Thursday, August 28, 2014

Catatan si Kamoy: Terbanglah!



Bis zum Horizont, dann links! 
(Fly Away!)
Film cerita // 92 menit // Jerman, 2011

Sutradara: Bernd Böhlich
Pemeran: Otto Sander, Angelica Domröse, Ralf Wolter, Herbert Köfer, Anna Maria Mühe, Herbert Feuerstein, Monika Lennartz, Tilo Prückner, Robert Stadlober



Secara tradisi, dan terdorong oleh perasaan berhutangbudi kepada orang yang sudah melahirkan dan membesarkannya, masyarakat di Indonesia akan merawat sendiri para manula-nya. Situasi ini sungguh berbeda dengan di negara-negara barat seperti Jerman. Yang umumnya akan menempatkan manulanya di rumah-rumah atau wisma-wisma khusus. Menyerahkan pengurusannya kepada para profesional, sekaligus menghindari kerepotan mengurus sendiri para orangtua yang sudah berumur lanjut. Yang biasanya mempunyai perilaku seperti anak kecil lagi. Tindakan itu tentu memberi keringanan pada keluarga-keluarga, sekaligus membuka kesempatan kepada para manula untuk bergaul dengan sesamanya. Tapi, di lain pihak situasi ini tak jarang membuat para manula tersebut merasa seperti dibuang oleh anak-anaknya. Anak-anak yang dilahirkan dan diurusnya sejak kecil, yang kemudian enggan ganti mengurus orangtuanya.

Kuduga, perasaan seperti itulah mungkin yang dirasakan oleh Margarete Simon ketika diantar oleh anak laki-laki, menantu, dan cucunya; ke sebuah wisma manula. Frau Simon ini adalah seorang tokoh yang  diperankan oleh Angelica Domröse dalam film Bis zum Horizont, dann links! Sebuah film dalam German Cinema 2014 yang tercatat sebagai salah satu film terfavoritnya Nina, peliharaanku—omong-omong aku adalah Kamoy, kucing domestik Indonesia asli yang mencatat semua kegiatan Nina.

Anak laki-lakinya yang bekerja untuk badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ditempatkan di New York, Amerika Serikat. Penempatan baru ini pun ini dijadikan momentum untuk memindahkan Frau Simon si oma ke sebuah wisma manula.Tapi, si oma pun tahu betul bahwa terutama oleh menantunya ia dianggap sebagai beban.

Tersebutlah Eckehardt Tiedgen (diperankan oleh Otto Sander) yang sudah berada di rumah manula tersebut terlebih dahulu. Menjalankan hari-hari kehidupannya di wisma manula cenderung secara apatis, tokh keinginan pribadinya semisal tak sekamar dengan sesama manula tertentu tak akan didengarkan. Sepertinya, mati pun tak soal. Pada malam pertama kehadiran Frau Simon di wisma manula, Herr Tiedgen mencuri pistol milik penjaga keamanan. Sempat ditempelkannya pistol tersebut ke pelipisnya sendiri, tapi ia segera berubah pikiran.

Keesokan harinya adalah hari kedua Frau Simon menjadi penghuni wisma manula. Pada hari itu, jadwal untuk penghuni wisma manula adalah rekreasi. Joy flight dengan sebuah pesawat kuno berbaling-baling tiga selama satu atau dua jam. Pilotnya berumur tak jauh dari para manula penghuni wisma. Co-pilot-nya seorang pemuda, yang segera lirik-lirikan dengan si suster pengawal para manula yang adalah gadis muda usia.

Sekelompok manula innocent untuk penerbangan gembira, berangkat dari sebuah pelabuhan udara kecil. Kendaraan pengangkut dari wisma tak repot, bisa langsung masuk ke lapangan terbang dan menurunkan penumpangnya di samping pesawat. Calon penumpang pesawat tak pula perlu dipindai seperti umumnya calon penumpang di pelabuhan-pelabuhan besar dengan tingkat keamanan tinggi. Sekali lagi, mereka adalah sekelompok manula. Innocent. Apa bahayanya?

Salah! Tanpa pengamanan semacam alat pindai tersebut, akibatnya tak diketahui bahwa Herr Tiedgen diam-diam membawa pistol yang dicurinya semalam ke dalam pesawat. Bermodalkan pistol tersebut, sesaat setelah pesawat mengudara, ia menyatakan bahwa pesawat dibajak! Tuntutannya? Minta dibawa ke pantai!

Umumnya penumpang setuju dengan situasi pembajakan. Dipertegas dengan pemungutan suara. Pesawat pun terbang keluar batas negara Jerman dan masuk ke udara Austria. Secara bersama sebuah skenario diputuskan. Bahwa pesawat dibajak oleh orang-orang dari jazirah Arab. Seorang nyonya yang mantan seniman panggung langsung diberi peran sebagai pembajak. Bermodalkan kacamata hitam pinjaman dan parasut berwarna putih.

Pesawat lalu memaksa mendarat di sebuah pelabuhan udara di Austria yang sedang bersiap menyambut tamu negara. Karena itu ada wartawan televisi yang sedang meliput. Atas nama pembajak, co-pilot menyampaikan tuntutan. Bahan bakar, makanan dan..., popok sekali pakai untuk orang dewasa. Pengantar makanan disambut oleh 'seorang orang Arab' berbalut pakaian putih dan berkacamata hitam.

Tapi, lho, koq orang Arab-nya berbicara dalam bahasa Jerman!? Sebelum rahasia terbongkar, Frau Simon mengambil alih situasi. Menjadi penerjemah dari bahasa Arab asal-asalannya Herr Tiedgen yang hanya suaranya saja yang terdengar. Sebelum menutup pintu, Frau Simon menyatakan bahwa dia adalah ibu dari seorang petugas PBB yang berkedudukan di New York. Dan pesawat pun melanjutkan perjalanannya.

Suster muda yang mengawal rombongan awalnya tak setuju dengan ide gila-gilaan ini. Akibatnya, pada saat pesawat transit di Austria, ia dikurung di kamar kecil dalam pesawat. Tapi, kemudian ia membiarkan dirinya larut dengan situasi yang ada. Mau menentang juga percuma saja kan.

Penerbangan pun berlanjut, dan pesawat melintas di atas lautan luas. Ketika pilot merasa mengantuk, ia menyerahkan kemudi kepada co-pilot dan lalu tidur. Co-pilot dengan senang hati menerima penugasan yang baru kali ini diperolehnya. Namun kegirangannya sontak terputus ketika seluruh baling-baling pesawat berhenti berputar. Penyebabnya: bahan bakar mencapai titik nol.

Penerbangan terpaksa dilanjutkan dengan sistim sliding. Ketegangan di cockpit tak disadari oleh hampir semua penumpang, bahkan ada yang sudah merasa lapar lagi. Kecuali satu orang, yang dengan santainya masuk ke cockpit. Seperti sambil lalu disebutkannya nama sebuah tempat tak jauh dari situ, yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk mendarat.

Dan, hore..., sebuah pulau muncul di pandangan mata. Maka, setelah terbang dengan sistem sliding tanpa bahan bakar selama limabelas menit, pesawat mendarat dengan mulus di sebuah dataran berumput. Sang pilot segera turun membawa jeriken kosong. Disambut seseorang berseragam yang seumuran. Ini tanah Itali, karena itu masing-masing orang tak mengerti bahasa lawan bicaranya. Tapi, dibantu dengan bahasa Tarzan, pilot berhasil menyampaikan bahwa mereka butuh bahan bakar dan makanan. Sementara pilot pergi bersama si petugas berseragam tadi, para penumpang turun dari pesawat. Di hadapan mereka membentang pantai cantik yang sepi pengunjung. Terbayar rasanya perjalanan ajaib yang baru saja mereka lakukan.

Semua orang akhirnya berkumpul di rumah seorang penduduk. Makan minum bersama-sama, sambil menonton berita televisi tentang pembajakan pesawat mereka. Anak laki-laki Frau Simon diwawancarai televisi, yang dengan cemas berharap semoga ibunya baik-baik saja.

Setelah melakukan sebuah keberanian sampai mereka berhasil mencapai tempat yang begitu jauh dari tempat asalnya, pada masing-masing individu pun tumbuh semangat yang berbeda juga. Tak heran bila benih-benih cinta tumbuh di antara beberapa pasang manula. Entah memang baru tumbuh, atau sudah ada tapi selama ini terhibernasi dalam kehidupan membosankan di wisma manula. Termasuk di antaranya adalah antara Herr Tiedgen dan Frau Simon—dalam sinopsis di buku program disebutkan bahwa ide membajak pesawat dirancang Herr Tiedgen untuk membuat Frau Simon terpukau. Teman sekamar Herr Tiedgen bahkan berkata bahwa dia bermaksud untuk pindah kamar ke kamar kekasih barunya sekembalinya mereka ke wisma manula. Itu kalau mereka kembali. Untuk sementara ini sih semua orang menikmati kemenangan bersama di pulau yang mempunyai pantai-pantai nan cantik ini.

Film Bis zum Horizont, dann links! ini disutradarai oleh ahli komedi terkemuka Jerman, Bernd Böhlich. Dibintangi oleh sejumlah aktris dan aktor senior dalam dunia perfilman Jerman. Tak heran kalau gabungan antarelemen ini membuat film ini tampil memukau. Ceritanya lucu meski terselip adegan-adegan mengharukan di sana-sini. Dialog-dialognya cerdas.

Film ini tamat dengan menggantungkan cerita. Tanpa ada penjelasan apakah mereka semua pada akhirnya pulang kembali ke Jerman. Kalau ya, bagaimanakah caranya? Apakah dengan pesawat kuno yang sama, ataukah lainnya? Atau, apakah mereka akhirnya menjadi penduduk di pulau kecil yang indah dan damai itu. Tak pula ada penjelasan, apakah dari luar ada upaya yang lebih intensif dalam pencarian hilangnya pesawat kuno berbaling-baling tiga beserta seluruh awak dan penumpangnya.

Tapi, siapa yang peduli? Tidak dengan Nina peliharaanku ini. Baginya, akhir cerita yang terputus begitu bukan persoalan besar. Malah menurutnya, berarti penonton diberi kebebasan sebebas-bebasnya untuk membuat akhir cerita sesuai dengan keinginan masing-masing. Asik kan... §



Wednesday, August 27, 2014

Catatan si Kamoy: Hari tanpa Kopi untuk Niko


Oh Boy
Film cerita // 88 menit // Jerman, 2012
Sutradara: Jan Ole Gerster
Pemeran: Tom Schilling, Friederike Kempter, Marc Hosemann,
Katharina Schüttler, Justus von Dohnányi, Andreas Schröders, Arnd Klawitter, Martin Brambach,
Frederick Lau, Ulrich Noethen, Michael Gwisdek


German Cinema 2014 telah tiba! Nina yang di tahun ini mendadak menjadi penggemar film-film berbahasa yang-tak-dimengertinya, menyambutnya dengan gembira—oya, aku adalah Kamoy, kucing domestik Indonesia asli yang mencatat semua kegiatan Nina, peliharaanku. Sejumlah film dalam festival ini sudah ditontonnya. Ada beberapa film yang menjadi favoritnya, dan salah satunya adalah film hitam-putih dengan judul Oh Boy—satu-satunya film dengan nuansa hitam-putih dalam festival tersebut. Karya Jan Ole Gerster, seorang sutradara muda. Luar biasanya, film ini bukan saja merupakan sebuah debut film yang telah meraih sejumlah penghargaan internasional. Tapi juga karena sebenarnya merupakan film yang dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan yang harus dipenuhi Herr Gerster di sekolah film-nya.

Niko Fischer (diperankan oleh Tom Schilling), tokoh utama dalam film ini, sepertinya telah memulai suatu hari dalam kehidupannya dengan cara yang salah. Tak secangkir kopi pun diseruputnya di pagi hari itu. Kami bangsa kucing mungkin tidak akan pernah bisa memahami, mengapa secangkir kopi bisa sangat sedemikian berartinya bagi sesosok manusia. Tapi, peliharaanku si Nina, meski bukan peminum kopi sungguhan; tahu bahwa bagi seorang peminum kopi sejati, membuka hari tanpa secangkir kopi adalah sebuah kesalahan besar. Apalagi kalau sepanjang hari tak setetes pun dirimu tersiram kopi. Bisa dipastikan harimu akan suram adanya. Ah, manusia memang aneh!

Pagi itu, dengan terburu-buru Niko bersiap untuk meninggalkan rumah seorang perempuan—siapapun dia—yang sepertinya tak hendak ditemuinya lagi; setelah menghabiskan malam di situ. Mendadak menjadi canggung, ketika si perempuan terbangun dan seolah menangkap basah dirinya yang hendak kabur diam-diam. Tawaran sarapan terpaksa ditolaknya, yang berarti melewatkan kopi pagi yang penting, dan segera bergegas kembali ke apartemennya sendiri. Di mana dia menemukan bahwa dirinya hampir terlambat untuk memenuhi panggilan sebuah wawancara. Wawancara yang  menyangkut kemungkinan penangguhan sim-nya akibat menyetir di bawah pengaruh alkohol.

Pewawancaranya adalah seorang psikolog yang cukup sok tahu dan menyebalkan. Model petugas yang sadar dengan kekuatannya, yang tahu betul bahwa tangannya dapat menentukan nasib orang lain. Kekuatan yang tanpa ragu dipakainya ketika Niko terkena jebakan kata-katanya waktu wawancara berlangsung. Dapat dipastikan, pertemuan berakhir dengan kenyataan bahwa surat ijin mengemudinya positif ditangguhkan.

Sepulang dari wawancara, Niko mampir ke kedai kopi. Siapa tahu secangkir kopi hangat yang tertunda dapat membasuh perasaan tak enak di hati gara-gara wawancara nan apes tadi. Sayang, kamu belum beruntung, Niko! Nona penjaga kedai terlalu banyak punya kata-kata untuk menawarkan dagangannya termasuk kopi, tapi tak mampu memberi rekomendasi kopi mana yang terbaik untuknya. Secara acak saja Niko memilih jenis kopinya, sebab baginya yang penting adalah minum kopi terserah jenisnya! Apa lacur, setelah kopi terhidang, recehan logam di kantong tak cukup sebagai pembayar. Harganya di luar perhitungan Niko. Mungkin karena kopinya impor ya... Tak diperkenankan membayar seadanya, Niko meninggalkan kedai dengan tangan hampa. Tujuannya, anjungan tunai mandiri (ATM). Namun, alih-alih mendapat uang kartu ATM-nya malah tertelan mesin. Padahal, recehannya tadi sudah terlanjur didermakan ke seorang gembel. Terlintas niat untuk menarik dermanya kembali, tapi pandangan tajam pengguna ATM lain menghentikannya.

Sekembalinya ke apartemen dengan saku kosong, Niko terpaksa menemani seorang mesin bicara lain. Tetangga dengan persoalan rumah tangga yang sangat kepepet perlu teman curhat. Entah kenapa Niko tak bisa menolaknya. Untung lalu ada ajakan seorang teman buat ke luar rumah. Lumayan lah, siapa tahu dengan bermobil di seputar kota Berlin hatinya yang suram bisa tercerahkan. Menemani sang teman makan, Niko memesan secangkir kopi. Tak ada uang di kantong, tapi kan sang teman bisa mentraktir lho. Apalah artinya tambahan kopi barang secangkir. Apa daya waktu ngopi di restoran itu sudah lewat. Hmmm..., sebuah pengetahuan baru nih untuk Nina. Bahwa, di kota Berlin ada restoran yang pada jam-jam tertentu tak lagi menerima pesanan kopi. Entah apakah peraturan ini berlaku di semua restoran di Berlin, atau hanya di tempat-tempat tertentu saja.

Kembali ke Niko, kesempatan selanjutnya untuk memperoleh secangkir-dua kopi adalah di sebuah lokasi shooting yang lalu dikunjunginya bersama sang teman. Bisa secara gratis pula, mengingat bahwa di setiap lokasi shooting seperti itu selalu terdapat sebuah meja yang menyediakan minuman hangat macam kopi dan teh serta makanan kecil untuk kru film dan para pemainnya. Sayangnya, persediaan kopi di termos ternyata sudah habis. Termos baru yang penuh berisi kopi datang setelah Niko meninggalkan meja refreshment tersebut.

Harapan Niko untuk mendapatkan secangkir kopi gratis berikutnya adalah di restoran di sebuah golf putting greens tempat ia bertemu dengan ayahnya. Hanya saja, sang ayah, yang tampaknya suka sekali memegang kendali, berkeras bahwa hari sudah terlalu siang untuk minum kopi. Maka itu asisten sang ayah, atas perintah si ayah tentunya, membawakan mereka minuman beralkohol.

Pertemuan dengan ayah dipaksakan Niko sehubungan dengan tertelannya kartu ATM-nya. Aduh, ternyata gara-garanya karena sang ayah telah menutup rekening bank atas nama Niko. Rupanya ayah sudah tahu bahwa Niko telah meninggalkan bangku kuliahnya di fakultas hukum sejak dua tahun yang lalu. Tak sudi dirinya melanjutkan support keuangan kepada anak yang semula diharap menjadi pengacara namun telah berubah menjadi seorang lajang parasit. Sedikit uang diberikan si ayah sebelum beranjak pergi sebagai sebuah pemberian terakhir.

Malamnya, dengan kawan dari tadi siang Niko menghadiri sebuah performance art. Salah seorang performer-nya adalah seorang perempuan dari masa sekolah dasar Niko. Siang tadi mereka berjumpa di restoran. Pada pertemuan malam hari itu, telah terjadi sedikit konflik antara Niko dan kawan lama yang ternyata ‘berpengharapan’ padanya. Membuat Niko semakin membutuhkan kopinya. Malam sudah sangat larut ketika Niko akhirnya terdampar di sebuah bar yang sayangnya juga sudah tak lagi menyediakan kopi. Pilihan yang ada adalah minuman beralkohol. Mencoba mencerna berbagai kejadian yang terjadi di hari tanpa kopinya itu, tak ada hal lain yang diinginkannya selain daripada sendirian menikmati minumannya. Tapi, seorang kakek malah menghampirinya. Duduk di sebelahnya, dan meracaukan kekecewaannya akan hidup. Puas meracau, si kakek ambrug di depan pintu bar dan meninggal di rumah sakit dengan ditunggui Niko.

Sebagai adegan penutup dari film Oh Boy ini, ketika pagi yang lain sudah datang, Niko akhirnya berhasil duduk menghadapi secangkir kopi. Satu hari lagi dalam kehidupannya telah berlalu. Ia mungkin masih seorang pengangguran yang sama dengan yang kemarin, yang tak mempunyai arah dalam hidup. Tapi, setelah melalui berbagai kejadian di hari kemarin, di dalam tubuh itu mungkin sudah bukan lagi Niko yang sama.

Demikianlah bagaimana film Oh Boy menceritakan satu hari dalam kehidupan seorang Berliner bernama Niko Fischer, yang harus menjalani harinya tanpa kopi. Disebutkan bahwa film ini bergerak di antara melankoli dan humor. Dalam estetika gambar yang hitam-putih, ketiadaan nuansa warna-warna lain selain hitam, putih, dan abu-abu; sungguh mempertegas kemurungan yang ingin dihadirkan di seputar kehidupan Niko.

Adegan-adegan humor dalam film ini memang membuat orang tertawa. Tapi, kalau mau jujur, sebagian dari humor di sini adalah black humor. Misalnya saja, adegan ketika Niko tertangkap basah seorang gadis saat berusaha memancing kembali recehan yang tadi telah dicemplungkannya ke wadah uang milik gembel yang sedang tidur. Situasinya memang terlihat lucu, dan penonton pun terbahak. Tapi, untuk Niko, itu artinya sudahlah malu menyelubungi—mencuri dari gembel!?—ia harus rela tak mempunyai uang sepeser pun di kantongnya. §



Friday, August 8, 2014

72



Angka 72 (tujuh dua) bagi Nina kecil dulu itu, sampai ia berusia awal duapuluhan, adalah angka ajaib. Angka yang bagaikan kunci pembuka pintu ke dunia. Berkat angka tersebut, ia dan keluarganya dapat berhubungan dengan dunia luar. Pun cukup dilakukan dari rumah saja. Ah, ajaib sekali, bukan?

Tidak ajaib sih sebenarnya. Sebab, sesungguhnya 72 adalah nomor telepon di rumah Nina.

Pesawat telepon di rumah Nina itu bentuknya tidak seperti biasanya sebuah pesawat telepon rumahan. Normalnya kan sebuah pesawat telepon itu pada badannya terdapat angka mulai dari 1 sampai dengan 9, dan angka 0 (nol). Kalau dulu, angka tersebut tertata memutar pada sebuah piringan yang bisa berputar juga. Diposisikan di tengah badan pesawat. Pada masa berikutnya, piringan tersebut diganti dengan susunan tombol-tombol bernomor yang sama. Masih tetap beada di tengah badan pesawat telepon. Sementara pesawat telepon di rumah Nina dulu itu tidak mempunyai nomor sama sekali.

Pesawat telepon jaman dulu bentuknya masif dan mirip trapesium. Perangkat untuk mendengar dan berbicaranya, yang lumrahnya disebut sebagai gagang telepon, diletakan di bagian yang paling tinggi secara melintang. Pesawat telepon di rumah Nina itu juga masif dan berbentuk trapesium, tapi posisi gagang teleponnya diletakan secara membujur. Menempati bagian yang seharusnya tempat untuk piringan bernomor. Aku katakan seharusnya ya, karena piringan itu tidak ada sama sekali di badan pesawat yang bernomor 72 itu.

Adalah sebuah kesepakatan internasional bahwa antara satu telepon dengan telepon lainnya dapat berhubungan melalui sejumlah kode nomer. Jadi, seorang manusia yang hendak menghubungkan diri dan berbicara secara jarak jauh dengan temannya yang juga manusia, dia harus memutar nomor-nomor yang tertera di piringan tersebut sesuai dengan nomor telepon yang dituju. Nah, kalau pesawat teleponnya Nina tak mempunyai nomor-nomor untuk diputar, bagaimana donk caranya membuka jendela dunianya?

Nah, itu fungsi sepotong tuas atau alat engkol yang mencogok di sebelah kanan badan telepon di rumah Nina. Diputar saja, setelah itu angkat gagang telepon, tempelkan di telinga, dan tunggu.

"Trikora, selamat pagi/siang/malam," sebuah suara tegas akan menyapa ramah.

"Selamat pagi/siang/malam, saya mau nelpon ke nomer xxxxx," Nina akan menyahut seperti ini.

"Silahkan tunggu".

Tak lama disusul dengan, "Silahkan dengan nomor xxxxx-nya".

Dan, jendela dunia pun terbuka.

Kalau ada telepon masuk, pesawat telepon akan berdering. Bunyinya tidak seperti pesawat telepon biasa yang berdering dengan interval tertentu, tetapi deringan panjang-panjang yang tak menentu durasinya. Bila gagang telepon diangkat, akan terdengar suara tegas yang ramah itu.

"72, ada telepon masuk, silahkan".

Waktu Nina kecil, jangankan telepon genggam, telepon rumahan pun masih jarang dimiliki orang. Pada masa itu, telepon adalah salah satu dari lambang kemewahan sekaligus penanda status sosial seseorang. Bagi anak-anak usia sekolah dasar seumuran Nina waktu itu, siapa yang di rumahnya ada telepon, pasti dia anak orang kaya. Sekolah dasar Nina berada di daerah Menteng, dan temannya banyak yang berumah di daerah itu juga, daerah yang dipercaya sebagai daerah hunian orang-orang kaya. Ditandai dengan mobil-mobil bagus dan mewah, rumah-rumah gedong, dan, tentunya ada telepon. Nina juga punya telepon di rumah. Bedanya, tak tinggal di daerah Menteng, rumahnya bukan rumah gedong dan mobil-mobilnya semua mobil dinas ayahnya yang terdiri dari bermacam-macam jeep ganti berganti. Willys jeep Amerika,  gaz Rusia, sampai Toyota jeep Jepang. Semuanya bernomor militer. Ayahnya juga bukan militer dengan pangkat tinggi, tapi, pokoknya di rumah ada telepon. Di kompleks tempat tinggalnya, rumah keluarganya Nina merupakan satu-satunya rumah yang punya telepon. Kadang-kadang jadi bahan kesombongan sedikit kalau ada yang memuji. Ih bikin malu deh...

Di sekolah, teman-teman Nina yang punya telepon di rumah lalu tukar menukar nomor telepon. Termasuk Nina tentunya. Waktu itu mungkin Nina masih duduk di kelas dua sekolah dasar.

"Koq nomernya sedikit amat?" tanya temannya.

Waktu itu deretan angka nomor telepon memang tidak sepanjang sekarang, tapi tidak terlalu pendek juga. Terdiri dari 4 sampai 5 digit. Sementara nomer telepon Nina hanya dua digit. Itu sebab temannya rada tak percaya.

"Iya, itu sudah betul," jawab Nina yakin.

Beberapa hari kemudian sang teman protes. Sebab upayanya menelpon Nina ke nomor 72 tak kunjung berhasil. Nina tetap yakin bahwa tak ada yang salah dengan nomor telepon yang diberikannya. Pembicaraan selesai sampai di situ, tidak ada jalan keluar tapi ya sudah bukan masalah penting.

Memakan waktu dua-tiga tahun sampai Nina memahami situasi yang sebenarnya. Bahwa ternyata 72 itu bukan nomor telepon, melainkan nomor pesawat. Istilah yang sekarang lebih dikenal sebagai extention yang kalau disingkat ditulisnya ext., begitu—kalau kata ‘pesawat singkatannya adalah pes. atau psw.’. Karenanya, untuk bisa menghubungi pesawat atau extention 72, ada nomer telepon biasa yang harus dihubungi terlebih dahulu. Nomor tersebut akan tersambung ke sebuah pusat komunikasi atau sentral telepon yang berada di area yang bernama Trikora, di kompleks AURI (sekarang TNI-AU) Halim Perdanakusuma. Sentral telepon tersebut pun bernama Trikora, sebagaimana para operatornya mengidentifikasikan diri mereka bila dihubungi. Setelah si penelepon menyebutkan nomor pesawat yng diinginkan, operator akan menyambungkannya.

Ada empat atau lima nomor sentral Trikora dulu itu. Makanya, kalau Nina harus menuliskan nomor telepon sebagai pelangkap sebuah data diri, nomornya teleponnya ada beberapa. Disusul nomor pesawatnya, 72.

Rumah keluarga Nina dulu itu berada di daerah Polonia. Sementara sentral telepon Trikora berada di kompleks AURI Halim Perdanakusuma. Kenapa begitu? Ya karena begitu... Eh...

Ayah si Nina itu anggauta AURI tetapi karena alasan tertentu menolak untuk tinggal di kompleks Halim. Kebetulan dapat rumah di Polonia yang tak terlalu jauh dari Halim. Spesialisasi beliau adalah electro dan radio komunikasi. Dalam kapasitasnya itu, beliau dan mungkin dengan sesama anggauta AURI lainnya, membangun sentral telepon Trikora tersebut. Karena jasanya, maka, meski tak tinggal di Halim, beliau mempunyai hak untuk mendapatkan nomor pesawat Trikora.

Ah mungkin hitungannya bukan karena jasanya. Melainkan, karena ada kepentingannya dengan urusan kedinasan.

Urusan kedinasan yang juga boleh dipergunakan untuk urusan pribadi. Asal tahu diri. Kalau terlalu lama, pembicaraan telepon akan diselak oleh sang operator.

"Maaf, line teleponnya diperlukan. Pembicaraannya mohon diselesaikan," demikian kira-kira yang akan diucapkan oleh sang operator.

Sopan, tapi bisa membuat Nina merasa malu hati. Terlebih apabila dia sedang terlibat dalam sebuah percakapan tak penting tapi seru. Yang tak jarang dilengkapi dengan tertawa ngakag.

Mulanya Nina mengira bahwa teguran demikian disampaikan karena hubungan teleponnya adalah hubungan ke luar. Kan yang bayar tagihannya kedinasan, jadi nggak boleh donk lama-lama. Nanti AURI harus membayar mahal. Tapi, perkiraan itu salah adanya. Karena kalau sedang terima telepon masuk pun, apabila terlalu lama bicara, teguran akan masuk juga.

"Bukan karena urusan kedinasan harus bayar mahal atau tidak, tapi karena line-nya kan dibutuhkan banyak orang," jelas ayahnya Nina suatu kali.

Bahkan hubungan antara sesama nomor pesawat Trikora pun begitu juga adanya. Ketika duduk di bangku sekolah menengah atas, Nina mendapat teman-teman yang adalah anak-anak Halim. Sebagian di antaranya punya telepon Trikora juga, jadi bila hendak menghubungi mereka tinggal minta disambungkan ke nomor pesawatnya. Apabila kelamaan pun tegoran serupa segera masuk.

Pada awal 1980-an rumah Nina akhirnya berlangganan telepon telkom. Penggunaan telepon Trikora pun menurun drastis. Awalnya Nina masih memakainya untuk menghubungi teman-temannya di Halim. Tapi, lama kelamaan berhenti sama sekali. Melihat tak ada tanda-tanda kehidupan dari nomor 72 selama berbulan-bulan, mungkin pihak operator Trikora menjadi bertanya-tanya. Dan akhirnya suatu hari operator Trikora pun menghubungi 72 sebagai pemeriksaan. Telepon diterima oleh sang ayah. Pada saat yang bersamaan telepon telkom di rumah berdering. Sang operator Trikora pun segera memahami kenapa pesawat 72 tak lagi aktif. Tak lama, atas persetujuan keluarga, pesawat nomor 72 pun dicabut.

Pencabutan pesawat 72 terjadi sekitar tiga puluh tahun lalu. Namun, selama-lamanya Nina tidak akan pernah lupa dengan angka ajaib pembuka jendela dunia itu. §