Waktu kuliah dulu nama
panggilan Nina adalah Mamat. Bukan hanya teman-teman kampus yang memanggilnya
demikian, para dosen pun demikian adanya. Dan, umumnya, mereka yang
memanggilnya dengan nama itu termasuk—para dosen tersebut—tak tahu bahwa nama asli si Mamat itu adalah Nina.
Pada masa kuliah Nina ikut
kegiatan bela diri. Ketika kelompok tersebut bermaksud merekrut anggauta baru, nama
Nina dicantumkan sebagai perwakilan pendaftaran di fakultasnya. Tak lama
setelah poster perekrutan di pasang, beberapa teman sejurusannya memberitahu
Nina bahwa seorang dosen perempuan mencarinya. Nina pun menemui dosen.
“Nama asli kamu itu Nina
toh, Mat,” seru si dosen yang rupanya bermaksud mendaftarkan anaknya di perkumpulan
bela diri tersebut, dengan terheran-heran.
Sebelumnya sih sudah pernah terjadi yang
mirip-mirip. Waktu itu Nina sedang mengikuti latihan penggalian di kompleks
Candi Sewu di Jawa Tengah. Satu hari, saat sedang jongkok-jongkok di kotak penggalian,
tiba-tiba seorang dosen lelaki memanggilnya.
“Mat! Mat! Sini!”
Rupanya Nina kedatangan
tamu. Pamannya sekeluarga yang sedang liburan di Yogyakarta, berkunjung ke
Candi Prambanan. Berbekal pengetahuan bahwa Nina sedang praktek lapangan di
belakang candi tersebut, sang paman pun mencarinya. Kegiatan latihan penggalian
mudah dilihat dari jalanan yang bukan jalan aspal. Berhubung penggaliannya memang belangsung di sepanjang jalan tersebut. Tapi, yang manakah
Nina? Sebab malu bertanya sesat di jalan, sang paman pun bertanya pada seorang dosen laki-laki, di mana gerangan kah keponakannya yang bernama Nina—sang paman
menyebutkan nama Nina lengkap sekaligus dengan nama tengah dan nama belakang lho.
“Waaah..., kayaknya nggak ada mahasiswa yang namanya Nina,” jelas si dosen.
Tak tahu harus bagaimana
lagi, paman sekeluarga pun mengucapkan terima kasih dan bermaksud melanjutkan
perjalanan. Pas ketika sang paman
hendak masuk ke mobilnya, sekelebat dilihatnya bayangan dikejauhan yang
diyakininya sebagai Nina.
“Aaah! Itu dia keponakan
saya si Nina!” seru sang paman
“Oooh..., si Mamat ya...,”
sang dosen menjawab.
Hahahaha..., aduh, aku geli
sekali membayangkan situasi yang bagaikan dagelan Srimulat tersebut.
Maka, sejak saat itu, sang
paman pun turut memanggil keponakannya tersebut ‘Mamat’.
Menjelang akhir masa kuliah,
ceritanya Nina berhutang satu mata kuliah wajib. Mata kuliah tersebut hanya ada
di semester genap. Dengan demikian, ada satu semester ganjil yang harus dilaluinya
sebagai semester kosong. Supaya tak kosong-kosong amat, Nina mengambil mata
kuliah sebebas-bebasnya yang jauh dari spesifikasi pilihan Nina. Salah satunya
diajar oleh seorang dosen yang sepertinya sayang pada Nina, dan memang atas pertimbangan itu maka
Nina mengambil mata kuliah tersebut. Nina lumayan rajin lho, sebab malu juga donk kalau dapat nilai jelek pada
pelajaran guru yang sayang pada dirinya.
Setelah ujian akhir
semester, sebelum daftar nilai resmi keluar, para mahasiswa sudah bisa melihat
nilai-nilai ujian. Cukup datang ke ruangan sang dosen, lalu mencari nama
masing-masing di daftar nilai sementara.
“Asyik, gue dapet B+!” seru
Nina.
“Oooh, Mamat namanya Nina
ya?” tanya sang dosen yang dijawab Nina dengan anggukan.
Beberapa jam kemudian, Nina
liwat lagi di jurusannya itu. Dosen kesayangan masih ada di situ dan
memanggilnya.
“Mamat! Sini, lihat lagi
nilainya!”
Nina tak paham maksudnya,
tapi mengikuti sang dosen ke ruangannya.
“Hehehe..., lihat, saya sudah
ubah nilainya, hehehe...” kata sang dosen bangga.
Nina melihat pada lajur
namanya, nilai yang tercantum adalah A-. Angka ‘A’ dan tanda ‘-‘ tersebut
tercantum di atas sebentuk bekas hapusan. Yang dihapus adalah ‘B+’ yang pagi tadi
dilihat Nina tercantum di situ. Ya ampun, sedemikian sayangnya si dosen pada
Nina ya rupanya. Nina sampai terharu, dan sedikit sedih sebab dia tak mengambil
spesialisasi yang diajarkan oleh dosen tersebut, yang pada bidangnya merupakan
salah satu ahli terkemuka di Indonesia.
Meski nama Mamat lebih
meluas di masa kuliah, namun, sebenarnya nama tersebut sudah disandang Nina sejak
duduk di kelas satu sekolah menengah atas (SMA). Waktu baru masuk di SMA,
seorang temannya memperkenalkan Nina pada segerombolan kakak kelas laki-laki.
“Namanya Nina,” sang teman
mempekenalkan.
“Ah, cowoq koq namanya Nina.
Joni nih pasti namanya,” kata seorang
kakak kelas yang sampai sekarang sosoknya masih diingat Nina.
Untuk beberapa bulan,
sebagian dari kakak kelas di kelas tiga memanggil Nina sebagai Joni. Salah satu
kakak kelas kemudian mengajaknya
bergabung di pramuka sebagai kegiatan di luar sekolah. Lokasi Jakarta Selatan.
Pramuka tingkatan Nina seJakarta Selatan ini lalu pergi berkemah di Jawa
Tengah. Perjalanan dari Jakarta dilaksanakan dengan kereta api. Sang kakak
kelas lalu memperkenalkan Nina ke anggota pramuka lainnya.
“Kenalin, namanya Joni,”
begitu si kakak kelas tiap kali perkenalan di lakukan.
Sebagian menjawab keheranan
karena yang diperkenalkan ceweq sementara namanya cowoq. Sebagian lagi tertawa.
Tapi, ada satu yang reaksinya berbeda sama sekali.
“Joni? Itu kan nama orang
kota. Anak kampung gini Mamat lah
namanya,” kata seseorang tersebut yang sayangnya Nina tak ingat lagi siapa.
Di acara berkemah yang
memakan waktu beberapa hari itu, resmilah nama Nina berubah menjadi Mamat di
lingkungan pramuka Jakarta Selatan ada masa itu. Dikatakan resmi adalah karena
semua memanggilnya secara demikian. Dijamin hampir seluruhnya tak tahu bahwa nama
sebenanrnya adalah Nina. Ditengarai, sebagian mungkin berpikir bahwa nama
sebenar si Mamat itu adalah Joni, nama panggilan di sekolah.
Di sekolah, Nina ikut
kegiatan pecinta alam. Lalu pada suatu hari, di tempat bekumpulnya pecinta alam
Jakarta, rupanya hadir seorang anak perempuan yang juga anggauta pramuka
Jakarta Selatan. Nina tak ingat lagi siapa anak ini, tapi, yang pasti karena
dia semua orang di tempat itu kemudian memanggilnya Mamat. Beberapa gelintir teman
membawa nama tersebut ke sekolah, tapi, anehnya, nama tersebut tak menjadi
populer di sana. Ketika panggilan Joni memunah, nama populer Nina
di masa SMA adalah ‘Nina Boy’.
Tibalah masa kuliah. Pada
masa itu, di kampus ada masa perkenalan di mana para mahasiswa baru diisengi
begitulah. Semua harus memakai karton berukuran besar bertuliskan nama dan
jurusannya. Di antara para mahasiswa senior, ada beberapa yang juga merupakan
aktifis pecinta alam Jakarta. Sudah tahukan maksudnya? Gara-gara beberapa
gelintir inilah Nina di kampus dipanggil sebagai Mamat.
Kadang, teman di kampus
menyangka bahwa nama Mamat adalah kependekan dari nama aslinya Nina. Salah satu
yang kusebut sebagai tante Red, pada suatu masa tertentu, memanggil Nina sebagai Matilda. Sebab, dikiranya itu adalah
nama Nina yang sebenarnya. Tante Red rupanya juga berteman dengan kakaknya Nina. Satu
hari, kakaknya Nina datang ke rumah tante
Red—jaman kuliah dulu. Tanteku yang satu ini memberitahu ibunya bahwa yang tadi
datang itu adalah kakaknya si Matilda. Reaksi sang ibu?
“Tunggu dulu, ada sesuatu
yang salah di sini!”
Menurut beliau, tak mungkin
seseorang yang bernama Matilda mempunyai kakak yang bernama bagaikan tokoh
reformis Turki. Tante Red lalu mencari tahu, dan menemukan kenyatan bahwa Mamat
itu sesungguhnya bukan panggilan sayang dari Matilda. Dan, bahwa nama Mamat bukanlah nama Nina yang sebenarnya.
Cerita ini baru didengar Nina beberapa puluh tahun kemudian. Ketika tante Red bertemu serta kembali bergaul dengan Nina.
Cerita ini baru didengar Nina beberapa puluh tahun kemudian. Ketika tante Red bertemu serta kembali bergaul dengan Nina.
Di masa sekarang, masih ada sih yang memanggil Nina sebagai Mamat. Biasanya
mereka yang sudah puluhan tahun nggak
saling berjumpa. Tapi, ada juga yang
dengan mantap memanggilnya Ahmad. Rada mirip dengan tante Red nih, menyangka bahwa Mamat itu
kependekan dari Ahmad. =^-^=