Monday, April 28, 2014

10 Film Dokumenter Chop Shots 2014 yang Ditonton oleh Peliharaanku



Melanjut dari ceritaku di sini, inilah judul-judul flm dokumenter dalam festival Chop Shots 2014 yang ditonton Nina (disusun berdasarkan abjad)


1.
Cat that Lived a Million Times, The
(100 Mankai Ikita Neko)
Directed by Tadasuke Kotani
Japan // 2012 // 91 min

2.
Die Before Blossom
(Layu Sebelum Berkembang)
Directed by Ariani Djalal
Indonesia // 2014 // 90 min

3.
Imposter, The
Directed by Bart Layton
UK, USA // 2012 // 99 min

4.
Jalanan
Directed by Daniel Ziv
Indonesia // 2013 // 107 min

5.
Madam Phung's Last Journey
(Doan Hoi Cho Cua Chi Phung)
Directed by Nguyen Thi Tham
Vietnam // 2014 // 87 min

6.
Masked Monkey – The Evolution of Darwin's Theory
Directed by Ismail Fahmi Lubish
Indonesia // 2013 // 110 min

7.
Missing Picture, The
(L'image Manquante)
Directed by Rithy Panh
Cambodia, France // 2013 // 92 min

8.
Mothers
(Ma Ma de Cun Zhuang)
Directed by Huijing Xu
China // 2013 // 70 min

9.
Where I Go
Directed by Neang Kavich
Cambodia // 2013 // 56 min

10.
World Not Ours, A
Directed by Mahdi Fleifel
Lebanon, UK, Denmark // 2012 // 93 min



Tante Lulu dan om Etek pada Q&A sehabis pemutaran
Masked Monkey – The Evolution of Darwin's Theory

Catatan dari Chop Shots Documentary Film Festival 2014



Biasanya, kalau ada festival film, dapat dipastikan bahwa Nina tidak akan datang untuk menonton. Teman-teman Nina yang berkecimpung di dunia itu tahu betul tentang hal tersebut. Jadi, mereka tak pernah mengharapkan kemunculan Nina di lokasi-lokasi pemutaran film pada festival-festival yang bersangkutan. Kadang sih Nina diundang juga untuk menghadiri upacara pembukaan dan/atau penutupannya. Undangan yang biasanya disampaikan dengan embel-embel, "Kalau kamu mau datang". Atau, kalau tempatmya terbatas, si teman akan memastikan terlebih dulu apakah si Nina benar-benar berniat untuk datang. Kalau tidak, tidak jadi diundang deh.

Menanggapi undangan demikian,asalkan tak harus berpakaian resmi dan formal, biasanya sih Nina tak berkeberatan untuk datang. Seperti waktu acara pembukaan Chop Shots Documentary Film Festival 2014 di pusat kebudayaan Jerman GoetheHaus Jakarta, pada Selasa, 22 April lalu. Acara dimulai jam tujuh malam, tapi dari sore Nina sudah berkeliaran di lokasi acara. Supaya bisa makan sore dengan nasi merah di kantin di sana, dan rencananya mau sedikit membantu untuk membuatkan kotak kertas origami yang diperlukan oleh panitia festival. Kelihatannya bersemangat sekali ya datang secepat itu, padahal sih sebenarnya karena ada waktu buat dibuang saja. Daripada pulang dulu atau mampir entah ke mana, begitu, lebih baik ya langsung saja nemplok di lokasi. Jam-jam bebas kantor kan merupakan jam-jam neraka di jalanan.

Pada pembukaan tersebut, diputarlah dokumenter Jalanan. Otomatis Nina menonton karena tokh sudah berada di dalam ruangan teater, tempat di mana acara pembukaan berlangsung. Lagi pula, dokumener Jalanan merupakan hot item di Jakarta. Patut ditonton.

Satu-satunya film dokumenter yang sudah diniatkan untuk ditonton oleh Nina sejak sebelum pembukaan adalah sebuah dokumenter dari Jepang, The Cat that Lives a Million Time. Secara keseluruhan, ada beberapa lokasi tempat pemutaran film-film dokumenter selama festival ini berlangsung. Satu film dapat diputar di lebih dari satu lokasi. Demikian pula dengan dokumenter kucing tersebut yang juga akan diputar di GoetheHaus, lokasi yang menurut Nina praktis untuk didatangi. Jadwal tayangnya, menurut ingatan Nina, adalah sehari setelah pembukaan, Rabu, 23 April 2014.

Pada tanggal tersebut, seperti pada hari pembukaan, sudah dari sore Nina bertandang di GoetheHaus. Makan nasi merah lagi, dan numpang menyelesaikan pekerjaan. Ketika kantuk menyerang, Nina tidur-tidur kucing di sofa di foyer, ruangan di depan pintu masuk teater. Jadwal pemutaran dokumenternya adalah pada pk. 19.00. Kurang dari setengah jam sebelum waktu tayang, masih setengah mengantuk, Nina iseng mengintip buku katalog. Lha! Koq ternyata salah hari! Jadwalnya si film kucing ternyata baru pada Jumat mendatang. Masih dua hari lagi. Dasar pikun...

Gong dipukul orang satu kali, tanda film akan diputar sepuluh menit lagi. Nina beranjak dari tempatnya semula duduk dan berjalan menuju pintu keluar. Berniat pulang. Di dekat pintu keluar ada meja registrasi tempat orang mengambil tiket masuk. Alih-alih menggapai pegangan pintu, Nina meraih pena di meja registasi dan mendaftarkan diri untuk menonton. Setelah gong dipukul dua kali, tanda lima menit sebelum jam tayang, Nina sudah duduk ajeg di ruang teater. Pada posisi yang kemudian menjadi posisi favorit Nina apabila menonton di situ selama berlangsungnya Chop Shots festival.

Judul dokumenternya adalah The Missing Pictures. Nina sangat terkesan dengan film tersebut, dan bersyukur bahwa pada akhirnya ia memutuskan untuk menonton dan bukannya langsung pulang. Dan, sesungguhnya, kepuasan batin dari menonton film tersebut sukses membangkitkan semangat Nina untuk menonton lagi. Dan lagi. Hei, sekelompok orang sudah bekerja keras untuk membuat festival ini ada. Hal yang perlu Nina lakukan hanyalah datang dan menontonnnya. Tidak pula perlu membayar alias gratis. Apa susahnya, coba!? Karena itu, timbul niat untuk datang lagi pada keesokan harinya, yaitu hari Kamis. Nonton yang jam tujuh malam, demikian rencananya, terserah apa pun film-nya. Lalu bisa pulang sekitar jam sembilan malam. Kereta commuter line pada jam-jam sekian biasanya sudah tidak terlalu penuh. Jadi asyik kan.

Namun, Kamis, 24 April 2014, Nina ada keperluan lain. Maka itu dia tidak datang menyambangi lokasi festival sama sekali. Baru pada keesokan harinya lagi, Jumat 25 April 2014, Nina mengada lagi di sana. Niatnya nonton The Cat that Lives a Million Times yang sudah sangat diidamkannya. Waktunya pada pk. 19.00. Ketika Nina tiba di GoetherHaus masih ada waktu sekitar tiga jam lagi sebelum saatnya. Maka, Nina mengeluarkan pekerjaannya. Bahkan kemudian netbook-nya. Baru saja kabel netbook rapih terpasang, terdengar suara gong satu kali. Film yang tayang pk. 17.00 akan segera dimulai. Secepat kepala Nina memutuskan untuk menonton, secepat itu pula geraknya membereskan netbook dan tetek-bengek lain. Sebelum gong berbunyi tiga kali, Nina sudah rapih duduk di ruang teater. Di posisi seperti sebelumnya.

A World Not Ours judulnya. Film ini lagi-lagi meninggalkan kesan dalam hati Nina. Meskipun sebenarnya Nina merasa terganggu saat menonton karena penonton lain di sekelilingnya asik mengobrol sendiri. Padahal, mengobrol selama film berlangsung adalah terlarang. Kali itu turut menonton sejumlah anak-anak muda dari beberapa perguruan tinggi dan sekolah menengah tingkat atas. Ya mungkin sih karena mereka tidak mengerti baik dengan bahasa yang dipakai dalam film, Arab Palestina, maupun dengan bahasa Inggris pada sub-title-nya. Jadinya, menunggu waktu bubar dipakai buat mengobrol. Aduh...

Selepas nonton A World Not Ours, adalah waktunya Nina menyaksikan dokumenter yang tentang kucing itu. Akhirya hahaha... Puas. Kelar nonton, begitu keluar dari ruang teater, di foyer Nina berjumpa dengan satu kawan lama, om Etek. Maksud hati hendak langsung pulang, apa daya Nina langsung ditodong untuk nonton film berikut oleh si om kawan lamanya itu. Sebab, film dengan judul Masked Monkey – The Evolution of Darwin's Theory itu adalah karyanya om Etek.

Walhasil, hari Jumat itu Nina nonton tiga film berturut-turut. Tante Lulu temannya Nina yang mengorganisir festival ini sampai terkagum-kagum...

Sabtu, 26 April 2014. Jam tujuh malam adalah jadwalnya film karya satu temen Nina lagi, tante Ari. Judulnya Die before Blossom dan sudah kudunya ditonton. Merasa asyik menonton tiga film berturut-turut kemarin, rasanya Nina ingin mengulang keasyikan itu. Asalkan semua di GoetheHaus ya, tak mau ia wira-wiri ke tempat-tempat yang berbeda-beda. Pada Sabtu itu, selesai berurusan di daerah Kemang, Nina pun lalu melesat ke Goethe. Mengejar film The Imposter yang dijadwal pada pk. 17.00. Melesatnya dengan kopaja langsam sih, yang jalannya pelan dan kerap ngetem. Hampir Nina terlambat, dan ia masuk ke ruang teater dengan ngos-ngosan.

Untuk yang jam sembilan malam, Nina sempat membaca sinopsis filmya dan merasa tertarik. Madam Phung's Last Journey, judulnya, menjadi film ketiga untuk hari Sabtu-nya Nina.

Tibalah hari Minggu, 27 April 2014. Semula Nina hendak bersantai saja di rumah sebelum malamnya datang ke upacara penutupan festival. Iseng dibuka-bukanya katalog dan melihat bahwa yernyata ada satu film dokumenter yang tampaknya menarik untuk ditonton. Tempatnya bukan di GoetheHouse tapi di TIM XXI. Selesainya penayangan bakal agak mepet dengan jam dimulainya upacara penutupan di GoetheHaus, tapi tak soal tokh dua lokasi tersebut tidak terlalu jauh. Ditempuh dengan jalan kaki juga tak akan memakan waktu lama. Berangkatlah Nina ke TIM untuk menonton dokumenter Mothers.

Dianggap Nina bahwa Mothers akan menjadi dokumenter terakhir yang ditontonnya. Tapi ternyata, tidak demikian. Pada upacara penutupan juga ada pemutaran satu dokumenter yang meraih penghargaan Chop Shots 2014. Kebetulan—dan disyukuri oleh Nina karena jadinya tidak harus menonton satu film dua kali—adalah dokumenter yang belum ditontonnya, Where I Go. Entah kenapa, banyak orang memfavoritkan film ini. Membuat Nina menjadi agak penasaran, tapi tidak ada kesempatan untuk menontonnya sesuai jadwal.

Total sepuluh dokumenter di festival film dokumenter Chop Shots 2014 yang ditonton Nina. Uncle David, fotografer dari Malaysia yang diperkenalkan kepada Nina oleh tante Lulu, mengganggap Nina beruntung sebab bisa menonton segitu banyaknya film. Tante Lulu tertawa-tawa, mengingat Nina yang pada minggu berlangsungnya festival beredar begitu seringnya di GoetheHaus padahal biasanya mana tertarik. Kalau tante Leli, temennya Nina yang lain yang juga kerja di GoetheHaus, ternyata hafal posisi di mana Nina selalu duduk setiap kali menonton. Mungkin Nina seharusnya dapat penghargaan sebagai “penonton yang berhasil menonton sepuluh film padahal biasanya nggak mau nonton film-fim festival”. Hehe...

(Judul-judul film apa saja yang ditonton Nina dapat dilihat di sini)


Pembukaan  Chop Shots Documentary Film Festival 2014 di GoetheHaus, Jakarta
Selasa, 22 April 2014

Monday, April 21, 2014

Bando-bando Cantik Ibu Jeminem



Suatu hari Minggu, bermaksud makan siang di Kalcit, Nina turun di stasiun Duren Kalibata. Namanya lapar, ngebut saja dia melangkah. Kalcit kan nggak dekat-dekat amat jaraknya dari stasiun, demikian menurut Nina, maka harus ngebut. Cepat! Cepat! Cepat!

Saat melintasi jalur keluar stasiun, sudut mata Nina menangkap sesosok mungil berbalut kaus jambon di sisi kanan. Langkah Nina tak segera terhenti, sebab lapar begitu mencengkeram. Sekilas tadi Nina juga lihat bahwa di dekat sosok mungil itu ada bando-bando cantik yang tersangkut di sebentuk boks plastik. Kakak Bycan cucunya Nina kan suka dengan bando. Tapi, nanti saja deh, “sehabis makan”, begitu pikir Nina. Lapar, nih! Tapi, belum tentu kan sosok tersebut masih ada nantinya, bisik hati Nina yang sebelah sana. Lagi pula, Nina sedang kehabisan persediaan bando untuk kakak Bycan. Maka, Nina pun memutar langkah dan kembali ke jalur keluar tadi. Mendekati sosok mungil yang adalah seorang ibu paruh baya.

Ibu itu tersenyum menyambut Nina yang balas tersenyum. Boks plastik tempat bando-bando cantik tersangkutkan berisi sejumlah benang wol imitasi dan berbagai mote. Variasi warna-warninya meriah dan cerah. Ada juga beberapa bunga rajutan dan perangkat lainnya. Sebagai pelaku kriya, Nina senang melihat itu semua. Tambah semangat hatinya untuk membeli.

“Waduh, bandonya cantik-cantk semua!” jerit Nina dalam hati.

Nina akhirnya memilih dua buah bando. Ah, bukan memilih sebenanrya. Karena bingung, Nina hanya meraih dua bando itu secara acak belaka. Rasanya ingin membeli lebih, tapi hari ini ada urusan sehingga baru malam bisa pulang. Takut bunga-bunga rajut nan cantik itu pada penyet bila terlalu lama tersimpan dalam ranselnya yang sesak. Mungkin lain kali ya, pikir Nina, karena itu, ia merasa perlu untuk bertanya sesuatu dan lain hal pada si ibu mungil itu.

“Ibu setiap hari ada di sini?” tanya Nina.

“Iya, biasanya kalau hari kerja jam empat sore saya ke sini, “ jawabnya.

Dia berkata bahwa tak jauh dari stasiun terdapat sebuah sekolah tinggi entah bidang ekonomi atau apa, yang tampaknya menjadi harapan dn ssarannya dalam memperoleh calon pembeli pekerjaan tangannya.

“Nama ibu siapa?” lanjut Nina bertanya.

“Jeminem”

“Juminem, ya,” Nina mengulang seraya mencoba untuk menanamkan dalam ingatannya.

“Jeminem. Dengan ‘Je’, bukan ‘Ju’. Jeminem,” si ibu sabar menjelaskan.

Aduh, salah! “Oh!” sahut Nina rada malu-malu.

Ibu Jeminem lalu menjelaskan bahwa dia tinggal di kompleks Polri Pangadegan yang tak terlalu jauh jaraknya dari stasiun KRL Duren Kalibata.

"Tanya aja Ibu Jeminem bando, orang tahu semua," katanya.

Nina mencatat keterangan-keterangan Ibu Jeminem dalam hatinya dengan hati-hati.

"Ini bando antipatah. Bisa dicuci," jelasnya lagi sambil mengemas bando-bando tersebut ke dalam kantong plastik hitam kecil—sebenarnya Nina ingin menolak kantong plastik itu, tapi apa boleh buat sebab buat perlu juga untuk melindungi bando-bando belian agar tak kotor atau rusak.

Nina lalu membayar belanjaannya, sambil mengucakan terima kasih.

“Sampai ketemu lagi, Bu. Semoga dagangannya banyak laku...,” salam Nina sebelum berlalu.

Nina benar-benar berharap bisa bertemu lagi. Selalu perlu ada persediaan bando sih...

Tak terlalu lama kemudian, saat makan, Nina mulai menyesal kenapa hanya membeli dua buah bando. Sebab, entah kapan lagi ia bisa mampir ke situ pada saat yang sama dengan hadirnya Ibu Jeminem di tempat itu. Yah, menyesal belakangan itu tidak ada gunanya, Nina...







Bagaikan Nafas Kedua


(Tulisan ini diterbitkan secara terbatas dengan sedikit editing pada 19 Maret 2014, untuk melengkapi acara proses pemasangan rangkaian bangau origami karya si Nina di Tarumanegara Knowledge Centre, Universitas Tarumanegara, Jakarta. Karya yang berjudul Nafas Kedua ini merupakan bagian dari sebuah proyek seru Grogol 11440)




Nina itu suka banget sama segala yang berbau jepang-jepangan (Nina: “Sebutannya, suka akan unsur-unsur budaya Jepang, Moy!” Bodo...). Ada banyak hal yang dia sukai sebenarnya, salah satunya adalah origami. Yaitu, seni melipat kertasnya Jepang. Favoritnya adalah yang berbentuk bangau. Dia suka dengan bentuknya yang anggun itu. Dalam pandangan Nina, bangau adalah sang pembawa kehidupan. Berdasarkan legenda bahwa bayi datang ke dalam sebuah keluarga dibawa oleh burung bangau.

Sementara, di dalam mitologi Jepang bangau merupakan salah satu binatang suci yang dapat mencapai usia sampai seribu tahun. Berangkat dari situ, terbetik legenda yang menyebutkan apabila seseorang melipat bangau origami sejumlah seribu buah—disebut senbazuru—maka sang bangau suci akan memenuhi permohonannya. Kesuksesan dalam pekerjaan, kebahagiaan dalam perkawinan, kesehatan lahir bathin, kesembuhan dari penyakit.

Seribu bangau hasil lipatan tersebut lalu direnteng menjadi empatpuluh untai. Tiap untai terdiri dari duapuluh lima buah bangau origami. Untaian tersebut lalu disemat orang di kuil-kuil. Berwarna-warni melambai-lambai sampai hilang warnanya dibawa waktu. Indahnya...—tapi Nina hanya melihatnya di foto dari internet sebab dia beum pernah ke Jepang hehe...

Senbazuru atau seribu bangau origami menyeruak ke dunia internasional bersama kisah tragis Sadako Sasaki, seorang anak perempuan duabelas tahun asal Hirsoshima. Usianya baru dua tahun ketika sekutu menjatuhkan bom atom di kota kelahirannya. Rumahnya berjarak sekitar satu kilometer dari ground zero atau titik jatuhnya bom. Karena itu ia pun turut terpapar radiasi bom atom dan mmbuatnya terjangkit leukemia. Sebagai upaya akhir untuk mencapai kesembuhan, Sadako melipat bangau-bangau kertas. Namun, ketika baru mencapai sekitar enamratusan, ajal telah menjemputnya. Sadako Sasaki meninggal dunia pada 25 Oktober 1955.

Terkisah bahwa teman-teman sekolahnya yang merasa sedih atas kematiannya, melanjutkan kerja Sadako dalam melipat kertas menjadi bangau origami. Sampai mencapai angka seribu, sebagai penghormatan untuk teman mereka yang sudah tiada tersebut.

Versi lain dari kisah Sadako menyatakan bahwa gadis tersebut sesungguhnya berhasil melengkapi bangau origaminya sampai seribu. Namun, permohonannya tampaknya tak terpenuhi. Tapi itu tak menghentikannya untuk terus melipat bangau sampai tiba ajalnya.

Patung Sadako yang memegang bangau origami didirikan di Hiroshima Peace Memorial Museum. Menjadi tempat di mana orang menyangkutkan rentengan bangau origami pada hari raya obon untuk mengenang para leluhur. (Obon adalah hari raya ketika masyarakat Jepang memperingati leluhur mereka.)

Duh, sedih banget sih ceritanya. Dan, itu bukan sekedar dongeng lho, melainkan kejadian yang sesungguhnya. Doaku untuk kedamaian arwah Sadako Sasaki...

Di periode kehidupannya sebelum bertemu denganku—pada masa bahkan ketika aku belum lagi dilahirkan tuh—Nina adalah seorang perokok berat. Separuh hidupnya dijalaninya secara demikian, sampai di satu titik muncul keinginannya untuk berhenti. Dan, wahai!, ternyata berhasil. Itu kejadian pada 2009. Cara merokoknya Nina seperti sepur begitu, artinya tangannya nyaris tak pernah berhenti dari memegang batang-batang rokok menyala. Atau bungkusan rokok, atau korek api. Atau, uang untuk membeli rokok—semuanya berhubungan dengan rokok ya. Pendek kata, selalu saja ada kesibukan bagi jari jemari di kedua belah tangannya. Ketika merokok tak lagi menjadi kebiasaannya, jari jemari itu bagaikan kehilangan pegangan.

Di lain sisi, Nina itu pengumpul kertas-kertas tak keruan dan tak berguna yang ukurannya kecil-kecil. Macamnya bon-bon belanja, tiket-tiket masuk entah ke mana, dan flyer-flyer yang sering ditebar orang di jalan. Katanya sih, buat dipakai sebagai kertas coret-coretan atau sejenisnya. Nina selalu merasa bahwa pasti akan ada kegunaannya.Tapi, untuk sementara, ya jadi romel berantakan saja dahulu. Sampai jari-jemarinya menjadi lapar kegiatan.

Kertas-kertas mungil tersebut dipotong-potongnya ke bentuk bujur sangkar. Ukurannya beragam, tergantung dari lebarnya bon atau sejenisnya itu. Cara demikian lebih simpel daripada membuat semuanya ke dalam satu ukuran. Akan banyak bagian kertas yang terbuang jadinya. “Sayang kan, Moy,” perjelas Nina. Lalu, dilipat-lipat deh menjadi bangau origami. Ukurannya kecil-kecil saja tidak seperti umumnya bangau origami sebab materialnya pun yang bekas bon-bon itu kecil-kecil kan. Pokoknya, nggak pakai aturan lah. Santai saja dia, seada-adanya bahan. Lalu, muncul lah tantangan untuk menciptakan senbazuru. Karena senbazuru adalah sebuah permohonan, maka diada-adakannya lah permohonan itu oleh Nina, Bunyinya, agar dia tetap kukuh pada keputusannya dan sepanjang sisa umurnya tidak kembali menjadi perokok.

Hari-hari berbekal potongan kertas persegi pun dimulai. Ketika ada waktu, atau sambil menunggu waktu, Nina pun dengan mengisinya melipat kertas demi mencipta bangau. Di lakukannya di ruang tunggu dokter gigi, dalam transportasi harian macam angkot, bis trans Jakarta, kereta commuter line. Di perjalanan dinas ke luar kota baik dengan pesawat terbang atau pun dalam mobil. Di kapal laut saja yang belum. Bila orang mengisi waktu bersibuk dengan gadget, Nina dengan kertas-kertas bujursangkarnya—gadget-nya disimpan dalam ransel sebab takut kecopetan. Tiap kali seratus bangau selesai, dironcenya menjadi satu. Tahu-tahu sepuluh ronce bangau kertas sudah menggantung.

Banyak teman Nina yang terkagum-kagum dengan kegigihan (eh?) Nina itu. Tapi, sesungguhnya, yang lebih terkagum-kagum adalah Nina sendiri. Betapa tidak!? Ketika memulai ia berpikir bahwa pasti akan memakan tahunan untuk menghasilkan seribu bangau origami. Mengenal dirinya sendiri, dia tahu bahwa rasa bosan bisa kapan saja muncul. Kalau sudah begitu, segalanya pasti akan ditinggalkan jauh sebelum jumlahnya mencapai empat digit.

Lima tahun setelah kertas pertamanya, hampir tujuh ribu bangau sudah dilipat Nina. Mungkin begitu ya apabila berkriya  diperlakukan sebagai nafas kedua.