Friday, December 26, 2014

Tentang Firasat

Manusia percaya bahwa kami para binatang mempunyai firasat bila sebuah bencana alam akan terjadi. Sehingga, kami mampu menyelamatkan diri kami sebelum kejadian. Tapi, bagaimana mungkin sih para binatang bisa mempunyai firasat?

Sesungguhnya, kami tak tahu apa itu firasat. Hanya saja, hidup kami para binatang dari awalnya selalu dekat dengan alam. Karenanya, kami pun mempunyai naluri. Meskipun sebagian dari kami seperti misalnya aku terbiasa hidup dengan manusia, naluri tetap kami miliki. Kemampuan kami membaca alam dengan naluri inilah yang dianggap oleh manusia sebagai firasat.

Lalu, bagaimana dengan para manusia? Dibandingkan dengan kami para binatang, kehidupan manusia tidak terlalu dekat dengan alam. Beberapa kelompok etnis yang masih mengandalkan hidup pada alam, mungkin masih mempunyai kemampuan dalam membaca gejala alam. Antara lain, dengan mengamati tingkah laku kami para binatang. Sedangkan mereka yang sudah jauh dari alam, terutama yang hidup di kota-kota besar, jangan diharap. Meskipun ada di antaranya yang bisa membaca sesuatu yang akan terjadi yang disebut sebagai firasat. Ada yang dengan cara membaca gelagat, ada juga yang bisa mengetahui sesuatu akan terjadi karena mempunyai indera keenam.

Membaca gelagat pun tak semua manusia dapat melakukannya. Bila seorang manusia (si A) melihat keanehan-keanehan tindakan atau perkataan dari seorang manusia lain (si B), si A hanya akan berpikir betapa anehnya si B. Ketika kemudian si B mengalami musibah besar sampai meninggal dunia, si A baru akan menyimpulkan bahwa keanehan-keanehan yang diperlihatkan si B sesungguhnya adalah pertanda. Bagaikan berpamit.

Pertanda juga dapat diterima seseorang manusia tentang dirinya sendiri, tapi, kemungkinannya ia tak menyadarinya. Sampai sesuatu terjadi pada dirinya. Seperti yang pernah dialami oleh Nina sekian dekade lalu. Waktu ia masih duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Tentu saja, kesadaran bahwa apa yang dirasakannya adalah sebuah firasat atau pertanda baru disadarinya setelah musibah menghampirinya.

Waktu itu, kebiasaan Nina pada hari Minggu pagi adalah menjemput sahabatnya di sekolah minggu. Dari sana, bersama mereka jalan kaki menuju rumah sang teman. Yang notabene berada di dekat rumah Nina.


Pada satu hari Minggu tertentu, ketika sedang siap-siap untuk berangkat, ada sebuah perasaan aneh melingkup diri Nina. Bulu roma seluruh badan berdiri semua. Ada seperti rasa panas yang datang dari ulu hati dan menjalar ke seluruh tubuh. Meski heran, Nina mengabaikan kondisi aneh tersebut.


Sahabat dijemputnya, dan berdua mereka jalan kaki pulang ke rumah si sahabat. Sambil nyemil kue kepang, kue mana yang sambil jalan diamati oleh Nina dengan seksama.


"Rajin
amat ya orang yang bikin kue ini," kata Nina.

Itu hal terakhir yang diingat Nina. Selanjutnya, samar-samar, dengan mata tertutup, ia melihat bayangan kepala-kepala orang.


"Mulai sadar dia," terdengar seseorang berkata.

Tak lama, matanya terbuka. Dengan heran Nina mendapati dirinya terbaring di sebuah sofa. Sejumlah orang mengelilinginya, dan mereka adalah para orang tua tetangga. Termasuk ibu sahabatnya. Ada juga ayah dan ibunya. Sewaktu hendak bangkit, nyeri menusuk di salah satu dengkul kakinya.

Rupanya, Nina pingsan. Tetapi, apa yang sebenarnya terjadi sih?


Tadi, saat ia berkomentar tentang kue kepang, tanpa disadarinya mereka tiba di jalan besar. Untuk mencapai rumah si teman, mereka harus menyeberangi jalan tersebut. Jalan tersebut sebagai jalan di pemukiman, memang tak terlalu ramai, tapi, bukan berarti tak ada kendaraan yang lalu-lalang di jalan satu arah tersebut. Pada saat Nina menyeberang dengan mata terpaku pada kue kepang tersebut, sebuah vespa melintas di jalanan.


Jger! Nina pun semaput. Sang sahabt menangis sambil menjerit memanggil ibunya. Ibunya keluar. Nina digotong masuk dan dibaringkan di sofa. Orangtuanya lalu dipanggil. Barangkali ada sedikit heboh. Tapi, bisa juga tidak. Mungkin saja peristiwa ini dianggap cuma sebagai salah satu cara Nina memperoleh luka, saking seringnya Nina terluka—tapi, orangtua mana
sih yang tak cemas melihat anaknya tertabrak!?

Entah berapa lama Nina pingsan, sudah lupa, katanya.

Vespa yang menabrak Nina dikendarai oleh seorang perempuan muda yang mengoncengi ibunya. Jalannya vespa perlahan saja. Karena itu mungkin meski pingsan dan salah satu dengkulnya luka, tak ada luka lain baik di dalam maupun di luar tubuh Nina. Dengan demikian, ia tak punya alasan untuk tidak masuk sekolah pada keesokan harinya.


Pengendara vespa juga terluka, omong-omong. Salah satu kakinya, pada bagian atas tapak kakinya, bengkak. Tertindih vespa rupanyanya. Ibunya sepertinya tak mengapa. Mereka berdua baru pulang setelah yakin Nina tidak apa-apa.


Setelah kecelakaan itu, Nina baru menyadari bahwa perasaan aneh yang dirasakannya pada pagi hari itu adalah sebentuk firasat. Sebuah pertanda yang seolah menyuruhnya untuk tinggal di rumah saja dan beristirahat. Kini, setelah sekian dekade lewat, Nina masih ingat perasaan yang tak nyaman itu. Bagaimana detilnya perasaan itu, dikatakannya bahwa ia tak dapat menjabarkannya dengan kata-kata.


Perasaan itu tak pernah dirasakannya sebelumnya, dan juga sesudahnya. Waktu diserang monyet, ketika jatuh dari motor, atau saat pulang berkemah di mana truk yang ditumpanginya terserempet sampai Nina terluka; tak ada perasaan pertanda seperti itu. Entah kenapa, hanya satu kali saja ada pertanda yang menghampirinya.


Tapi, mungkin lebih baik begitu. Karena, kalau sering-sering
kan Nina jadi khawatiran anaknya. Dan, bisa jadi dia tak akan berani melangkah lebar-lebar dalam hidupnya. =^.^=

Tuesday, December 23, 2014

Cerita Kopi


Kopi adalah gaya hidup manusia Indonesia sejak entah kapan. Baik di dalam maupun di luar rumah. Bercerita Nina, bahwa, sejak ia kecil ayahnya membuka pagi harus dengan secangkir/segelas kopi. Lalu, pada sorenya menutup hari juga dengan kopi. Banyak manusia dewasa yang dikenalnya pada masa dulu itu melakukan hal yang serupa dengan ayahnya.

Manusia dewasa? Ya, karena, waktu Nina kecil dulu hanya manusia dewasa yang minum kopi. Anak-anak dilarang. "Nanti jadi bodoh", demikian alasan yang kerap didengar Nina kecil. Alasan yang sama disebar oleh ibunya soal brutu ayam. Apa yang dilarang, pasti dilakukan Nina. Soal brutu, ternyata enak
banget. Ibu-nya kemudian berkata bahwa brutu ayam itu memang enak. Jadi, demikian dilanjutkan sang Ibu yang juga penggemar brutu, harus diupayakan supaya Nina tidak ikut-ikutan menyukai brutu ayam. Bisa rebutan dengan Ibu kan.

Soal kopi, tak pernah ada penjelasan mengapa bisa membuat sesosok anak menjadi bodoh. Mungkin, logikanya, karena kopi bisa membuat manusia yang meminumnya tak mengantuk. Bila tak tidur, si anak pasti akan mengantuk di sekolah. Akibatnya, pelajaran tak akan mampu ditangkap dan anak bisa jadi bodoh. Sementara itu, Nina pernah baca mengenai penelitian mutakhir bahwa kopi dalam takaran tertentu mempunyai faedah yang baik untuk anak-anak manusia.

Tak hanya brutu, kopi pun diam-diam dicoba Nina. Dulu kan merupakan tugasnya seorang untuk membuatkan kopi sore bagi sang ayah. Kesempatan mencicipi selalu ada. Hasilnya? Nina tak suka dengan rasa kopi. Yang dia suka adalah teh manis rasa sendok kopi! Lho!? Ya itu, sehabis mengaduk kopi untuk ayah, sendoknya dipakai untuk mengaduk teh manisnya. Awalnya, gara-gara malas mengambil sendok baru. Hasilnya, malah menyenangkan dan bikin ketagihan.

Tapi, harumnya aroma kopi sangat disukai Nina. Di dekat gereja Bethel (sekarang Kononia) di seberang viaduk di dekat Pasar Jatinegara, pada siang hari, dulu, aroma biji kopi digiling selalu meruap di udara. Menghirupnya dalam-dalam adalah kesukaan Nina. Aroma harum kopi untuk ayah pun disukainya pula. Dan, harum kopi milik teman-teman masa remaja saat
nongkrong di warung kopi pinggir jalan.

Tradisi warung kopi adalah tradisi yang sangat Indonesia. Di berbagai daerah di Indonesia, selalu mudah untuk menemukan warung-warung kopi tradisional. Lebih dari pada sekedar tempat manusia menghirup cairan hitam pekat tersebut, warung kopi adalah wadah untuk bersosialisasi. Sebagaimana misalnya 
warung kopi di Sumatra Barat. Dikenal dengan sebutan lepau, merupakan tempat manusia lelaki berkumpul.Duduk berjam-jam di lepau, kadang dari pagi sampai sore, seorang pelanggan bisa cuma pesan kopi segelas. Atau, bahkan setengah gelas saja. Namun, tanpa malu, sesekali dimintanya pemilik lepau untuk menambahkan air hangat ke gelas kopinya. Pun juga  minta tambah gula sedikit ke dalam gelasnya yang adalah modal untuk nimbrung ke dalam diskusi hangat yang tiada habis dibahas.

Dalam masyarakat Minangkabau, diskusi-diskusi tak keruan di
lepau biasa disebut sebagai ota lepau. Pembicaraannya bisa mengenai hal-hal besar tapi tak mempunyai arti apa-apa. Semisal yang pernah diucapkan oleh almarhum Ed Zoelverdi si Mat Kodak di era orde baru yang sudah berlalu, bahwa dalam satu hari Presiden Suharto bisa dua puluh kali dikudeta, dan dua puluh kali diangkat kembali menjadi presiden. Sedemikian 'kosong'nya ota lepau, dua kata ini pun menjadi sebuah perumpamaan. Yang berarti, bahwa sesuatu hal yang dibicarakan seseorang yang kesannya sangat besar, sebenarnya tak lebih dari omong kosong atau bualan belaka.

Di daerah-daerah manapun, warung kopi tradisional bisa dikatakan sebagai tempat bersosialisasinya kaum lelaki. Perempuan memang jarang terlihat
nongkrong di warung kopi tradisional termasuk warung-warung kopi yang tersebar di Jakarta. Kecuali, bahwa dia adalah pemilik/pengelola warung kopinya.

Warung-warung kopi sejak lama banyak tersebar di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Tak cuma jarang dikunjungi wanita, pengunjungnya umumnya adalah manusia-manusia yang berasal dari kelompok ekonomi bawah. Di banyak warung-warung itu dahulu, sambil
ngopi, atau ngeteh, manusia bisa makan kue pancong yang enak. Jaman sekarang, kue pancong tak lagi ada di warung kopi. Diganti gorengan dan/atau bubur kacang ijo-ketan item. Sebagian besar bahkan menyediakan mi instan merek tertentu sehingga namanya berubah bukan sebagai warung kopi, tapi merupakan warung mi-instan-merek-tertentu-itu.

Globalisasi di berbagai bidang juga menyerempet ke dunia kopi. Masuklah ke Indonesia warung-warung kopi non-tradisional berselera Barat. Dengan pangsa pasar kelas ekonomi mengengah-atas sampai atas. Berhubung tempat macam ini adalah tempat yang moderen dan berasal dari dunia bagian barat yang sangat-sangat maju, tampaknya tak pantaslah disebut sebagai warung kopi. Melainkan,
coffee shop atau café alias cafe. Atau, cukup disebut sebagai kafe. Kafe macam ini, berbeda dengan warung kopi tradisional atau di pinggir jalan, ternyata banyak didatangi oleh manusia-manusia perempuan tanpa ada yang merasa aneh.

Awalnya sekedar
hip, mendatangi kafe kini telah menjadi gaya hidup yang baru. Situasi Jakarta yang macet tak tertahankan menjadi salah satu sebab utama manusia berkunjung ke kafe. Menunggu  jalanan menyepi, manusia pun menutup hari dengan menikmati kopi sore di kafe. Gaya hidup memang sudah berubah, sudah tak jaman lagi tradisi ngopi sore di rumah seperti ayahnya si Nina dulu.

Kopi-kopi di kafe adalah biji kopi yang berasal dari mancanegara. Demikian pula dengan olahannya, merupakan olahan asing. Sebelum kehadiran kafe macam itu, manusia Indonesia taunya kopi pahit, kopi kental, kopi jahe, kopi encer, kopi manis, kopi susu, kopi telur, kopi luwak. Dengan hadirnya kafe, maka istilah expresso, latte, cappucino, dan sejenisnya; mulai menari-nari dalam bahasa pergaulan lokal.

Adalah sebuah ironi bahwa Indonesia yang kaya akan kopi lokal, manusianya malahan minum kopi impor. Di negara ini, dari barat ke timur, dari utara ke selatan;
 kopi atau biji kopi bahkan perkebunannya begitu mudah ditemukan. Ada kopi Aceh, Gayo, Mandheling, Lintong, Toraja, Kalossi, Gowa, Jawa, Flores, Papua—daftarnya terlalu panjang. Kehadiran kopi-kopi asing tersebut siapa tau merupakan ancaman bagi keberadaan kopi-kopi lokal. Mungkin pemikiran yang sama timbul di benak beberapa pemerhati dan/atau penikmat kopi Indonesia. Maka itu, kafe-kafe dengan cita rasa kopi lokal pun bermunculan.

Pemunculan kafe-kafe dengan kopi lokal tersebut ternyata tidak ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat. Berhubung namanya kafe, harganya harga kafe. Padahal, tidak semua manusia Indonesia mampu membayar kopi yang secangkirnya berharga lima puluh ribu rupiah sebelum pajak. Pun, kafe cita rasa lokal juga tak mengangkat harkat warung kopi dengan memasang label ‘kafe’, bukannya ‘warung kopi’. Kafe adalah untuk elit tertentu, sedangkan warung kopi adalah tempat bagi orang-orang pinggiran.
 

Belakangan, telah muncul yang namanya kopitiam atau kopi tiam. Prinsipnya, ya warung kopi juga. ‘Tiam’ dalam bahasa Hokkien/Hakka berarti ‘toko’. Merupakan warung kopi  Melayu-Cina. Sepertinya sebutan ‘kopi tiam’ dianggap masih lebih keren dibandingkan dengan ‘warung kopi’. Karena dianggap sesuatu yang datang dari luar, Malaysia dan Singapura. Meski sebenarnya kopitiam itu lumrah adanya di Riau Kepulauan, Medan, dan Jambi.

Terkendala dana, manusia yang terpinggirkan memang tak bisa mengunjungi kafe-kafe baik yang bercitarasa mancamegara maupun lokal. Meskipun demikian, ternyata tak berarti mereka tak tahu apa itu coffee latte dan cappucino. Disebabkan, kini sudah banyak diproduksi kopi-kopi macam itu dalam saset ukuran satu cangkir. Pelanggan yang hendak menikmatinya tinggal datang warung kopi biasa. Atau, menunggu sampai sang kopi yang mendatanginya. Dibawa pedagang kopi keliling bersepeda, sebuah trend baru yang berkembangan belakangan ini.

Kehadiran kopi sepeda memberi kesempatan bagi manusia untuk
ngopi di mana saja. Membuat pelanggannya mudah menikmati kopi-kopi dengan nama yang susah disebutkan itu. Namun, kopi sepeda pun menghadirkan pula sebuah kecemasan baru. Karena, bagi tukang kopi sepeda, kemasan saset kosong dan/atau gelas plastik bekas ngopi, bukan lagi urusan mereka.  = ^.^=



Warung kopi di sekitar Pasar Baru

Monday, December 22, 2014

Si Bunda Menang Undian



Satu Minggu malam, ke sebuah mol di daerah Pejaten, Nina pergi hendak menonton. Jam menunjukkan pukul tujuh malam lewat sedikit saat Nina membeli tanda masuk. Pertunjukkan yang dituju adalah yang pada pukul sembilan malam. Karena masih banyak tempo, maka Nina belanja dan jajan-jajan dulu di seputaran mol tersebut. 

Masih ada waktu tiga per empat jam lagi sebelum film dimulai saat Nina keluar dari supermarket di lantai bawah tanah. Mengarah ke lift, dia melewati lapak-lapak yang berada di luar supermarket. 

"Bunda belanjanya di atas dua puluh lima ribu, ya? Kami ada hadiah nih untuk yang belanjanya di atas jumlah itu" tegur seorang SPB (sales promotion boy) sambil melirik tas belanja Nina. 

Dulu, entah kapan, seorang SPG (sales promotion girl) di lapak yang sama, pernah menawarkan Nina sepasang koyo kaki gratis. Nina tahu tentang koyo itu, karenanya ia bersedia untuk menerimanya. Namun, berhubung ternyata harus tulis-tulis ini atau itu, sementara Nina sedang terburu-buru mau nonton, maka tawaran tersebut ditolaknya. Oleh karena itu, Nina tahu betul ke mana arah pertanyaan si SPB. Nina juga tahu lho bahwa si SPB asal ngomong soal belanja diatas dua puluh lima ribu bisa dapat hadiah. Belanjanya di supermarket, sementara lapak itu adanya di luar. Apa hubungannya, coba? 

"Mau kasih koyo, ya?" Nina menembak langsung.

"Bukan, Bunda, ini anu-anu-anu. Kalau dibilang koyo sepertinya murahan, Bunda..." 

"Eh jangan salah ya! Koyo itu kan bahasa Jepang. Anu-anu-anu itu kan dari Jepang! Semua koyo yang kita kenal itu asalnya dari Jepang. Istilah koyo itu ya dari bahasa Jepang" Nina menyanggah sok tahu. 

"Wah, Bunda koq tahu! Bunda pinter ya..." 

"Iya donk, saya pernah ke Jepang duapuluh tahun lalu," jawab Nina. 

Bohong deh, mana pernah Nina ke Jepang. Entah juga apa benar bahwa koyo itu asalnya bahasa Jepang... 

Melihat masih ada waktu, Nina bersedia menerima koyo itu dan menanggapi kerepotannya. Nama dicatat, Nina hanya menuliskan nama depannya saja. Nomor hp ditulis, nomor yang kerap dapat sms dan telepon sampah. 

"Pasti nomer hp saya ini akan kamu jual deh," celetuk Nina. 

"Ah, nggak donk, Bunda," kata si SPB yang sekarang aku sebut sebagai SPB1. 

Pada akhirnya ada tiga SPB. SPB2 adalah yang sedang memijat kakinya dengan alat pemijat kaki elektronik di meja-kursi di mana Nina dipersilahkan duduk. SPB3 tahu-tahu muncul. 

Setelah nulis nama, SPB1 membawa tiga-empat lembar kertas persegi panjang yang tertutup. 

"Apa tuh?" tanya Nina. 

"Ini undian berhadiah, sebagai ucapan terima kasih. Tapi, biasanya sih nggak ada yang dapat. Maklum lah...," jawab SPB1 menggantungkan kalimatnya. 

"Seperti ini," tiba-tiba SPB2 muncul dengan membawa segepok kertas sejenis yang telah terbuka.

Sebagian besar bertuliskan sesuatu yang maknanya ‘maaf anda belum beruntung’. Hanya satu yang menunjukkan bahwa pernah ada sesosok manusia yang beruntung dapat hadiah. 

Nina membuka kertas tersebut, dan, ahoy..., *drum roll* isinya menyatakan bahwa Nina mendapatkan sebuah kompor listrik seharga lima belas juta lebih!!! Plus, vocer sebesar dua juta rupiah!!! Jreng!!! 

SPBI1 melirik kertas tersebut dengan acuh tak acuh. Lalu, sambil sedikit mengangkat bahu, ia berkata bahwa itu tidaklah mungkin. Karena, katanya lagi, belum pernah ada yang dapat kompor listrik tersebut. Jadi, blablabla... 

"Lha terus, ini apa? Jelas-jelas kan tercantum di sini bahwa hadiahnya kompor nih," Nina berkata. 

"Sebentar ya, Bunda. Saya tanya bos saya dulu. Sebab, belum pernah ada yang dapat ini. Ini hadiah utama ini, tapi belum pernah ada yang dapat. Lagi pula pasti ada pajak hadiahnya," kata SPB1.

Ia lalu beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Nina yang ditemani SPB2. Nina melirik jam, masih lebih dari setengah jam sebelum film dimulai. Masih cukup waktu. SPB1 muncul kembali. 

"Bunda, ternyata benar! Bunda memenangkan hadiah kompor itu! Dan, nggak ada pajaknya! Aduh, mimpi apa sih Bunda semalam!? Tapi, ada syarat-sayaratnya nih!" seru SPB1. 

Nah, kan! Tak akan semudah itu deh untuk mendapatkan barang harga belasan juta secara gratis.

Pertama, kompornya tidak boleh dijual lagi. Lalu, Nina harus bantu promo barang tersebut.
 

"Caranya, kasih tahu teman-teman Bunda soal kompor ini. Tapi, jangan bilang kalau Bunda dapat sebagai hadiah. Katakan kalau Bunda beli". 

Okay... 

Kemudian, harus bikin foto shelfie bersama barang hadiahnya. Sebanyak tiga kali. Nggak masalah, pikir Nina. 

Syarat berikutnya, Nina harus mendengarkan petunjuk pemakaian kompor listrik tersebut. SPB3 lalu menjelaskan cara pemakaiannya, beserta informasi lainnya. 

"Vocernya mau dipakai untuk beli apa? Panci-panci ini aja, Bunda. Bagus! Cocok untuk kompornya," saran SPB3 sambil memperlihatkan sebuah kotak besar berisi panci-panci logam dengan merek yang sama dengan si kompor listrik. 

"Saya pengen air purifier-nya," sahut Nina. 

SPB3 pun lalu menjelaskan cara kerja dan keistimewaan barang tersebut. 

SPB1 muncul lagi. Bawa kabar gembira lagi sepertinya. 

"Bunda, kan di kertas tadi ada tulisan 'istimewa', nah, ini ada hadiahnya lagi," demikian kata si SPB1. 

Sepertinya keberuntungan Nina malam itu banyak banget deh. Mungkin nggak sih? 

Beberapa lembar kupon berhadiah yang berbeda dengan yang tadi, diperlihatkannya kepada Nina. Katanya, kupon itu bernilai antara satu dan lima juta. Nina berhak untuk memilih salah satu dari kupon tersebut. Dan, SPB2 pun, seperti sebelumnya, tiba-tiba muncul membawa kupon yang bagian tertutupnya sudah terkuak, memperlihatkan tulisan angka tiga juta rupiah.

Lalu SPB1 menyampaikan kabar gembira lagi. Disebutkan bahwa bos-nya menyatakan bahwa foto selfie Nina nanti akan diprioritaskan untuk menjadi salah satu pemenang dalam lomba foto selfie! Total akan ada empat pemenang yang masing-masing mendapat satu buah sofa pijat listrik! Jadi, kata SPB1 lagi, sudah bisa dipastikan bahwa Nina akan membawa pulang satu sofa tersebut! Entah kapan... 

Dijelaskan juga kenapa tidak ada pajak hadiah. Berhubung menyewa bintang iklan itu sangat mahal adanya, perusahaan memutuskan meniadakannya. Lebih murah memakai cara memberikan hadiah kepada yang beruntung, lalu membayarkan pajaknya dan mewajibkan si penerima hadiah untuk membantu promo.

Selanjutnya, SPB1 memberitahu Nina bahwa vocer dua juta-nya hanya boleh dipakai untuk barang yang belum pernah diiklankan. SPB3 memberitahu rekannya bahwa Nina memilih air purifier, dan SPB1 mengacungkan jempol tangan kanannya karena katanya barang pilihan Nina tadi belum pernah diiklankan.

"Pilihan yang pas," kata SPB1 lagi.

Mereka lalu menunjukan sebuah majalah Asri. Ada iklan dengan foto keluarga kecil bersama peralatan rumahtangga dengan merek serupa. Dikatakan bahwa itu adalah pemenang seperti Nina, dengan lokasi Banjarmasin. Entah yang mana pemenangnya sih, satu keluarga gitu fotonya—ayah, ibu dan dua anak kalau Nina tak salah ingat. Dikatakan bahwa si pemenang tersebut menerima sepuluh juta rupiah atas pemakaian fotonya di iklan tersebut. Berlaku untuk penerbitan selama tiga bulan—kalau tak salah majalah Asri terbit bulanan ya... 

"Foto selfie-nya Bunda nanti juga mau dipakai seperti ini. Buat tiga bulan Bunda dibayar sepuluh juta. Boleh kan!?" 

"Boleeeh...," sambut Nina. 

Sebenarnya, ada dua majalah lagi lho yang dipertunjukkan. Pada salah satunya, kelihatannya ada tuh iklan air purifier. Tanpa memakai model manusia. Tapi, Nina diam saja. Cukup dicatatnya di dalam hati.

Di antara ini dan itu yang terjadi di atas, entah SPB2 atau SPB3 tiba-tiba datang membawa telepon. Katanya, bos-nya mau bicara lagi. Mengucapkan selamat sekali lagi, dan memberitahukan soal peluang besar Nina dalam kesempatan memperoleh sofa pijat. 

“Aduh, mimpi apa Bunda semalam!?” seru SPB1. 

Auk, udah lupa...,” jawab Nina. 

Tapi, lalu Nina harus menghadapi kenyataan bahwa harga air purifier-nya ternyata sebelas juta lebih!

"Wah, nggak jadi deh, saya pilih yang lebih murah saja. Sesuai dengan nilai vocernya saja," kata Nina sambil tertawa. 

Sebagai reaksi atas perkataan Nina di atas, para SPB ramai-ramai memberitahukan bahwa malam ini Nina tetap bisa bawa pulang air purifier-nya. Tak masalah, kata mereka sembari tersenyum. Nantinya, di lain hari, bisa ditukar dengan barang yang lebih murah. Segampang itu? Tentu saja tidak.

Untuk bisa membawa air purifier pulang bersama kompor listrik saja, terlebih dahulu Nina harus membayar sembilan juta sekian rupiah. Sisa harga si air purifier setelah dikurangi dua juta nilai vocer. Pembayarannya 'cukup' dengan menggesek kartukredit yang ‘ternyata’ satu merek dengan salah satu sponsor mereka. 

"Kartukredit Bunda ada lambang seperti ini tidak? tanya SPB1.

Dengan bodoh Nina mengeluarkan kartukreditnya untuk memeriksa, yang langsung disambar SPB1. SPB2 dengan sigap meletakan alat gesek kartu kredit di meja. Menyadari situasi yang berubah dengan cepat, Nina segera menyambar kembali kartukreditnya. Menyimpannya kembali ke dompet. Memasukan dompet ke dalam ransel kembali. 

"Begini ya, saya ini bukan orang yang punya banyak duit. Karena itu, saya nggak mau ah kalau harus membayar sebanyak itu," jelas Nina. 

SPB1 berkata, bahwa sebelum tagihan kartukredit datang, mereka akan mengembalikan sembilan juta lebih itu dalam bentuk tunai ke Nina, pada saat Nina menukar barang. Duh, memangnya mungkin segampang itu? 

Sementara itu, jam sudah hampir menunjukkan pukul sembilan. Tiba-tiba SPB3 datang membawa telpon. Si bos mau bicara lagi dengan Nina, katanya. Pasti si bos sudah mendengar laporan akan keengganan Nina dari salah satu SPB. 

Si bos itu apalagi yang dikatakannya kalau bukan mendorong Nina agar tak ragu memakai kartukreditnya. Mengulang yang dikatakan SPB1 tadi, disebutkannya bahwa nantinya Nina akan menerima kembali jumlah yang sama dengan yang telah dibayarkan dengan kartukredit, dalam bentuk tunai. Jadi, Nina tak usah kuatir. Dikatakannya bahwa untuk keperluan itu, akan dibuatkan hitam di atas putih supaya Nina tenang. Lalu, tambahnya lagi, setelah ada approval dari pihak penerbit kartukredit, malam itu Nina akan bawa pulang bukan dua barang, tapi empat. Setelah mendengar Nina meng-iya-kannya, si bos pun meminta telepon diberikan kembali ke anak buahnya.

Peng-iya-an Nina di telepon tadi adalah cara cepat menutup pembicaraan telepon. Ketika kembali menghadapi para SPB, Nina menyatakan bahwa dia tetap menolak untuk memakai kartukreditnya. SPB1 sepertinya menolak untuk putus asa, sehingga terus berusaha meyakinkan Nina. Sebuah invoice siap ditangannya. SPB3 nimbrung membantu, menyuruh Nina untuk segera mengisi kartu data yang tadi dibawa SPB1.

"Waaah..., Bunda nggak ngerti, nih," kata SPB1 yang melihat Nina tetap bergeming. "Lagi pula kan kita akan buat hitam di atas putih seperti kata bos". 

Tanpa pengacara? Nggak ada kekuatan hukum tuh! 

"Ini urusan nggak bisa dilanjutkan besok saja?" tanya Nina. 

Tidak bisa ternyata. Pastinya...

"Eh, udah jam sembilan lewat tuh! Saya kan mau nonton," seru Nina sambil menunjuk ke jam tangan SPB1. 

"Belum! Jam saya kecepatan, jam dia yang tepat" kata SPB1 seraya menunjuk SPB3. 

"Iya, belum jam sembilan koq, Bunda," sahut SPB3 sambil melihat jam tangannya tapi tanpa memperlihatkannya ke Nina. 

Nina pun mengeluarkan hp-nya, dan memperlihatkannya ke mereka. 

"Jam saya tepat nih, tuh, sudah jam sembilan lewat tiga menit!" kata Nina. "Saya nonton dulu deh, setelah itu saya balik ke sini!" 

"Kami kan juga harus pulang, Bunda... Selesai bioskop kami sudah nggak ada," kata salah satu dari mereka—yang mana, Nina tak ingat lagi. 

"Kalau gitu, saya bawa pulang kompornya saja deh," sahut Nina tanpa rasa percaya hal itu mungkin terjadi. 

"Kalau gitu, Bunda berarti berhutang," jawab SPB1. 

Semakin jelas sudah persoalannya. Ini sih memang tidak ada niat sama sekali untuk ngasih gratis. Semua itu tak lebih daripada sebuah jebagan betmen. 

"Ya sudah, saya mau nonton ya," Nina berkata sambi berdiri. 

"Lho!? Jadi batal, bunda?" seru SPB1. 

"He'eh," jawab Nina sambil meraih tas belanjannya. 

"Kalau begitu, harus tandatangani pembatalan, Bunda!!!" 

"Nggak usah!!!" teriak Nina sambil beranjak dan segera berlari ke lift yang pintunya tengah terbuka. 

Untung lift-nya langsung menuju ke atas. Tapi, tetap saja film-nya sudah berlangsung.

Persoalan tidak dianggap kelar begitu saja oleh Nina.

Beberapa jam kemudian, di rumah, Nina memeriksa apakah kartukreditnya benar-benar sudah kembali. Pada keesokan harinya, ia menelpon perusahaan penerbit kartukredit. Kuatir jangan-jangan sudah terjadi transaksi di luar sepengetahuannya. Nina merasa semalam dirinya berada dalam kontrol yang baik. Tapi, siapa tahu ada sesuatu yang terjadi, pakai hipnotis-hipnotis, begitu. Yang dihadapinya kan tiga orang ditambah satu yang berbicara melalui telepon. 

Pihak penyelenggara kartukredit menyatakan tidak ada transaksi apapun yang terjadi. Karena Nina menyebutkan bahwa ia hampir ditipu semalam, ditawarkan kepadanya untuk dilakukan pemblokiran. Demi keamanan. Disetujui oleh Nina. 

Malam itu, Nina berhasil lolos dari sebentuk penipuan karena ada hal-hal yang menjaga kesadarannya. Pertama, sejak Nina disebut telah memenangkan kompor listrik tersebut, di benaknya muncul wajah seorang kawan yang tertawa dan berkata, "ditipu tuh". 

Ditambah, ada kesadaran dalam diri Nina bahwa hari gini, mana ada sih barang gratisan. Apalagi barangnya belasan juta begitu! 

Kemudian, keinginan untuk menonton pada akhirnya menyelesaikan persoalan. Kalau benar dapat gratisan, direlakan saja lah karcis yang sudah dibayar itu. Tapi, jelas-jelas nggak bener gitu urusannya. Rugi bandar donk kalau karcisnya hangus. Sayang kan... 

Ini bukan modus baru sebetulnya. Dari cerita sana-sini, ternyata sudah ada korban-korbannya. Salah satunya adalah almarhum tante dari Nina sendiri. Kejadiannya terjadi beberapa tahun lalu, di sebuah lapak yang berada di supermarket di daerah Lebak Bulus. Beberapa juta rupiah uang si tante menghilang. Digantikan barang tak jelas.

Ketiga SPB itu jelas sudah gagal dalam tugasnya.
Padahal, permainannya sandiwara ketiganya untuk memojokkan Nina kelihatan begitu rapih. Sayangnya—bagi mereka, Nina tak mudah tergiur dengan barang konsumtif seperti yang mereka tawarkan. Entah apa yang harus mereka bayar kepada bos-nya sebagai pengganti dari kegagalan mereka. Maaf ya, tapi itu bukan urusannya Nina apalagi aku...  =^.^=


Ni dia koyo yang dijadikan umpan~
Macam inilah lapak tersebut.