Tuesday, July 22, 2014

Nikmatnya Makan di Tengah Sungai



Pada masa kuliah dulu, ceritanya Nina ikutan kelompok pecinta alam di universitasnya. Sebelum resmi menjadi anggauta kelompok itu, ada serangkaian latihan yang harus dijalani. Mendaki tebing, mendayung, pertolongan pertama pada kecelakaan, praktek arung jeram, dan sejenisnya. Berbagai perjalanan pun harus dilakoni. Merambah gunung, menyusuri pantai, menjelajah daerah pedalaman, mengarungi lautan.

Status sebagai calon anggota (disebut ca-ang) disandang sekitar setengah tahun lamanya. Hampir setiap minggu diisi dengan kegiatan, tepatnya pada akhir minggu. Perjalanan-perjalanan juga selalu disesuaikan dengan jadwal perkuliahan. Pada waktu libur pergantian semester yang berlangsung cukup panjang, diadakanlah perjalanan menjelajah ke pedalaman yang populernya disebut sebagai perjalanan panjang. Waktunya selama sekitar dua minggu, dengan tujuan daerah Banten selatan termasuk perkampungan Baduy dalam.

Tersebutlah salah satu teman Nina sesama ca-ang pada waktu itu, almarhum Budi Belek. Orangnya lumayan jago masak untuk ukuran per-kemping-an, dan selalu membawa perlengkapan memadai untuk memasak. Termasuk pan teflon yang anti lengket itu.

Dalam perjalanan panjang tersebut, pada suatu hari, sekelompok peserta sejenak beristirahat melepas lelah di sebuah sungai kecil. Menurunkan carrier (ransel besar) supaya punggung bisa beristirahat unutk sementara waktu. Menikmati udara sejuk dan bersih, sambil bemain di bebatuan besar pada sungai yang berair jernih tersebut. Asyik sekali!

Bang Belek ada di antara mereka. Dia duduk dengan nyamannya di batu besar yang berada di tengah-tengah sungai. Kedua kakinya terendam di air sungai, dan pancaran wajahnya memperlihatkan perasaan senangnya. Lalu, dengan santai ia mengeluarkan peralatan masak, beras, daging kalengan, dan sekedar bumbu. Selesai nasi ditanak, dibukanya kaleng dan lalu mengolahnya dengan nasi yang baru tanak tersebut. Lalu, ya makanlah dia dengan nikmatnya.

Sementara Nina dan yang lain terus saja asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang tidur-tidur ayam, main-main air, bengong-bengong bego. Kalau Nina tak salah ingat, waktunya memang bukan jam makan makanya yang lain santai saja.

"Gue udah masak banyak gini, nggak ada yang mau ikutan makan nih?" Bang Belek bertanya.

Wah, boleh juga tuh, pikir Nina. Meskipun tak lapar-lapar amat, ia lalu menawarkan perutnya untuk berpartisipasi.

"Gue mau, deh!" katanya.

"Jangan, Mat!" sergah pak dokter B.

Pak dokter B bukan anggauta klub, bukan juga ca-ang. Keikutsertaannya kalau tidak salah adalah karena perjalanan panjang ini juga ada bhakti sosial kesehatannya. Kalau Nina tidak salah ingat, ya begitulah. Sedangkan adik perempuan pak dokter yang juga ikut merupakan salah seorang ca-ang seperti Nina.

Nina, yang di masa kuliah lebih dikenal sebagai  Mamat, tak mengacuhkan larangan pak dokter B. Ia tak paham kenapa pak dokter melontarkan larangan, pun tak merasa perlu untuk bertanya. Segera saja dihampirinya Bang Belek dengan penuh semangat. Peralatan makan kempingnya erat di tangan. Sedap nian makan di atas batu di tengah sungai bening begitu! Dimasakin pula!

Selesai makan, semua siap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Dengan cemberut, pak dokter mendekati Nina.

"Belek tadi kan masak daging babi kalengan. Koq makanan haram dimakan sih!" gerutu pak dokter yang dari tadi sejak Nina ikutan makan memasang wajah cemberut.

Lhooo! Pantas saja tidak ada yang mau makan masakannya Bang Belek. Abang kita yang sudah almarhum ini kebetulan Nasrani, jadi tak soal baginya untuk makan daging babi. Sementara, Nina tak menyadari bahwa makanan tadi adalah haram adanya—kalau tahu pun mungkin tetap saja dimakannya.

"Wah, pantesan enak!" jawab Nina ngasal.

Pak dokter B semakin cemberut.

Rombongan melanjutkan perjalanan di medan yang terdiri dari tanah merah padat yang licin. Berjalan tepat di belakang Nina adalah pak dokter B yang sesekali masih saja mengomeli Nina soal makan tadi. Hihi..., sepertinya pak dokter sengaja mengambil posisi di belakang Nina deh, supaya si adik nakal itu bisa terus dimarahi sampai yang memarahinyai bosan, atau puas.

Ketika jalan setapak sudah menjadi tanjakan, tiba-tiba Nina terpeleset dan jatuh tertelungkup.

"Astagafirulaaaaaah..." jerit Nina.

"Hei, habis makan daging babi jangan sebut-sebut nama Allah!" sergah pak doker B.

"Aduh, tolongin gue bangkit donk, dokter B!" kata Nina.

Posisi Nina lumayan ribed. Sudahlah jatuh tertelungkup di tanjakan licin, tertimpa pula dengan ransel besar ukuran 30-40 liter. Jadi, perlu ada teman yang membantu untuk bisa berdiri.

"Nggak mau! Rasain! Siapa suruh tadi makan daging babi," tolak pak dokter dengan nada puas.

Sambil berkata demikian, sang dokter yang tak punya niat membantu Nina untuk berdiri itupun meneruskan langkahnya. Meninggalkan Nina yang tengkurap tanpa daya di tanah, terjepit di antara muka bumi dan ransel besarnya.

Mendengar omelan-omelan pak dokter yang telah berlalu itu, alih-alih sebal, Nina malah menjadi tergelak-gelak. Perutnya sampai sakit karena tertawa, dan makin hilang saja tenaganya untuk bangkit berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. §

Terdampar di Nobar

Hari baru sudah mulai terang, meski matahari masih tersembunyi di balik awan kelabu. Malu-malu menyemburatkan sinar jingganya. Nina duduk termangu di stasiun Juanda. Waktu sudah menunjukkan pk. 05.51, tapi kereta pertama menuju selatan yang jadwalnya—konon—pk. 05.41 masih belum juga muncul. Duh, berat nian terasa mata Nina. Sejak semalam, jangankan tidur, pulang saja belum dia itu. Tinggal kini tersiksa kantuk. Ingin cepat-cepat tiba di rumah dan segera memeluk bantal.

Demikianlah kalau membiarkan diri terpengaruh kawan. Padahal, biasanya mana hirau ia dengan yang namanya pertandingan bola kaki. Meskipun itu pertandingan sekelas piala dunia nan diadakan hanya sekali dalam empat tahun itu.

Hari Minggu itu, sebab merasa bosan di rumah, sore menjelang magrib ia ngeloyor ke galeri yang mencogok di tepian kali Pasar Baru, Jakarta Pusat. 

Mau melanjutkan riset-riset internet yang kau tugaskan kepadaku untuk tulisan-tulisanmu, Moy,” demikian Nina beralasan kepadaku. 

Padahal, aku tahu dia juga hendak menumpang nonton TV kabel. 

Sesampainya di sana, satu orang kawan berkabar bahwa liwat tengah malam nanti akan ada nobar (nonton bareng) final kejuaraan bola kaki piala dunia.

"Hayo ikut nobar, Mak!' kata kawan itu.

Final Jerman lawan Argentina ya...

"Hmmmmm...," Nina, yang biasa dipanggil Emak oleh banyak pewarta foto, menjawab ragu-ragu. "Lihat mood nanti sajalah".

Tapi kawan itu segera berkata bahwa dia sendiri mungkin tidak ikutan nonton. Sepertinya dia ada liputan di tempat lain. Maklum pewarta foto. Atau, barangkali dia mau langsung pulang ke rumah dan tidur menemani anaknya.

Sempat terombang-ambing antara ikutan nobar atau tidak, akhirnya dua kali Nina menetapkan untuk ikut. Pertama, diputuskannya sekitar jam sepuluh malam gara-gara dikiranya salah satu teman akrabnya dari biro foto Antara bakal nobar juga. Ketika kemudian terasa mengantuk, dia berpikir mungkin ada baiknya bila pulang saja. Tapi, ups, terlambat! Sudah hampir pukul dua belas tengah malam. Kereta terakhir sudah berlalu setengah jam yang lalu. Ya sudah, nobar sajalah... (memang tak ada pilihan hahaha...). 

Nobar diadakan di bagian kafe-nya galeri. Ada layar proyektor yang akan mengakomodasi penonton. Akomodasi lainnya adalah temat duduk tak bernomor. Tersedia juga gelaran tikar lampit di atas panggung yang tingginya sekitar setengah meter dari lantai. Mengenai konsumsi, beli sendiri-sendiri sesuai selera. Nina beli emping dan mengeluarkan makanan survival-nya, korma. Minumnya terutama air putih, Ditambah pesan kopi Aceh beberapa kali ke barrista-nya kafebesoknya perutnya rada diare sebab kebanyakan minum kopi tuh! 

Awalnya menjadi penonton golput sebab tak punya favorit, meskipun ada teman dari sudut pergaulan lain yang memaksanya untuk berdoa agar Jerman menang. Karena itu, ke mana pun bola mengarah ya terserah saja. Ke gawang siapapun bola melambung, disemangatinya tanpa pandang bulu. Kegagalan-kegagalan gol dari grup mana saja sama dikeluhkannya tanpa membeda-bedakan. Pokoknya, sama rata! Awalnya sih dengan enteng saja sorakan dan keluhan dikeluarkan. Lama-lama jadi ikut tegamg, meskipun masih golput juga.

Tapi, ketakhadiran gol dalam waktu yang sangat lama akhirnya melelahkan Nina juga. Pada putaran kedua, di tengah pertandingan, ia pun tak tahan lagi dan sempat tertidur di atas tikar lampit. Meski hanya sekitar 10-15 menit, lumayanlah membayar kantuk. 

Malam itu, bahkan sampai waktu perpanjangan kedua dimulai, belum ada satupun telur yang pecah.

"Bisa-bisa jadi tos-tosan nih. Kalau ya, bakal seru dan menegangkan banget pastinya," pikir Nina setengah berharap.

Tapi, harapan Nina yang hanya setengah itu sama sekali tak terkabulkan. Beberapa menit menjelang berakhirnya waktu perpanjangan kedua, Jerman berhasil menyarangkan bola di gawang Brazil.

1-0!!! 

Score ini bertahan sampai pertandingan berakhir. Sebagaimana yang diketahui oleh semua orang di dunia yang menonton pertandingan final tersebut. Atau, mungkin mendengarnya melalui siaran berita kemudiannya.

Menurut Nina, pertandingan sepakbola itu selalu penuh dengan drama. Ada jegal-jegalan, ada yang pura-pura kesakitan meskipun banyak yang kesakitan betulan sehabis berbenturan dengan pemain lawan, dan sejenisnya. Drama begitu yang menurut Nina sangat menyebalkan untuk ditonton. Mungkin salah satu sebab dari ketidaksukaan Nina pada sepakbola adalah drama-drama tersebut. Padahal, waktu masih di sekolah menengah tingkat atas, waktu anak laki-laki di kelasnya bertanding iseng-iseng dengan kelas lain, Nina suka ikutan nimbrung walaupun tak pandai bermain. Bahkan ketka kuliah, Nina merupakan salah satu anggota tim sepakbola putri fakultasnya. Gara-gara dia suka olahraga, dan nggak ada pilihan lain lagi sih hehe...

Selain drama-drama, takhayul-takhayul yang beredar di dunia persebakbolaan juga cukup membuatnya sering menepuk jidad. Konon katanya, setiap pertandingan pasti ada kutukan-kutukannya tersendiri. Dalam piala dunia, misalnya, disebutkan bahwa Brazil tak pernah berhasil merebut gelar juara dunia apabila bertanding di kandangnya sendiri. Lalu, ada juga kepercayaan bahwa Eropa tak bisa menjadi juara apabila pertandingan digelar di benua Amerika. Kepercayaan yang lalu luruh sebab Jerman yang melawan Argentina dalam final 2014 ini keluar sebagai pemenangmya.

Hal-hal di atas adalah perkataan beberapa orang penggila bola yang sempat nyangkut di telinga Nina. Buat Nina sendiri, ya terserah saja. Dan ternyata ikut-ikutan nobar seru juga. Asyik rasanya melihat teman yang kegirangan karena jagoannya menang, atau yang sebaliknya sedih karena unggulannya kalah. Lumayan sesuatulah!

Tinggal mengantuknya nih yang tak tahan. Tak tidur semalaman lalu terkena cahaya pagi sangatlah tidak nyaman. Apalagi kereta yang mengantar pulang, karena cukup kosong, AC-nya terasa dingin sekali! Tengah menahan kelopak mata agar tak jatuh menutup, sebab kalau jatuh tertidur bisa-bisa terbawa kereta sampai ke Bogor, sebuah pemikiran tiba-tiba melintas di kepala Nina.

Empat tahun lalu, di masa ketika kejuaraan yang sama sedang berlangsung di Afrika Selatan, beredar sebuah lagu yang bagai tak pernah berhenti bergaung. Waktu itu kami masih tinggal di lantai tiga rumah susun Tanah Abang dan lagu tersebut bagai tak henti terdengar dari delapan penjuru angin sampai ke lantai rusun kami. Awalnya tak mengerti, tapi lalu adiknya Nina menjelaskan bahwa lagu itu adalah Waka Waka (This Time for Africa). Lagu resmi piala dunia 2010 yang dinyanyikan oleh Shakira, musisi asal negara Colombia.

Tak cukup dengan pendedangannya, status-status teman-teman Nina di FB pun sering berbunyi Waka Waka. Misalnya, "Wah, sakit leher nih gara-gara kebanyakan waka-waka tiap malam". Awalnya bingung, Nina akhirnya paham bahwa maksudnya ternyata adalah si kawan itu sakit leher sebab tiap malam nonton pertandingan bola piala dunia melulu.

Sedemikiannya maraknya lagu tema piala dunia 2010 tersebut. Sampai-sampai Nina tahu juga meski sama sekali tak pernah menonton pertandingannya. Sementara, koq sepertinya pada 2014 ini tak terdengar gaung dari lagu resminya ya...

"Hmmm... Atau, mungkin aku saja yang tidak tahu ya, Moy," kata Nina sebelum akhirnya jatuh terlelap membayar tidur yang tertunda gara-gara nobar di luar rencana itu.





Monday, July 21, 2014

9 Juli 2014 nan Bersejarah


Untuk ikut menggunakan hak suaranya dalam sebuah pemilu, termasuk pemilihan capres-cawapres 2014 yang baru saja berlalu, Nina tidak bisa melakukannya secara sambil lalu. Maksudnya ya, pada hari H-nya dia tidak bisa santai-santai dulu di rumah pada pagi harinya, yang lalu, ketika sudah tak terlalu malas, baru berangkat. Jalan lenggang kangkung ke tempat pemungutan suara (TPS) tujuan, dengan hanya memakai sandal dan cuma menggengam hape. Tidak, dia tidak bisa santai begitu. Sebab, TPS di mana Nina terdaftar berada jauh nun di sana. Meski kini berdiam di wilayah Pasar Minggu, resminya Nina itu kan penduduk sebuah daerah di ujungnya Jakarta bagian selatan. Yaitu, di Bintaro. Dekat dengan garis perbatasan antara propinsi DKI Jakarta dan Banten.

Sebab yakin bahwa pemilihan capres-cawapres 2014 ini sangat penting, maka Nina memantapkan hati untuk ikutan. Mengingat lokasi TPS tujuan cukup jauh, perjalanan harus dirancang dengan seksama. Jam keberangkatan harus direncanakan dengan baik, dan harus cukup pagi. Paling telat harus berangkat dari rumah pada jam tujuh pagi. Pokoknya, harus harus harus! Perjalanan diperkirakan akan memakan waktu sekitar satu jam, apabila tak macet, melalui jalan tol.

Moda transportasi yang akan dipergunakan juga harus dipersiapkan dengan matang. Tak terlalu berpikir banyak, dan ngapain juga sih lama-lama mikirinnya, diputuskan bahwa taksi adalah yang paling tepat. Pasti menjamin kelancaran perjalanan penting tersebut. Kalau naik angkot, pasti repot naik-turun gonta-ganti. Sudah pasti akan memakan waktu lebih lama, berputar-putar tak keruan entah lewat mana saja. Tentu bakal ribed, demikian Nina berpikir.

Hati Nina menjadi cukup tenteram setelah mencapai keputusan-keputusan di atas. Waktu itu masih tak ada terbaca tanda-tanda kehadiran panggilan resmi untuk mencoblos, sehingga hatinya galau bukan buatan. Tanpa panggilan, Nina terpaksa harus menjadi pemilih bermodalkan KTP. Agak kurang afdol sebetulnya. TPS buka dari pk. 07.00 sampai dengan pk. 13.00. Sepagi mungkin tiba di TPS lebih baik, secepat mungkin namanya bisa dicatatkan ke dalam daftar pemilih-KTP lebih bagus. Tapi kegalauan belum punah sampai akhirnya panggilan yang diidamkan datang, hati Nina pun menjadi berbunga-bunga. “Amaaan!” serunya dalam hati. Jadi, jam berangkat bolehlah dimundurkan barang satu jam. Berangkat pk. 08.00, dengan perkiraan tiba di tujuan pada pk. 09.00.

Di TPS nanti Nina akan bergabung dengan kakak Ts yang dulu adalah anak angonnya. Kepadanya Nina mengabari rencana jam berangkat dan perkiraan tiba di titik nol. Oya, alamat rumah kakak Ts itu adalah alamat resminya Nina di KTP. TPS-nya berada di kompleks Bumi Bintaro Permai, tidak terlalu jauh dari alamat yang kita bicarakan di sini.

Sebentar! Mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa Nina tidak mengurus formulir A5 saja sehingga dia dapat pindah ke TPS di wilayah tempatnya sekarang berumah?

"Kelihatannya sederhana, tapi sebenarnya banyak waktu dan tenaga yang diperlukan dalam pengurusannya. Dalam prosesnya, tetap saja aku harus ke Bintaro untuk mengurus ini-dan-itu," jelas Nina.

Baiklah, mari kembali ke cerita utama.

Beberapa hari sebelum hari H, Nina berbincang-bincang dengan tante Fanny. Dari tante kita inilah Nina lalu mendapat ide bahwasanya perjalanan ke Bintaro bisa juga ditempuh dengan mempergunakan moda transportasi kojoan Nina, yaitu CL (commuter line, yang dulu dikenal sebagai KRL alias kereta rel listrik). Ongkosnya bakal jauh lebih murah lho. Asik! Demikian sorak Nina.

Supaya semua menjadi lebih afdol dan persiapan lebih matang, riset harus dilakukan. Kan perlu cari tahu jadwal kereta, stasiun tujuan, dan angkot mana saja yang diperlukan untuk melanjutkan perjalanan.

Berdasarkan ingatan Nina, di pasar Bintaro yang berada di jalan Bintaro Permai, ada perlintasan rel, dan dekat situ ada stasiunnya juga. Namanya kalau tidak salah stasiun Sudimara. Dari stasiun itu menuju ke TPS yang berlokasi di kompleks Bumi Bintaro Pemai diyakini Nina dapat ditempuh dengan dua cara. Ke sebelah kiri lalu naik angkot di pasar Bintaro dan nantinya turun di gerbang kompleks Bumi Bintaro Permai, sebelum pintu perlintasan rel. Atau, sekeluarnya dari stasiun, ke arah kanan dan jalan kaki menyusuri jalan Bintaro Permai 4 yang sejajar dengan rel kereta. Jalan terus sampai bertemu dengan perlintasan kereta di sebelah kanan jalan. Setelah melintasinya, di sebelah kiri adalah gerbang kompleks Bumi Bintaro Permai.

Itu keyakinan Nina. Namun, demi keamanan dan kepastian, Nina bertanya juga kepada Che, teman yang dulu sama-sama bekerja di Bintaro. Pertanyaannya, apa nama stasiun yang di dekat pasar.

"Turun di stasiun Sudimara. Habis itu naik angkot D18 dan turun di Bumi Bintaro Permai," jelas Che melalui salah satu fasilitas komunikasi di telepon genggam.

Pertanyaan dan jawabannya rada tidak pas ya. Tapi, berhubung nama stasiun Sudimara ada disebut, Nina merasa bahwa konfirmasi telah diperoleh. Tak mungkin salah. Sudah jelas semua.

Berikut, periksa jadwal kereta. Dari stasiun asal Pasar Minggu Baru tidak ada kereta langsung ke Sudimara. Harus transit di stasiun Tanah Abang. Dengan pertimbangan kemungkinan perlu waktu untuk menunggu kereta lanjutan dan lain sebagainya, bagusnya berangkat dari rumah sekitar jam tujuh. Dengan harapan bisa mengejar CL ke Tanah Abang sebelum jam delapan. Pada jadwalnya, dari Pasar Minggu Baru ada keberangkatan pada pk. 07.24 dan pk. 07.42. Tak ada tempo untuk memeriksa jadwal CL dari Tanah Abang ke Sudimara, jadi Nina main untung-untungan saja. Kalau beruntung bisa tiba di TPS pada jam sembilan, kalau lumayan beruntung jam sepuluh. Kalau apes ya mungkin jam sebelas.

Berhubung masih belum ada kejelasan tentang jadwal dari Tanah Abang, untuk sementara Nina belum menyampaikan penyesuaian rencana ini ke anak angon. Lihat saja besok pagi. Yang penting, berusaha saja dulu agar tidak bangun kesiangan supaya bisa terangkut dengan CL jadwal pk 07.24 dari stasiun Pasar Minggu Baru (kenyataannya bukan saja dia tak bangun kesiangan, tapi... baca di sini saja ya!).

Pagi hari 9 Juli nan bersejarah itu, Nina mengunci rumah lewat jam 7. Di stasiun, kereta yang tiba pada jam 07.24 ternyata rute ke Kota. Tapi, tak risau. Sebab, tiga menit kemudian kereta yang disasar pun tiba. Keretanya nyaris kosong, bisa duduk dengan bebas! Padahal kalau hari biasa jam-jam sekian berdiri saja susah banget! Kosong begitu, AC pun membuat gerbong terasa bagaikan di bagian dalam kulkas. Brrrr...

Setelah duduk nyaman berkemul jaket, Nina mengirim pesan ke anak angon. Mengabarkan bahwa dia sudah berangkat dengan CL. Akan berkabar lagi bila sudah berada di CL berikut di Tanah Abang.

Perjalanan menuju stasiun Tanah Abang ditempuh dalam waktu sekitar setengah jam. Beruntung kereta ke Sudimara sudah tersedia di sana. Kosong juga, bisa duduk lagi. Stasiun sasaran, Sudimara, adalah stasiun ke-enam dari Tanah Abang. Di antaranya terdapat stasiun-stasiun Palmerah, Kebayoran, Pondok Betung, Pondok Ranji, dan Jurangmangu.

Jes jes jes..., dalam perjalanan Nina buka-buka FB-nya. Sudah ramai dipasang orang foto-foto selfie dua jari bertinta ungu. Sebenarnya Nina berencana untuk ber-selfie seperti itu. Namun, melihat sudah sedemikian banyaknya foto semacam itu bertaburan di seantero FB, surutlah niatnya. Hahaha..., kacian deh, sudah keduluan orang-orang lain ya...

Dan, tibalah kereta di Sudimara. Menjelang keluar dari tapping gate, Nina tak melihat suasana yang familiar. Ah, mungkin karena stasiun sudah dibenahi, demikian dia berpikir. Ya, mungkin demikian. Dia lalu bertanya pada  pak satpam di manakah kiranya pasar berada.

"Di sebelah kanan, Bu," kata si satpam.

Nah lho! Di kepalanya, kalau dari stasiun, pasar tersebut seharusnya berada di sebelah kiri. Di sebelah kanan harusnya adalah perlintasan kereta api di jalan Bintaro Permai. Yang itu di kiri, yang ini di kanan, maka di mukanya seharusnya jalan raya yang namanya jalan Bintaro Permai. Di seberangnya adalah jalan Ulujami. Jalan Bintaro Pemai merupakan sebuah jalan raya yang ramai lalu lintasnya. Lengkap dengan berbagai angkot dan kopaja/metromini. Akan tetapi, jalan yang terbentang di hadapan Nina adalah sebuah jalanan sepi lalu lintas. Tukang ojeg banyak bertebaran mangkal di situ, bising menjajakan jasanya. Hei, di manakah perlintasan keretanya? Di sebelah kanan betul ada pasar, tapi namanya bukan pasar Bintaro. Melainkan, pasar Jombang. Oi! Koq? Tak pula ada angkot D18.

Nekad, Nina mendekati sembarang angkot.

"Bang, lewat Bumi Bintaro Permai?" tanyanya.

"Lewat!"

Naiklah Nina dan duduk manis dalam angkot yang sedang ngetem tersebut.

Datang satu calon penumpang, "Ciledug, Bang?"

"Iya," jawab si supir.

Jawaban yang membuat kuping Nina mencuat. Jauh benar beda tujuannya!

"Ini angkot belok ke Bumi Bintaro Permai nggak?" tanya Nina.

Entah dari mana kata 'belok' itu muncul di kepala Nina hahaha...

"Nggak," si abang supir angkot tiba-tiba menjadi jujur.

Menggerutu, Nina pun turun. Disambut teriakan meriah para tukang ojeg. Nina makin puyeng, apalagi, di sebelah kanan dari stasiun, jalan ini ternyata menyambung ke sebuah jembatan layang dengan jalan tol di bawahnya. Seorang ibu menggendong anak batita melintas di depan Nina. Segera dicoleknya.

"Bu, Bumi Bintaro Permai ke arah mana ya?"

Si ibu terlihat bingung tapi berusaha menyahut.

"Mungkin ke sana (menunjuk ke satu arah), sebab kalau di sana (menunjuk ke arah lain) sektor 9. Kemana ya?"

Oh!

Bukan cuma si ibu beranak batita itu yang tak tahu tempat yang dinyatakan Nina. Pedagang buah dan satu orang ibu lagi juga tidak tahu—ditanya oleh ibu beranak batita.

"Coba tanya ke tukang ojeg deh," akhirnya ia bersaran.

Terus terang Nina berkata ia tak percaya pada tukang ojeg. Berdasarkan pengalaman, numpang tanya kepada tukang ojeg, ujung-ujungnya minta disewa. Dan, maaf ya tukang ojeg, umumnya kalian senang memanfaatkan orang yang sedang bingung seperti si Nina. Pengalaman Nina sendiri tuh! Biasanya kena digetok pula ongkosnya. Hehe...

Akhirnya si ibu bertanya pada seorang supir angkot. Si supir angkot tak dapat memberikan jawaban yang pasti karena rupanya dia juga tak tahu di mana letak Bumi Bintaro Permai. Untungnya, ada seorang ibu penumpang yang tahu—Nina menyebutnya ibu nomor dua.

"Naik (angkot) ini," saran si ibu nomor dua.

"Tapi tadi katanya angkot nomor ini tak lewat Bumi Bintaro Permai," protes Nina halus.

"Memang tidak. Tapi nanti Ibu turun di lampu merah anu-anu buat ganti angkot lain," jelas ibu nomor dua. "Nanti saya beri tahu kalau sudah harus turun".

Semetara itu komunikasi antarpiranti Nina dan anak angon jalan terus. Melalui pesan BBM, anak angon sudah terbahak-bahak soal nyasarnya Nina itu.

Setiba di lampu merah yang dimaksud si ibu nomor dua, Nina turun guna berganti angkot. Di sinilah terjadi dialog srimulatan antara Nina dan supir angkot kedua. Seperti yang pernah dituliskannya sebagai status di FB.

"Pak, angkot ini lewat Bumi Bintaro Permai?" tanya Nina kepada si supir angkot yang sedang ngetem itu.

"Ibu mau ke mana?" si supir menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.

"Lewat Bumi Bintaro Permai nggak?" Nina mengulang pertanyaannya sebagai jawaban dari pertanyaan si supir.

"Memangnya Ibu mau ke mana?"

Lho, gimana sih, bukannya gue sudah sebut tujuan gue sampai dua kali, gerutu Nina dalam hati.

"Saya mau ke TPS 32. Bapak tahu di mana?" jawab Nina setengah jengkel.

Supir angkot yang ini rupanya juga tidak tahu bahwa ada daerah yang namanya Bumi Bintaro Permai, tapi dia berlagak karena mungkin nggak mau aja kelihatan bodoh. Tapi jadinya malah lebih bodoh lagi kan.

"Ibu ini bisa turun di dekat mesjid sektor dua, Mas," celetuk tiba-tiba penumpang yang duduk di sebelah supir. Tadinya ia asyik membaca koran, tapi rupanya mendengarkan juga dialog srimulatan itu.

Ah, akhirnya ada juga yang menyebutkan landmark yang dikenal Nina! Tampaknya angkot ini belum akan membawa Nina ke tujuan akhirnya, tapi peta pergerakan sudah mulai teraba. Nina pun naik ke angkot itu dengan perasaan yang lebih enteng.

Dalam perjalanan dengan angkot ini perlahan-lahan Nina mulai dan semakin lama semakin mengenali daerah-daerah yang dilaluinya. Segera disadarinya betapa jauhnya ia melenceng dari tujuan seharusnya. Duduk di sebelah Nina adalah seorang ibu—sebut saja ibu nomor tiga; yang sama-sama turun dari angkot sebelumnya dan juga nguping waktu Nina menyebut soal ‘TPS’. Ia pun mengajak Nina ngobrol dengan topik pemilu. Terkoreklah bahwa calon pilihan Nina sama dengan dirinya. Jelas terlihat bahwa si ibu sangat memuja si calon itu, dan mungkin karena itu si ibu lalu membayari ongkos angkotnya Nina.

"Terima kasih, Bu!!!" seru Nina ketika si ibu berlalu bersama angkot yang belok ke kanan.

Kini Nina berada di daerah yang sangat dikenalnya, jalan Bintaro Raya. Menuju ke kompleks Bumi Bintaro Permai tinggal naik angkot satu kali lagi, angkot D18 yang legendaris itu. Tapi, Nina memutuskan untuk jalan kaki saja. Jaraknya mungkin lumayan jauh, tapi, Nina suka berjalan kaki dan suka dengan jalanan yang lurus itu. Di sebelah kanan jalan adalah deretan rumah. Sementara di sebelah kiri yang sejajar dengan rel kereta, membentang daerah terbuka dengan rumput hijau nan terpelihara. Pohon-pohon besar tumbuh berderet. Memberi keteduhan, sehingga meski matahari pukul sepuluh pagi itu berteriak cukup keras, jalan kakinya Nina menuju titik pertemuan dengan si anak angon—di gerbang kompleks Bumi Bintaro Permai, setelah melintas perlintasan rel kereta—pun terasa nyaman saja.

Menilik ke sumber permasalahan, seharusnya tadi Nina turun dua stasiun sebelum stasiun Sudimara. Gara-gara salah turun itu perjalananan lanjutan pun menjadi tiga kali lebih jauh. Lalu, siapa yang salah, atau, di manakah kesalahannya? Bukankah semua sudah dipersiapkan dengan baik?

Pada hari itu juga diketahui bahwa Che telah salah menyebut nama stasiun di mana Nina seharusnya turun. Disebutnya Sudimara, tapi yang dimaksudnya adalah stasiun Pondok Ranji yang berada dua stasiun sebelum Sudimara. Tapi, kesalahan tidak sepenuhnya berasal dari Che. Sebab, dari awal Nina pun sudah salah berasumsi. Dalam pikirannya, yang bernama stasiun Sudimara itu terletak di dekat perlintasan kereta api di jalan Bintaro Permai. Padahal, di titik itu sama sekali tak ada stasiun! Entah dari mana dia dapat pemikiran macam itu! Yang pasti, anak angon sepertinya puas tuh tertawanya...

Mungkin bagi orang lain, perjalanan Nina di pagi hari itu bagaikan sebuah perjuangan. Tapi, bagi Nina sendiri, merupakan petualangan yang seru. Pada akhirnya, tak hanya dua jari Nina yang belepotan tinta ungu. Pun kedua belah tangannya, sebab dia lumayan jorse. Belepotan yang menyenangkan dan tak hanya sebagai tanda bahwa ia sudah ikut serta dalam sebuah pesta demokrasi penting, tapi juga karena jajan-jajan pada hari itu banyak yang berdiskon. Lho!? Ya, sebab, di Jakarta sekurangnya, sejumlah griya jajan pada hari itu khusus memberikan diskon-diskon menarik untuk mereka yang bisa memperlihatkan tinta ungu di jari.

Pantas hari itu Nina pulangnya malam sekali...



Dalam CL lanjutan di stasiun Tanah Abang. Menunggu keberangkatan ke Sudimara.