Wednesday, February 3, 2021

 Empon-empon – Sudah Enak, Sehat Pula…

*****

“Makanan enak pasti nggak sehat!” kata keponakan saya dulu. Eh…, jangan salah! Siapa bilang yang enak-enak itu pasti tak sehat?

*****


“Pak Tolani, minta serehnya yaaa…,” saya berseru


“Ambil aja. Eh, nggak usah pakai pisau, bu! Kan tinggal ditarik saja,” jawab Pak Tolani yang tengah bekerja di bawah tenda plastik darurat di tanah kosong itu.

“Ah, baik pak”.

Padahal, saya sudah tahu bahwa mencabut sereh cukup ditarik saja batangnya—atau apalah itu nama batang tubuhnya. Tapi, saya punya sedikit trauma. Saat kecil, ketika mencabut sereh tangan saya malah tersayat oleh bilah daun sereh. Duh, rasa perihnya yang nggak enak sampai sekarang masih tersimpan baik di memori dalam kepala.

Sereh yang baru saya cabut itu, hendak saya pakai sebagai campuran minum teh. Kelar mencabut sereh yang alhamdulilah tanpa tangan perlu terluka, saya mengambil waktu untuk berpikir sejenak. Berpikir tentang hal yang sepele saja sebenarnya. Yah, gitu deh, kadang saya suka mikir yang nggak perlu-perlu. Tapi, karena bikin hati senang, ya nggak apa-apalah…

Pemikiran tak guna kali ini adalah, apakah si sereh nanti cukup digeprek, ataukah akan saya iris-iris. Hehe, masalah selera saja sih… Kalau diiris rasa serehnya bakal lebih nonjok aja. Bisa pula dua kali diseduh.

Untuk teh-nya, sudah pasti teh hitam donk, bukan teh hijau. Berdasarkan rasa, dan selera juga tentunya, teh hitam lebih cocok untuk diminum bersama batang sereh—daunnya biasanya saya buang. Kalau untuk teh hijau, nah, buat saya campuran yang cocok adalah daun mint.

Sereh yang tadi saya cabut, rumpunnya tumbuh di tanah kosong di seberang agak serong ke kanan dari rumah saya. Ditanam oleh Pak Tolani atas ijin pemilik tanah. Selain sereh, Pak Tolani juga menanam beberapa jenis tanaman berguna lainnya. Semisal, kumis kucing, lidah buaya, sejenis rimpang yang saya lupa namanya, dan beberapa jenis tanaman lainnya. Singkong adalah yang paling banyak, Ada pisang juga.

Juga ada di situ adalah dua pokok pohon kelor. Pokok-pokok kelor ini cukup besar diameternya. Melihat itu, saya menduga pasti tadinya mereka pohon-pohon yang tinggi besar. Lalu, ditebang sampai hanya menyisakan tinggi sekitar dua meter. Kenapa ditebang? Karena, kabarnya ada kekhawatiran rubuh. Katanya juga, guna menghindari pohon­-pohon itu menjadi hunian dari yang gaib-gaib. Tapi kan sayang ya pohon besar ditebang…

Ah, siapalah saya ini kalau hendak protes soal penebangan pohon-pohon yang bukan milik saya itu. Memang, daerah rumah saya pada musim-musim penghujan anginnya cenderung kencang. Masih bagus disisakan cukup tinggi pokok-pokok pohon kelor itu. Mereka pun berkeras menolak mati, dedaunannya selalu tumbuh banyak.

Saya sering merambah di tanah kosong itu. Termasuk memetik daun singkong dan daun kelor. Kalau beruntung, akan mememukan pohon pepaya terselip di antara berbagai tumbuhan di situ. Daun mudanya bisa saya petik juga. Belum saja ketemu kembang pepaya, sayangnya.

Di sebelah belakang tanah kosong itu, kalau dilihat dari rumah saya, ada tanah kosong lagi. Perbatasan keduanya ditandai oleh jejeran pokok-pokok tanaman pepaya Jepang alias pepaya sakura. Saya tak paham kenapa nama tanaman ini dikaikan dengan nama Jepang dan sakura. Disebut sebagai pepaya adalah karena bentuk daunnya mirip dengan daun pepaya. Hanya saja lebih kecil dalam ukuran.

Buahnya? Jauh dari bentuk buah pepaya. Saya sendiri belum pernah melihatnya secara nyata. Hanya pernah melihat fotonya. Kecil-kecil  berwarna hijau, lonjong atas ke bawah. Kalau bunga-bunganya sering saya lihat, kecil putih menggerumbul. Bentuknya seperti bunga kemuning, tapi tak beraroma sama sekali. Daun pepaya Jepang bisa dimakan juga. Jadi, so pasti saya sering memetiknya pula.

Tepat dibalik jejeran pepaya Jepang ada tumbuh pohon melinjo. Saya sempat melihatnya sebagai pohon yang gagah menjulang tinggi. Penuh dengan buahnya yang berwarna kuning dan merah, yang entah kenapa tak pernah saya lihat dipanen orang. Mungin, karena ia tumbuh terlalu tinggi.

Kini, pokok kayu pohon melinjo hanya tinggal sekitar setengah meter saja tingginya dari permukaan tanah. Alasan penebangannya sama dengan alasan penebangan pohon-pohon kelor. Sungguh sayang, tapi sebenarnya menguntungkan saya. Sama seperti si kelor, pokok melinjo tak menyerah meski ditebang. Ia selalu melahirkan daun-daun yang, ya betul sekali, selalu bisa saya rambah juga untuk masuk dapur.

Ketika saya bercerita tentang tanah kosong itu, ada teman yang berjanji akan mengirimkan tanaman-tanaman gedi, kemangi, dan mint. Agar bisa ditanam di situ. Wuih, senangnya! Namun, harus sabar. Karena, teman saya baru mulai membudidayakan lagi tiga jenis tanaman berdaun itu.

Oh, buat yang tak tahu, gedi itu adalah sayuran dengan rasa khas yang dahsyat. Bentuk tumbuhan dan daunnya mirip dengan pepaya Jepang. Yang tak tahu akan berpikir mereka adalah tanaman yang sama. Saya sendiri masih belum bisa membedakan antara keduanya.

Daun gedi selalu dimasukan orang ke dalam masakan bubur tinotu’an. Bubur ini adalah bubur yang dikenal juga dengan sebutan bubur Manado. Saya duga, direbus atau dikukus saja harusnya juga bisa. Pasti sedap!!! Apalagi dimakan dengan daun kemangi.

Saya juga sangat menantikan tanaman mint. Tumbuhan seperti semak dengan daun yang kira-kira berukuran sekitar uang logam seratus rupiah ini, sedap diminum bersama teh hijau. Tak ada yang menjual daun mint di daerah rumah saya yang rada-rada dusun ini.

Kalau mau, saya harus khusus pergi ke supermarket besar di sebuah mal baru. Jaraknya sih hanya sedikit lebih dari satu kilometer dari rumah. Tapi, di masa pandemi begini, saya memilih tak mengunjungi tempat ramai macam mal.

Ketiadaan daun mint bukan soal besar juga sih. Apabila saya ingin menikmati teh dengan rasa lebih dari sekedar rasa daun teh, ada banyak pilihan sesungguhnya. Di rumah selalu ada jeruk nipis dan lemon. Daun jeruk juga tersedia—tinggal petik di tetangga sebelah sono. Mau pandan juga tinggal metik di sebelah sini. Rimpang-rimpangan sebangsa jahe juga selalu tersedia di rumah. Tinggal pilih. Tinggal comot.

Demikian pula dengan kayu manis dan cengkeh, selalu siap untuk ditambahkan ke teh.Dua macam rempah ini juga enak untuk dicampur dengan seduhan tatalan batang secang. Sedap lho diminumnya! Seru menyesapnya sambil menikmati keindahan warnanya yang merah berani.

Pun juga asyik adalah, menyesap sambil memanjakan mata dengan birunya teh telang. Ini adalah teh yang tanpa daun teh. Hanya kembang telang biru belaka yang diseduh. Kembang itu tak tumbuh di seputaran rumah saya. Saya biasa memetiknya di salah satu jalur jalan kaki saya.

Lima puluh kembang telang sekali petik—ya, sambil memetik saya menghitungnya. Dengan pertimbangan lima kembang untuk sekali seduh, maka saya bisa menyeduh sepuluh kali. Sebelum kemudian kembali memanen kembang ini di pagar luar rumah orang di situ hehe…

Seduhan bunga telang juga bisa dicampur dengan berbagai rempah. Perasan atau potongan jeruk nipis atau lemon, daun jeruk purut, daun pandan, cengkeh, jahe, kayu manis; hanyalah sebagain dari padanya. Saya sendiri hanya pernah menambahkan irisan daun jeruk purut, atau perasan lemon.

Dengan lemon biasanya bila iseng hendak melihat larutan biru si teh telang perlahan berubah menjadi jambon cantik. Selebihnya, murni sajalah. Karena, bahan-bahan tambahan itu akan menelikung rasa asli teh telang yang sudah enak.

Kalau saya baca-baca di artikel-artikel yang bersumber di internet, banyak sekali kebaikan dari teh telang ini. Tapi, saya baru tahu dari pemaparan dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes, Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional, Kemenkes RI; di webinar Vaksin Saja Tidak Cukup, 28 Januari 2021; bahwa kembang telang menyimpan manfaat yang sangat luar biasa.

Dijelaskan bahwa telang dapat memperbaiki fungsi otak. Kita terbiasa berupaya untuk memperbaiki fungsi berbagai organ tubuh kita, lanjut ibu dr. Wiendra. Baik itu yang di luar misalnya kulit, maupun yang di dalam; jantung, ginjal, hati, dan lainnya. Tapi, kita seringkali lupa merawat organ yang bernama otak. Padahal, otak adalah organ yang merupakan pusat syaraf seluruh tubuh kita.

Senangnya! Tak hanya karena jadi tambah tahu soal kebaikan si teh telang itu, tapi juga karena dari paparan dr. Wiendra, saya mengetahui bahwa ternyata berbagai rempah kesukaan saya itu mempunyai sangat banyak manfaat.

Sejak awal mewabahnya pandemi yang di Indonesia terhitung sejak awal Maret 2020, kita selalu mendengar berbagai suruhan, saran, nasihat, dan sejenisnya; yang harus kita panuti untuk tetap sehat dan tak terpapar covid-19.

Ada yang namanya kewajiban prokes 3M—sekarang jadi 5M. Lalu, ada yang menganjurkan berjemur di bawah matahai pagi—yang jamnya tergantung mahzab masing-masing. Ada pula yang mengingatkan pentingnya olahraga. Dan, banyak juga yang menyarankan untuk sering mengasup empon-emponan.

“Aduh, apalagi sih itu empon-emponan?” bisik saya pada Kamoy si kucing—di rumah nggak ada lagi yang bisa diajak curhat sih selain Kamoy.

Berjalannya waktu, kata yang saya tak tahu apa maknanya itu, makin sering saja saya dengar disebut orang. Termasuk sebagai jawaban dari salam sehat yang saya utarakan.

“Sehat terus ya, mbak/mas/pak/bu”.

“Sehat donk, saya kan rajin mengasup empon-empon”.

“Eh, apa sih empon-empon itu?” tanya saya bigung.

“Hmmm…, ya gitu deh, yang suka dibuat jamu-jamuan”. Yang jawab sepertinya sama juga bingungnya.

Lah!? Lalu nulisnya bagaimana? Pon pon? Ponpon? Pon-pon? Mpon-pon? Mpon-mpon? Empon-empon?  Hanya senyum yang menjawab pertanyaan saya ini.

Sambil menyesap teh yang serai-nya tadi saya panen, saya mencari tentang hal itu di tempat yang dikenal paling tahu di internet—iya, si mbah nganu.  Saya coba cari dengan memakai semua kata kunci di atas. Hasil pencariannya seru-seru kalau tak mau dibilang membingunkan. Ketemu video lagu seorang penyanyi Jepang. Ada lagi merek biskuit yang juga dari Jepang. Lainnya, produk entah apa yang konon untuk melembutkan rambut. Aaah…

Tapi, akhirnya tokh ketemu juga sejumlah artikel tentang si empon-empon ini.

 “Merupakan tanaman seperti kunyit, temulawak, jahe, cabe puyang, dan rempah-rempah lainnya,” demikian deskripsinya.

Nah, apa sajakah yang termasuk dalam frasa ‘rempah-rempah lainnya’ itu? Lalu, bahasa manakah empon-empon itu? Saya perkirakan bahasa Jawa.

Dari cari-mencari itu, saya menemukan bahwa tulisan dalam bahasa Indonesia-nya adalah, empon-empon. Definisinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring merupakan sebuah kata benda dengan deskripsi sebagai berikut.

“Rimpang (jahe, kunyit, temulawak, dan sebagainya) yang digunakan sebagai ramuan tradisional.’

Hmmm…, ketemu lagi dengan frasa yang maknanya bisa luas. Tadi ada ‘rempah-rempah lainnya’, kali ini ‘dan sebagainya’.

Sebuah artikel di Kompas.com menyebutkan bahwa empon-empon adalah, sederhananya, ”bagian tanaman yang kaya akan senyawa yang dikandungnya”, atau “kelompok tanaman yang bisa membentuk simpanan senyawa”. Definisi ini dikutip dari seorang Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. Ir. Murdijati.

Disebutkan pula dalam artikel itu, bahwa nama [sic!] dasar empon-empon adalah empu. Dikatakan, bahwa dalam bahasa Indonesia arti lain dari kata empu adalah rimpang atau rizoma. Sayangnya, saya tak menemukan di KBBI daring makna kata ‘empu’ yang berarti rimpang.

Menarik ini! Jadi makin penasaran. Semoga, dengan tetap disiplin stay at home sehingga banyak waktu di rumah, saya bakal sempat mengutik internet untuk mencari tahu informasi tentang empon-empon ini secara lebih jauh lagi.

Untuk sementara, saya simpulkan bahwa empon-empon adalah bahan-bahan untuk membuat jamu-jamuan. Jamu, seperti yang ditegaskan oleh dr. Wiendra di webinar, adalah salah ramuan tradisional yang baik dikonsumsi untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Jenisnya sangat kaya dan beragam. Mengolahnya bisa dengan berbagai cara.

Jamu tidak enak? Ini kata dr. Wiendra, "telan sajalah demi sehat".

Namun, menurut saya, banyak jamu atau minuman tradisional dan rempah yang enak dalam rasa. Tanpa perlu diberi pemanis, misalnya, sudah luar biasa rasanya. Lihat saja teh telang atau secang. Rasanya sedap lho! Sudah enak, sehat pula…

Di masa pandemik di mana kita bagai jatuh di terowongan gelap yang tak jelas di mana ujungnya, saya merasa bahwa saya harus benar-benar bisa menjaga kualitas hidup saya. Parno saja tidak cukup. Saya harus terus dapat menjaga daya tahan tubuh saya dengan pola hidup sehat. Sambil menguatkan fisik dengan ramuan tradisional. 

Sambil berharap bahwa vaksin akan segera hadir. Maka, gembira sangat rasa hati ketika datang kabar bahwa vaksin sudah ada

“Ah, akhirnya kita akan segera bisa hidup bebas berkat vaksin,” demikian saya berpikir.

Tapi, ternyata vaksin bukanlah segala-galanya. Dengan divaksin, imunitas dalam tubuh saya memang akan meningkat. Tapi, rupanya bukan berarti bahwa tubuh saya akan sama sekali kebal dari sentuhan virus covid-19. Untuk tak terpapar virus mematikan itu, prokes yang tak bosan-bosannya didengungkan itu, harus tetap saya lakukan dengan tak bosan-bosannya juga. Berolahraga yang cukup juga perlu. Tubuh ini jangan hanya disuruh working, tapi juga harus ada working out.

Hanya mengkonsumsi jamu-jamuan saja pun tentu juga tak cukup. Saya juga harus bisa memperhitungkan gizi dari makanan yang saya asup. Dr. Weindra juga mengingatkan tentang frasa yang jaman sekolah dasar dulu selalu terdengar dan kini saya lupakan: 4 sehat, 5 sempurna. Frasa itu masih tetap harus dilakoni. Ia bukan sekedar kata-kata kosong tanpa makna.

Jadi, yuk yuk, saya mengajak Anda semua untuk sama-sama menerapkan 4 sehat 5 sempurna sebagai gaya hidup. Mari sehat bersama! Siapa tahu kita segera bisa melihat cahaya di ujung terowongan yang sangat gelap ini. Yuk!   =^.^=
#VaksinSajaTidakCukup

No comments:

Post a Comment