Wednesday, February 25, 2015

Sebuah Nama Panggilan



Waktu kuliah dulu nama panggilan Nina adalah Mamat. Bukan hanya teman-teman kampus yang memanggilnya demikian, para dosen pun demikian adanya. Dan, umumnya, mereka yang memanggilnya dengan nama itu termasuk—para dosen tersebut—tak tahu bahwa nama asli si Mamat itu adalah Nina.

Pada masa kuliah Nina ikut kegiatan bela diri. Ketika kelompok tersebut bermaksud merekrut anggauta baru, nama Nina dicantumkan sebagai perwakilan pendaftaran di fakultasnya. Tak lama setelah poster perekrutan di pasang, beberapa teman sejurusannya memberitahu Nina bahwa seorang dosen perempuan mencarinya. Nina pun menemui dosen.

“Nama asli kamu itu Nina toh, Mat,” seru si dosen yang rupanya bermaksud mendaftarkan anaknya di perkumpulan bela diri tersebut, dengan terheran-heran.

Sebelumnya sih sudah pernah terjadi yang mirip-mirip. Waktu itu Nina sedang mengikuti latihan penggalian di kompleks Candi Sewu di Jawa Tengah. Satu hari, saat sedang jongkok-jongkok di kotak penggalian, tiba-tiba seorang dosen lelaki memanggilnya.

“Mat! Mat! Sini!”

Rupanya Nina kedatangan tamu. Pamannya sekeluarga yang sedang liburan di Yogyakarta, berkunjung ke Candi Prambanan. Berbekal pengetahuan bahwa Nina sedang praktek lapangan di belakang candi tersebut, sang paman pun mencarinya. Kegiatan latihan penggalian mudah dilihat dari jalanan yang bukan jalan aspal. Berhubung penggaliannya memang belangsung di sepanjang jalan tersebut. Tapi, yang manakah Nina? Sebab malu bertanya sesat di jalan, sang paman pun bertanya pada seorang dosen laki-laki, di mana gerangan kah keponakannya yang bernama Nina—sang paman menyebutkan nama Nina lengkap sekaligus dengan nama tengah dan nama belakang lho.

“Waaah..., kayaknya nggak ada mahasiswa yang namanya Nina,” jelas si dosen.

Tak tahu harus bagaimana lagi, paman sekeluarga pun mengucapkan terima kasih dan bermaksud melanjutkan perjalanan. Pas ketika sang paman hendak masuk ke mobilnya, sekelebat dilihatnya bayangan dikejauhan yang diyakininya sebagai Nina.

“Aaah! Itu dia keponakan saya si Nina!” seru sang paman

“Oooh..., si Mamat ya...,” sang dosen menjawab.

Hahahaha..., aduh, aku geli sekali membayangkan situasi yang bagaikan dagelan Srimulat tersebut.

Maka, sejak saat itu, sang paman pun turut memanggil keponakannya tersebut ‘Mamat’.

Menjelang akhir masa kuliah, ceritanya Nina berhutang satu mata kuliah wajib. Mata kuliah tersebut hanya ada di semester genap. Dengan demikian, ada satu semester ganjil yang harus dilaluinya sebagai semester kosong. Supaya tak kosong-kosong amat, Nina mengambil mata kuliah sebebas-bebasnya yang jauh dari spesifikasi pilihan Nina. Salah satunya diajar oleh seorang dosen yang sepertinya sayang pada  Nina, dan memang atas pertimbangan itu maka Nina mengambil mata kuliah tersebut. Nina lumayan rajin lho, sebab malu juga donk kalau dapat nilai jelek pada pelajaran guru yang sayang pada dirinya.

Setelah ujian akhir semester, sebelum daftar nilai resmi keluar, para mahasiswa sudah bisa melihat nilai-nilai ujian. Cukup datang ke ruangan sang dosen, lalu mencari nama masing-masing di daftar nilai sementara.

“Asyik, gue dapet B+!” seru Nina.

“Oooh, Mamat namanya Nina ya?” tanya sang dosen yang dijawab Nina dengan anggukan.

Beberapa jam kemudian, Nina liwat lagi di jurusannya itu. Dosen kesayangan masih ada di situ dan memanggilnya.

“Mamat! Sini, lihat lagi nilainya!”

Nina tak paham maksudnya, tapi mengikuti sang dosen ke ruangannya.

“Hehehe..., lihat, saya sudah ubah nilainya, hehehe...” kata sang dosen bangga.

Nina melihat pada lajur namanya, nilai yang tercantum adalah A-. Angka ‘A’ dan tanda ‘-‘ tersebut tercantum di atas sebentuk bekas hapusan. Yang dihapus adalah ‘B+’ yang pagi tadi dilihat Nina tercantum di situ. Ya ampun, sedemikian sayangnya si dosen pada Nina ya rupanya. Nina sampai terharu, dan sedikit sedih sebab dia tak mengambil spesialisasi yang diajarkan oleh dosen tersebut, yang pada bidangnya merupakan salah satu ahli terkemuka di Indonesia.

Meski nama Mamat lebih meluas di masa kuliah, namun, sebenarnya nama tersebut sudah disandang Nina sejak duduk di kelas satu sekolah menengah atas (SMA). Waktu baru masuk di SMA, seorang temannya memperkenalkan Nina pada segerombolan kakak kelas laki-laki.

“Namanya Nina,” sang teman mempekenalkan.

“Ah, cowoq koq namanya Nina. Joni nih pasti namanya,” kata seorang kakak kelas yang sampai sekarang sosoknya masih diingat Nina.

Untuk beberapa bulan, sebagian dari kakak kelas di kelas tiga memanggil Nina sebagai Joni. Salah satu  kakak kelas kemudian mengajaknya bergabung di pramuka sebagai kegiatan di luar sekolah. Lokasi Jakarta Selatan. Pramuka tingkatan Nina seJakarta Selatan ini lalu pergi berkemah di Jawa Tengah. Perjalanan dari Jakarta dilaksanakan dengan kereta api. Sang kakak kelas lalu memperkenalkan Nina ke anggota pramuka lainnya.

“Kenalin, namanya Joni,” begitu si kakak kelas tiap kali perkenalan di lakukan.

Sebagian menjawab keheranan karena yang diperkenalkan ceweq sementara namanya cowoq. Sebagian lagi tertawa. Tapi, ada satu yang reaksinya berbeda sama sekali.

“Joni? Itu kan nama orang kota. Anak kampung gini Mamat lah namanya,” kata seseorang tersebut yang sayangnya Nina tak ingat lagi siapa.

Di acara berkemah yang memakan waktu beberapa hari itu, resmilah nama Nina berubah menjadi Mamat di lingkungan pramuka Jakarta Selatan ada masa itu. Dikatakan resmi adalah karena semua memanggilnya secara demikian. Dijamin hampir seluruhnya tak tahu bahwa nama sebenanrnya adalah Nina. Ditengarai, sebagian mungkin berpikir bahwa nama sebenar si Mamat itu adalah Joni, nama panggilan di sekolah.

Di sekolah, Nina ikut kegiatan pecinta alam. Lalu pada suatu hari, di tempat bekumpulnya pecinta alam Jakarta, rupanya hadir seorang anak perempuan yang juga anggauta pramuka Jakarta Selatan. Nina tak ingat lagi siapa anak ini, tapi, yang pasti karena dia semua orang di tempat itu kemudian memanggilnya Mamat. Beberapa gelintir teman membawa nama tersebut ke sekolah, tapi, anehnya, nama tersebut tak menjadi populer di sana. Ketika panggilan Joni memunah, nama populer Nina di masa SMA adalah ‘Nina Boy’.

Tibalah masa kuliah. Pada masa itu, di kampus ada masa perkenalan di mana para mahasiswa baru diisengi begitulah. Semua harus memakai karton berukuran besar bertuliskan nama dan jurusannya. Di antara para mahasiswa senior, ada beberapa yang juga merupakan aktifis pecinta alam Jakarta. Sudah tahukan maksudnya? Gara-gara beberapa gelintir inilah Nina di kampus dipanggil sebagai Mamat.

Kadang, teman di kampus menyangka bahwa nama Mamat adalah kependekan dari nama aslinya Nina. Salah satu yang kusebut sebagai tante Red, pada suatu masa tertentu, memanggil Nina sebagai Matilda. Sebab, dikiranya itu adalah nama Nina yang sebenarnya. Tante Red rupanya juga berteman dengan kakaknya Nina. Satu hari, kakaknya Nina datang ke rumah tante Red—jaman kuliah dulu. Tanteku yang satu ini memberitahu ibunya bahwa yang tadi datang itu adalah kakaknya si Matilda. Reaksi sang ibu?

“Tunggu dulu, ada sesuatu yang salah di sini!”

Menurut beliau, tak mungkin seseorang yang bernama Matilda mempunyai kakak yang bernama bagaikan tokoh reformis Turki. Tante Red lalu mencari tahu, dan menemukan kenyatan bahwa Mamat itu sesungguhnya bukan panggilan sayang dari Matilda. Dan, bahwa nama Mamat bukanlah nama Nina yang sebenarnya.

Cerita ini baru didengar Nina beberapa puluh tahun kemudian. Ketika tante Red bertemu serta kembali bergaul dengan Nina.

Di masa sekarang, masih ada sih yang memanggil Nina sebagai Mamat. Biasanya mereka yang sudah puluhan tahun nggak saling berjumpa. Tapi, ada juga yang dengan mantap memanggilnya Ahmad. Rada mirip dengan tante Red nih, menyangka bahwa Mamat itu kependekan dari Ahmad.  =^-^=