mendengar berbagai suruhan, saran, nasihat, dan sejenisnya; yang harus kita panuti untuk tetap sehat dan tak terpapar covid-19.

Ada yang namanya kewajiban prokes 3M—sekarang jadi 5M. Lalu, ada yang menganjurkan berjemur di bawah matahai pagi—yang jamnya tergantung mahzab masing-masing. Ada pula yang mengingatkan pentingnya olahraga. Dan, banyak juga yang menyarankan untuk sering mengasup empon-emponan.

“Aduh, apalagi sih itu empon-emponan?” bisik saya pada Kamoy si kucing—di rumah nggak ada lagi yang bisa diajak curhat sih selain Kamoy.

Berjalannya waktu, kata yang saya tak tahu apa maknanya itu, makin sering saja saya dengar disebut orang. Termasuk sebagai jawaban dari salam sehat yang saya utarakan.

“Sehat terus ya, mbak/mas/pak/bu”.

“Sehat donk, saya kan rajin mengasup empon-empon”.

“Eh, apa sih empon-empon itu?” tanya saya bigung.

“Hmmm…, ya gitu deh, yang suka dibuat jamu-jamuan”. Yang jawab sepertinya sama juga bingungnya.

Lah!? Lalu nulisnya bagaimana? Pon pon? Ponpon? Pon-pon? Mpon-pon? Mpon-mpon? Empon-empon?  Hanya senyum yang menjawab pertanyaan saya ini.

Sambil menyesap teh yang serai-nya tadi saya panen, saya mencari tentang hal itu di tempat yang dikenal paling tahu di internet—iya, si mbah nganu.  Saya coba cari dengan memakai semua kata kunci di atas. Hasil pencariannya seru-seru kalau tak mau dibilang membingunkan. Ketemu video lagu seorang penyanyi Jepang. Ada lagi merek biskuit yang juga dari Jepang. Lainnya, produk entah apa yang konon untuk melembutkan rambut. Aaah…

Tapi, akhirnya tokh ketemu juga sejumlah artikel tentang si empon-empon ini.

 “Merupakan tanaman seperti kunyit, temulawak, jahe, cabe puyang, dan rempah-rempah lainnya,” demikian deskripsinya.

Nah, apa sajakah yang termasuk dalam frasa ‘rempah-rempah lainnya’ itu? Lalu, bahasa manakah empon-empon itu? Saya perkirakan bahasa Jawa.

Dari cari-mencari itu, saya menemukan bahwa tulisan dalam bahasa Indonesia-nya adalah, empon-empon. Definisinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring merupakan sebuah kata benda dengan deskripsi sebagai berikut.

“Rimpang (jahe, kunyit, temulawak, dan sebagainya) yang digunakan sebagai ramuan tradisional.’

Hmmm…, ketemu lagi dengan frasa yang maknanya bisa luas. Tadi ada ‘rempah-rempah lainnya’, kali ini ‘dan sebagainya’.

Sebuah artikel di Kompas.com menyebutkan bahwa empon-empon adalah, sederhananya, ”bagian tanaman yang kaya akan senyawa yang dikandungnya”, atau “kelompok tanaman yang bisa membentuk simpanan senyawa”. Definisi ini dikutip dari seorang Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. Ir. Murdijati.

Disebutkan pula dalam artikel itu, bahwa nama [sic!] dasar empon-empon adalah empu. Dikatakan, bahwa dalam bahasa Indonesia arti lain dari kata empu adalah rimpang atau rizoma. Sayangnya, saya tak menemukan di KBBI daring makna kata ‘empu’ yang berarti rimpang.

Menarik ini! Jadi makin penasaran. Semoga, dengan tetap disiplin stay at home sehingga banyak waktu di rumah, saya bakal sempat mengutik internet untuk mencari tahu informasi tentang empon-empon ini secara lebih jauh lagi.

Untuk sementara, saya simpulkan bahwa empon-empon adalah bahan-bahan untuk membuat jamu-jamuan. Jamu, seperti yang ditegaskan oleh dr. Wiendra di webinar, adalah salah ramuan tradisional yang baik dikonsumsi untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Jenisnya sangat kaya dan beragam. Mengolahnya bisa dengan berbagai cara.

Jamu tidak enak? Ini kata dr. Wiendra, "telan sajalah demi sehat".

Namun, menurut saya, banyak jamu atau minuman tradisional dan rempah yang enak dalam rasa. Tanpa perlu diberi pemanis, misalnya, sudah luar biasa rasanya. Lihat saja teh telang atau secang. Rasanya sedap lho! Sudah enak, sehat pula…

Di masa pandemik di mana kita bagai jatuh di terowongan gelap yang tak jelas di mana ujungnya, saya merasa bahwa saya harus benar-benar bisa menjaga kualitas hidup saya. Parno saja tidak cukup. Saya harus terus dapat menjaga daya tahan tubuh saya dengan pola hidup sehat. Sambil menguatkan fisik dengan ramuan tradisional. 

Sambil berharap bahwa vaksin akan segera hadir. Maka, gembira sangat rasa hati ketika datang kabar bahwa vaksin sudah ada

“Ah, akhirnya kita akan segera bisa hidup bebas berkat vaksin,” demikian saya berpikir.

Tapi, ternyata vaksin bukanlah segala-galanya. Dengan divaksin, imunitas dalam tubuh saya memang akan meningkat. Tapi, rupanya bukan berarti bahwa tubuh saya akan sama sekali kebal dari sentuhan virus covid-19. Untuk tak terpapar virus mematikan itu, prokes yang tak bosan-bosannya didengungkan itu, harus tetap saya lakukan dengan tak bosan-bosannya juga. Berolahraga yang cukup juga perlu. Tubuh ini jangan hanya disuruh working, tapi juga harus ada working out.

Hanya mengkonsumsi jamu-jamuan saja pun tentu juga tak cukup. Saya juga harus bisa memperhitungkan gizi dari makanan yang saya asup. Dr. Weindra juga mengingatkan tentang frasa yang jaman sekolah dasar dulu selalu terdengar dan kini saya lupakan: 4 sehat, 5 sempurna. Frasa itu masih tetap harus dilakoni. Ia bukan sekedar kata-kata kosong tanpa makna.

Jadi, yuk yuk, saya mengajak Anda semua untuk sama-sama menerapkan 4 sehat 5 sempurna sebagai gaya hidup. Mari sehat bersama! Siapa tahu kita segera bisa melihat cahaya di ujung terowongan yang sangat gelap ini. Yuk!   =^.^=
#VaksinSajaTidakCukup