Hari Kamis yang baru lalu, seorang kakek tergopoh-gopoh menghentikan
angkot. Beliau rapih berpeci
hitam, pakai baju koko, dan bersarung. Sandalnya sandal kulit. Saking tergopoh-gopohnya,
hampir saja beliau menabrak Nina yang hendak naik ke angkot yang sama. Jam saat itu menunjukkan sudah liwat dari pukul duabelas siang.
Angkot pun melaju, tapi baru
beberapa puluh meter mendadak
berhenti lagi. Padahal, tak ada calon penumpang yang hendak naik. Oh, ternyata kakek tadi yang bergegas
turun sambil menggumamkan sesuatu.
"Ah, dasar kakek-kakek, pikun dia! Dikiranya ini hari Jumat, sampai terburu-buru begitu sebab dikiranya sudah terlambat untuk Jumatan!" si supir
berceloteh.
Aaaah, begitu tokh! Hahahaha, tapi si supir itu tidak tahu kalau Nina yang mungkin belum setua kakek tadi itu bisa sama pikunnya.
Tiap Rabu pagi Nina kan mengajar untuk anak-anak marjinal di
sebuah tempat. Jadwalnya pagi jam 9. Satu malam Nina harus menyelesaikan
sebuah pekerjaan terlebih dahulu sehingga baru
bisa tidur saat pagi menjelang.
Kurang tidur dan lain-lain, paginya dengan
susah payah Nina bangkit dari
tempat tidur. Berangkat dengan sedikit gontai, rasanya capek banget. Mungkin mukanya sedikit pucat. Karena itu, sesampainya
di lokasi mengajar, ketika rekan
yang mengurus administrasi terbengong-bengong melihatnya, Nina pikir pasti karena mukanya yang mungkin terlihat rada-rada pucat itu.
"Komputernya sudah siap?” tanya Nina.
Hari Rabu itu rencananya murid-murid
hendak disuruh mengetik di komputer.
"Lho, memangnya Kak Nina ngajar hari
ini?" rekan yang
terbengong-bengong tadi menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
"Lha, iya kan. Rabu, kan," Nina
menjawab dengan heran.
"Kak, ini hari Selasa, kaaaak!!!"
Hahahaha, Nina langsung balik badan sambil ketawa-ketawa sendiri. “Sampai besok ya!” kata Nina tanpa
menegok lagi.
Kampred, maki Nina dalam hati. Padahal sudah bangun dengan susah payah begitu. Ternyata baru hari Selasa, bukan Rabu.
Dasar tidak teliti! Dan karena tidak ketidaktelitiannya itu, di tempat dia mengajar itu saja berkali-kali sudah Nina ketinggalan
berbagai barang yang, mungkin saja,
penting.
Pertama, telepon
genggam. Bagi Nina, piranti ini bukan
hanya untuk menelepon atau mengirimkan berita-berita singkat. Tapi juga berfungsi
untuknya menulis. Tiap ada kesempatan, pada saat situasinya memungkinkan, Nina akan mengeluarkan
telepon genggamnya dan mulai menulis di sana.
Pada suatu Rabu, pulang
mengajar seperti biasa, Nina jalan kaki ke stasiun. Seperti biasa juga, dia mampir di warteg
untuk makan siang. Sambil makan rencananya mau melanjutkan tulisan
yang sudah dimulai di telepon genggamnya itu. Tapi, astaga!, ternyata barang itu tidak ada di ransel! Sehabis makan yang tidak nyaman sebab cemas dengan keberadaan pirantinya itu, Nina
kembali ke tempat mengajar. Berharap
cemas bahwa memang di situlah telepon genggammnya tertinggal.
Selain telepon genggam, Nina pernah juga ketinggalan botol air minumnya di situ. Sampai dua kali tuh! Satu
kali sempat diambil kembali karena masih berada di sekitaran.
Terakhir kali disadari saat sudah terlalu jauh. Jadi baru bisa diambil minggu
depannya ketika datang untuk mengajar lagi. Yang pasti, di kedua waktu itu, Nina menyadari bahwa botol minumnya tidak ada adalah ketika ia hendak
minum dan tak menemukan botolnya di tempat yang seharusnya.
Botol air minum tersebut merupakan
produk dari sebuah merek terkenal yang konon memberikan garansi seumur hidup. Dibeli Nina sebagai pengganti
botol sejenis yang adalah pemberian dari seorang kakak sepupunya, gara-gara botol pemberian tersebut juga
tertinggal di suatu tempat. Kehilangannya yang baru disadari ketika hendak
minum juga. Botol pemberian tersebut sesungguhnya sih ditemukan oleh seorang temannya Nina. Dijanjikannya akan dikirim dengan paket. Tapi, mungkin
itu hanya janji yang mudah diucap
oleh mulut belaka. Makanya
akhirnya beli saja yang sama sebagai pengganti.
Ah, baiklah! Mari kita
lanjut!
Lupa dan linglung itu sebenarnya
sama nggak sih ya? Mungkin
rada sedikit berbeda. Soal botol dan
telepon genggam pastinya itu soal
lupa. Sementara salah hari kemungkinannya linglung. Yang di bawah ini pun pasti
linglung juga hitungannya.
Waktu masih ada pekerjaan di daerah Karet Tengsin, moda transpotasi
Nina adalah commuter line dengan rute Bogor-Tanah Abang dan sebaliknya. Yang kalau jam pulang bukan main padatnya!
Itu sebab, Nina selalu mencoba
sekuat tenaga bertahan untuk
tidak terseret masuk terlalu jauh
dari pintu. Sebab, untuk
menempuh jarak semeter menuju pintu kereta saja susahnya setengah mati.
Suatu hari, dalam sebuah perjalanan
pulang, begitu pintu kereta terbuka dan Nina siap melompat turun, segera disadarinya bahwa ia seharusnya turun
di stasiun berikut. Bukan di sini. Sempat terpikir untuk mengurungkan langkah turunnya, tapi sudah tak mungkin. Sebab,
dia berada di paling depan, dan desakan orang-orang yang hendak turun sudah mulai mendorongnya.
Terpaksa turun deh mengikuti
arus, dan lalu menunggu kereta berikut.
Satu lagi, masih berurusan dengan kereta nih! Kalau pulang dari galeri
yang di Pasar Baru itu kan Nina cenderung
menggunakan kereta terakhir dari
stasiun Juanda yang jadwalnya
pk. 23.36. Keretanya rute
Jakarta Kota-Bogor. Apabila
kereta termaksud ternyata masih dalam perjalanan menuju ke Jakarta Kota dari Bogor, dan belum pun meliwati stasiun Juanda, maka Nina bermaksud menunggunya di jalur satu—jalur yang
ke arah Jakarta Kota. Ikut jalan-jalan dulu ke sana bersama si kereta tujuan Bogor.
Kebiasaannya Nina adalah,
sambil meliwati tapping gate, dia akan bertanya pada pak satpam
di manakah kiranya posisi kereta berada.
"Paaak, keretanya sudah sampai di ma---".
Heg!!! Perut Nina menabrak besi palang dengan keras. Lumayan tuh rasa hantamannya di perut.
Rupanya, entah bagaimana, ia
lupa menyentuhkan tiket plastiknya di tapping
gate. Ya tentu saja palang di gate
tidak mau bergerak.
Gimana sih, katanya commuter sejati. Menempelkan tiket masuk saja bisa lupa. Hahahaha... §
No comments:
Post a Comment