Oh
Boy
Film cerita // 88 menit // Jerman, 2012
Sutradara: Jan Ole
Gerster
Pemeran: Tom
Schilling, Friederike Kempter, Marc Hosemann,
Katharina Schüttler, Justus von Dohnányi, Andreas Schröders, Arnd Klawitter,
Martin Brambach,
Frederick Lau, Ulrich Noethen, Michael Gwisdek
German Cinema 2014 telah
tiba! Nina yang di tahun ini mendadak menjadi penggemar film-film berbahasa
yang-tak-dimengertinya, menyambutnya dengan gembira—oya, aku adalah Kamoy, kucing
domestik Indonesia asli yang mencatat semua kegiatan Nina, peliharaanku. Sejumlah
film dalam festival ini sudah ditontonnya. Ada beberapa film yang menjadi
favoritnya, dan salah satunya adalah film hitam-putih dengan judul Oh Boy—satu-satunya film dengan nuansa
hitam-putih dalam festival tersebut. Karya Jan Ole Gerster, seorang sutradara
muda. Luar biasanya, film ini bukan saja merupakan sebuah debut film yang telah meraih sejumlah penghargaan internasional. Tapi
juga karena sebenarnya merupakan film yang dibuat untuk memenuhi syarat
kelulusan yang harus dipenuhi Herr Gerster di sekolah film-nya.
Niko Fischer (diperankan oleh Tom Schilling), tokoh utama dalam film ini,
sepertinya telah memulai
suatu hari dalam kehidupannya
dengan cara yang salah. Tak secangkir kopi pun diseruputnya di pagi hari
itu. Kami bangsa kucing mungkin tidak akan pernah bisa memahami, mengapa
secangkir kopi bisa sangat sedemikian berartinya bagi sesosok manusia. Tapi, peliharaanku
si Nina, meski bukan peminum kopi sungguhan; tahu bahwa bagi seorang peminum
kopi sejati, membuka hari tanpa secangkir kopi adalah sebuah kesalahan besar.
Apalagi kalau sepanjang hari tak setetes pun dirimu tersiram kopi. Bisa
dipastikan harimu akan suram adanya. Ah, manusia memang aneh!
Pagi itu, dengan terburu-buru
Niko bersiap untuk meninggalkan rumah
seorang perempuan—siapapun dia—yang sepertinya tak hendak ditemuinya lagi; setelah menghabiskan malam di
situ. Mendadak menjadi canggung, ketika
si perempuan terbangun dan seolah menangkap basah dirinya yang hendak kabur
diam-diam. Tawaran sarapan terpaksa ditolaknya, yang berarti melewatkan kopi pagi
yang penting, dan segera bergegas kembali ke apartemennya sendiri. Di mana dia
menemukan bahwa dirinya hampir terlambat untuk memenuhi panggilan sebuah wawancara.
Wawancara yang menyangkut kemungkinan penangguhan
sim-nya akibat menyetir di bawah pengaruh alkohol.
Pewawancaranya adalah seorang
psikolog yang cukup sok tahu dan menyebalkan.
Model petugas yang sadar dengan kekuatannya, yang tahu betul bahwa tangannya dapat
menentukan nasib orang lain. Kekuatan yang tanpa ragu dipakainya ketika Niko
terkena jebakan kata-katanya waktu wawancara berlangsung. Dapat dipastikan, pertemuan
berakhir dengan kenyataan bahwa surat ijin mengemudinya positif ditangguhkan.
Sepulang dari wawancara,
Niko mampir ke kedai kopi. Siapa tahu secangkir kopi hangat yang tertunda dapat
membasuh perasaan tak enak di hati gara-gara wawancara nan apes tadi. Sayang,
kamu belum beruntung, Niko! Nona penjaga kedai terlalu banyak punya kata-kata
untuk menawarkan dagangannya termasuk kopi, tapi tak mampu memberi rekomendasi
kopi mana yang terbaik untuknya. Secara acak saja Niko memilih jenis kopinya,
sebab baginya yang penting adalah minum kopi terserah jenisnya! Apa lacur,
setelah kopi terhidang, recehan logam di kantong tak cukup sebagai pembayar.
Harganya di luar perhitungan Niko. Mungkin karena kopinya impor ya... Tak
diperkenankan membayar seadanya, Niko meninggalkan kedai dengan tangan hampa.
Tujuannya, anjungan tunai mandiri (ATM). Namun, alih-alih mendapat uang kartu
ATM-nya malah tertelan mesin. Padahal, recehannya tadi sudah terlanjur didermakan
ke seorang gembel. Terlintas niat untuk menarik dermanya kembali, tapi pandangan
tajam pengguna ATM lain menghentikannya.
Sekembalinya ke apartemen dengan
saku kosong, Niko terpaksa menemani seorang mesin bicara lain. Tetangga dengan
persoalan rumah tangga yang sangat kepepet
perlu teman curhat. Entah kenapa Niko tak bisa menolaknya. Untung lalu ada
ajakan seorang teman buat ke luar rumah. Lumayan lah, siapa tahu dengan bermobil
di seputar kota Berlin hatinya yang suram bisa tercerahkan. Menemani sang teman
makan, Niko memesan secangkir kopi. Tak ada uang di kantong, tapi kan sang teman bisa mentraktir lho. Apalah artinya tambahan kopi barang
secangkir. Apa daya waktu ngopi di
restoran itu sudah lewat. Hmmm..., sebuah pengetahuan baru nih untuk Nina. Bahwa, di kota Berlin ada restoran yang pada
jam-jam tertentu tak lagi menerima pesanan kopi. Entah apakah peraturan ini
berlaku di semua restoran di Berlin, atau hanya di tempat-tempat tertentu saja.
Kembali ke Niko, kesempatan
selanjutnya untuk memperoleh secangkir-dua kopi adalah di sebuah lokasi shooting yang lalu dikunjunginya bersama
sang teman. Bisa secara gratis pula, mengingat bahwa di setiap lokasi shooting seperti itu selalu terdapat
sebuah meja yang menyediakan minuman hangat macam kopi dan teh serta makanan
kecil untuk kru film dan para pemainnya. Sayangnya, persediaan kopi di termos
ternyata sudah habis. Termos baru yang penuh berisi kopi datang setelah Niko
meninggalkan meja refreshment
tersebut.
Harapan Niko untuk mendapatkan
secangkir kopi gratis berikutnya adalah di restoran di sebuah golf putting greens tempat ia bertemu
dengan ayahnya. Hanya saja, sang ayah, yang tampaknya suka sekali memegang
kendali, berkeras bahwa hari sudah terlalu siang untuk minum kopi. Maka itu asisten
sang ayah, atas perintah si ayah tentunya, membawakan mereka minuman
beralkohol.
Pertemuan dengan ayah
dipaksakan Niko sehubungan dengan tertelannya kartu ATM-nya. Aduh, ternyata
gara-garanya karena sang ayah telah menutup rekening bank atas nama Niko. Rupanya
ayah sudah tahu bahwa Niko telah meninggalkan bangku kuliahnya di fakultas
hukum sejak dua tahun yang lalu. Tak sudi dirinya melanjutkan support keuangan kepada anak yang semula
diharap menjadi pengacara namun telah berubah menjadi seorang lajang parasit.
Sedikit uang diberikan si ayah sebelum beranjak pergi sebagai sebuah pemberian
terakhir.
Malamnya, dengan kawan dari
tadi siang Niko menghadiri sebuah performance
art. Salah seorang performer-nya adalah
seorang perempuan dari masa sekolah dasar Niko. Siang tadi mereka berjumpa di
restoran. Pada pertemuan malam hari itu, telah terjadi sedikit konflik antara Niko
dan kawan lama yang ternyata ‘berpengharapan’ padanya. Membuat Niko semakin
membutuhkan kopinya. Malam sudah sangat larut ketika Niko akhirnya terdampar di
sebuah bar yang sayangnya juga sudah tak lagi menyediakan kopi. Pilihan yang
ada adalah minuman beralkohol. Mencoba mencerna berbagai kejadian yang terjadi
di hari tanpa kopinya itu, tak ada hal lain yang diinginkannya selain daripada sendirian
menikmati minumannya. Tapi, seorang kakek malah menghampirinya. Duduk di
sebelahnya, dan meracaukan kekecewaannya akan hidup. Puas meracau, si kakek ambrug
di depan pintu bar dan meninggal di rumah sakit dengan ditunggui Niko.
Sebagai adegan
penutup dari film Oh Boy ini, ketika
pagi yang lain sudah datang, Niko akhirnya berhasil duduk menghadapi secangkir
kopi. Satu hari lagi dalam kehidupannya telah berlalu. Ia mungkin masih seorang
pengangguran yang sama dengan yang kemarin, yang tak mempunyai arah dalam hidup.
Tapi, setelah melalui berbagai kejadian di hari kemarin, di dalam tubuh itu mungkin
sudah bukan lagi Niko yang sama.
Demikianlah bagaimana film Oh Boy menceritakan satu hari dalam kehidupan
seorang Berliner bernama Niko Fischer, yang harus menjalani harinya tanpa kopi.
Disebutkan bahwa film ini bergerak di antara melankoli dan humor. Dalam
estetika gambar yang hitam-putih, ketiadaan nuansa warna-warna lain selain hitam,
putih, dan abu-abu; sungguh mempertegas kemurungan yang ingin dihadirkan di
seputar kehidupan Niko.
Adegan-adegan humor dalam
film ini memang membuat orang tertawa. Tapi, kalau mau jujur, sebagian dari
humor di sini adalah black humor.
Misalnya saja, adegan ketika Niko tertangkap basah seorang gadis saat berusaha
memancing kembali recehan yang tadi telah dicemplungkannya ke wadah uang milik gembel
yang sedang tidur. Situasinya memang terlihat lucu, dan penonton pun terbahak.
Tapi, untuk Niko, itu artinya sudahlah malu menyelubungi—mencuri dari gembel!?—ia
harus rela tak mempunyai uang sepeser pun di kantongnya. §
No comments:
Post a Comment