Wednesday, August 27, 2014

Catatan si Kamoy: Hari tanpa Kopi untuk Niko


Oh Boy
Film cerita // 88 menit // Jerman, 2012
Sutradara: Jan Ole Gerster
Pemeran: Tom Schilling, Friederike Kempter, Marc Hosemann,
Katharina Schüttler, Justus von Dohnányi, Andreas Schröders, Arnd Klawitter, Martin Brambach,
Frederick Lau, Ulrich Noethen, Michael Gwisdek


German Cinema 2014 telah tiba! Nina yang di tahun ini mendadak menjadi penggemar film-film berbahasa yang-tak-dimengertinya, menyambutnya dengan gembira—oya, aku adalah Kamoy, kucing domestik Indonesia asli yang mencatat semua kegiatan Nina, peliharaanku. Sejumlah film dalam festival ini sudah ditontonnya. Ada beberapa film yang menjadi favoritnya, dan salah satunya adalah film hitam-putih dengan judul Oh Boy—satu-satunya film dengan nuansa hitam-putih dalam festival tersebut. Karya Jan Ole Gerster, seorang sutradara muda. Luar biasanya, film ini bukan saja merupakan sebuah debut film yang telah meraih sejumlah penghargaan internasional. Tapi juga karena sebenarnya merupakan film yang dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan yang harus dipenuhi Herr Gerster di sekolah film-nya.

Niko Fischer (diperankan oleh Tom Schilling), tokoh utama dalam film ini, sepertinya telah memulai suatu hari dalam kehidupannya dengan cara yang salah. Tak secangkir kopi pun diseruputnya di pagi hari itu. Kami bangsa kucing mungkin tidak akan pernah bisa memahami, mengapa secangkir kopi bisa sangat sedemikian berartinya bagi sesosok manusia. Tapi, peliharaanku si Nina, meski bukan peminum kopi sungguhan; tahu bahwa bagi seorang peminum kopi sejati, membuka hari tanpa secangkir kopi adalah sebuah kesalahan besar. Apalagi kalau sepanjang hari tak setetes pun dirimu tersiram kopi. Bisa dipastikan harimu akan suram adanya. Ah, manusia memang aneh!

Pagi itu, dengan terburu-buru Niko bersiap untuk meninggalkan rumah seorang perempuan—siapapun dia—yang sepertinya tak hendak ditemuinya lagi; setelah menghabiskan malam di situ. Mendadak menjadi canggung, ketika si perempuan terbangun dan seolah menangkap basah dirinya yang hendak kabur diam-diam. Tawaran sarapan terpaksa ditolaknya, yang berarti melewatkan kopi pagi yang penting, dan segera bergegas kembali ke apartemennya sendiri. Di mana dia menemukan bahwa dirinya hampir terlambat untuk memenuhi panggilan sebuah wawancara. Wawancara yang  menyangkut kemungkinan penangguhan sim-nya akibat menyetir di bawah pengaruh alkohol.

Pewawancaranya adalah seorang psikolog yang cukup sok tahu dan menyebalkan. Model petugas yang sadar dengan kekuatannya, yang tahu betul bahwa tangannya dapat menentukan nasib orang lain. Kekuatan yang tanpa ragu dipakainya ketika Niko terkena jebakan kata-katanya waktu wawancara berlangsung. Dapat dipastikan, pertemuan berakhir dengan kenyataan bahwa surat ijin mengemudinya positif ditangguhkan.

Sepulang dari wawancara, Niko mampir ke kedai kopi. Siapa tahu secangkir kopi hangat yang tertunda dapat membasuh perasaan tak enak di hati gara-gara wawancara nan apes tadi. Sayang, kamu belum beruntung, Niko! Nona penjaga kedai terlalu banyak punya kata-kata untuk menawarkan dagangannya termasuk kopi, tapi tak mampu memberi rekomendasi kopi mana yang terbaik untuknya. Secara acak saja Niko memilih jenis kopinya, sebab baginya yang penting adalah minum kopi terserah jenisnya! Apa lacur, setelah kopi terhidang, recehan logam di kantong tak cukup sebagai pembayar. Harganya di luar perhitungan Niko. Mungkin karena kopinya impor ya... Tak diperkenankan membayar seadanya, Niko meninggalkan kedai dengan tangan hampa. Tujuannya, anjungan tunai mandiri (ATM). Namun, alih-alih mendapat uang kartu ATM-nya malah tertelan mesin. Padahal, recehannya tadi sudah terlanjur didermakan ke seorang gembel. Terlintas niat untuk menarik dermanya kembali, tapi pandangan tajam pengguna ATM lain menghentikannya.

Sekembalinya ke apartemen dengan saku kosong, Niko terpaksa menemani seorang mesin bicara lain. Tetangga dengan persoalan rumah tangga yang sangat kepepet perlu teman curhat. Entah kenapa Niko tak bisa menolaknya. Untung lalu ada ajakan seorang teman buat ke luar rumah. Lumayan lah, siapa tahu dengan bermobil di seputar kota Berlin hatinya yang suram bisa tercerahkan. Menemani sang teman makan, Niko memesan secangkir kopi. Tak ada uang di kantong, tapi kan sang teman bisa mentraktir lho. Apalah artinya tambahan kopi barang secangkir. Apa daya waktu ngopi di restoran itu sudah lewat. Hmmm..., sebuah pengetahuan baru nih untuk Nina. Bahwa, di kota Berlin ada restoran yang pada jam-jam tertentu tak lagi menerima pesanan kopi. Entah apakah peraturan ini berlaku di semua restoran di Berlin, atau hanya di tempat-tempat tertentu saja.

Kembali ke Niko, kesempatan selanjutnya untuk memperoleh secangkir-dua kopi adalah di sebuah lokasi shooting yang lalu dikunjunginya bersama sang teman. Bisa secara gratis pula, mengingat bahwa di setiap lokasi shooting seperti itu selalu terdapat sebuah meja yang menyediakan minuman hangat macam kopi dan teh serta makanan kecil untuk kru film dan para pemainnya. Sayangnya, persediaan kopi di termos ternyata sudah habis. Termos baru yang penuh berisi kopi datang setelah Niko meninggalkan meja refreshment tersebut.

Harapan Niko untuk mendapatkan secangkir kopi gratis berikutnya adalah di restoran di sebuah golf putting greens tempat ia bertemu dengan ayahnya. Hanya saja, sang ayah, yang tampaknya suka sekali memegang kendali, berkeras bahwa hari sudah terlalu siang untuk minum kopi. Maka itu asisten sang ayah, atas perintah si ayah tentunya, membawakan mereka minuman beralkohol.

Pertemuan dengan ayah dipaksakan Niko sehubungan dengan tertelannya kartu ATM-nya. Aduh, ternyata gara-garanya karena sang ayah telah menutup rekening bank atas nama Niko. Rupanya ayah sudah tahu bahwa Niko telah meninggalkan bangku kuliahnya di fakultas hukum sejak dua tahun yang lalu. Tak sudi dirinya melanjutkan support keuangan kepada anak yang semula diharap menjadi pengacara namun telah berubah menjadi seorang lajang parasit. Sedikit uang diberikan si ayah sebelum beranjak pergi sebagai sebuah pemberian terakhir.

Malamnya, dengan kawan dari tadi siang Niko menghadiri sebuah performance art. Salah seorang performer-nya adalah seorang perempuan dari masa sekolah dasar Niko. Siang tadi mereka berjumpa di restoran. Pada pertemuan malam hari itu, telah terjadi sedikit konflik antara Niko dan kawan lama yang ternyata ‘berpengharapan’ padanya. Membuat Niko semakin membutuhkan kopinya. Malam sudah sangat larut ketika Niko akhirnya terdampar di sebuah bar yang sayangnya juga sudah tak lagi menyediakan kopi. Pilihan yang ada adalah minuman beralkohol. Mencoba mencerna berbagai kejadian yang terjadi di hari tanpa kopinya itu, tak ada hal lain yang diinginkannya selain daripada sendirian menikmati minumannya. Tapi, seorang kakek malah menghampirinya. Duduk di sebelahnya, dan meracaukan kekecewaannya akan hidup. Puas meracau, si kakek ambrug di depan pintu bar dan meninggal di rumah sakit dengan ditunggui Niko.

Sebagai adegan penutup dari film Oh Boy ini, ketika pagi yang lain sudah datang, Niko akhirnya berhasil duduk menghadapi secangkir kopi. Satu hari lagi dalam kehidupannya telah berlalu. Ia mungkin masih seorang pengangguran yang sama dengan yang kemarin, yang tak mempunyai arah dalam hidup. Tapi, setelah melalui berbagai kejadian di hari kemarin, di dalam tubuh itu mungkin sudah bukan lagi Niko yang sama.

Demikianlah bagaimana film Oh Boy menceritakan satu hari dalam kehidupan seorang Berliner bernama Niko Fischer, yang harus menjalani harinya tanpa kopi. Disebutkan bahwa film ini bergerak di antara melankoli dan humor. Dalam estetika gambar yang hitam-putih, ketiadaan nuansa warna-warna lain selain hitam, putih, dan abu-abu; sungguh mempertegas kemurungan yang ingin dihadirkan di seputar kehidupan Niko.

Adegan-adegan humor dalam film ini memang membuat orang tertawa. Tapi, kalau mau jujur, sebagian dari humor di sini adalah black humor. Misalnya saja, adegan ketika Niko tertangkap basah seorang gadis saat berusaha memancing kembali recehan yang tadi telah dicemplungkannya ke wadah uang milik gembel yang sedang tidur. Situasinya memang terlihat lucu, dan penonton pun terbahak. Tapi, untuk Niko, itu artinya sudahlah malu menyelubungi—mencuri dari gembel!?—ia harus rela tak mempunyai uang sepeser pun di kantongnya. §



No comments:

Post a Comment