Untuk ikut menggunakan
hak suaranya dalam sebuah pemilu,
termasuk pemilihan capres-cawapres 2014 yang baru saja berlalu, Nina tidak bisa melakukannya secara sambil
lalu. Maksudnya ya, pada hari H-nya
dia tidak bisa santai-santai dulu di rumah pada pagi harinya, yang lalu, ketika sudah tak terlalu malas, baru berangkat. Jalan lenggang kangkung ke tempat pemungutan suara (TPS) tujuan, dengan
hanya memakai sandal dan cuma menggengam hape.
Tidak, dia tidak bisa santai begitu.
Sebab, TPS di mana Nina
terdaftar berada jauh nun di sana. Meski kini berdiam di wilayah Pasar Minggu, resminya Nina itu kan penduduk sebuah daerah di ujungnya Jakarta bagian selatan. Yaitu, di Bintaro. Dekat dengan garis perbatasan antara propinsi DKI
Jakarta dan Banten.
Sebab yakin bahwa pemilihan
capres-cawapres 2014 ini sangat penting, maka Nina memantapkan hati untuk ikutan. Mengingat lokasi TPS tujuan cukup
jauh, perjalanan harus dirancang
dengan seksama. Jam
keberangkatan harus direncanakan dengan baik, dan harus cukup pagi. Paling telat
harus berangkat dari rumah pada jam tujuh pagi. Pokoknya, harus harus harus! Perjalanan
diperkirakan akan memakan waktu sekitar satu jam, apabila tak macet, melalui jalan tol.
Moda transportasi yang akan dipergunakan juga harus dipersiapkan dengan
matang. Tak terlalu berpikir banyak,
dan ngapain juga sih lama-lama mikirinnya,
diputuskan bahwa taksi
adalah yang paling tepat. Pasti menjamin
kelancaran perjalanan penting tersebut. Kalau naik angkot, pasti repot naik-turun gonta-ganti. Sudah pasti akan memakan waktu lebih lama,
berputar-putar tak keruan entah lewat mana saja. Tentu bakal ribed, demikian Nina berpikir.
Hati Nina menjadi cukup tenteram
setelah mencapai keputusan-keputusan di atas. Waktu itu masih tak ada terbaca tanda-tanda
kehadiran panggilan resmi untuk mencoblos, sehingga hatinya galau bukan buatan.
Tanpa panggilan, Nina terpaksa harus menjadi pemilih bermodalkan KTP. Agak kurang afdol sebetulnya. TPS buka dari pk. 07.00 sampai dengan pk.
13.00. Sepagi mungkin tiba di TPS
lebih baik, secepat mungkin namanya
bisa dicatatkan ke dalam daftar pemilih-KTP lebih bagus. Tapi kegalauan belum punah sampai
akhirnya panggilan yang diidamkan datang, hati Nina pun menjadi berbunga-bunga. “Amaaan!” serunya
dalam hati. Jadi, jam berangkat bolehlah dimundurkan barang
satu jam. Berangkat pk.
08.00, dengan perkiraan tiba di tujuan pada pk. 09.00.
Di TPS nanti Nina akan
bergabung dengan kakak Ts
yang dulu adalah anak angonnya. Kepadanya Nina mengabari rencana jam berangkat dan perkiraan tiba di titik
nol. Oya, alamat rumah kakak Ts itu adalah alamat resminya Nina di KTP.
TPS-nya berada di kompleks Bumi Bintaro Permai, tidak terlalu jauh dari alamat yang
kita bicarakan di sini.
Sebentar! Mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa Nina tidak mengurus formulir A5 saja sehingga
dia dapat pindah ke TPS di wilayah
tempatnya sekarang berumah?
"Kelihatannya
sederhana, tapi sebenarnya banyak waktu dan tenaga yang diperlukan dalam pengurusannya. Dalam prosesnya, tetap saja aku harus ke
Bintaro untuk mengurus ini-dan-itu,"
jelas Nina.
Baiklah, mari kembali
ke cerita utama.
Beberapa hari sebelum hari H, Nina berbincang-bincang dengan tante
Fanny. Dari tante kita inilah Nina lalu
mendapat ide bahwasanya
perjalanan ke Bintaro bisa juga ditempuh dengan mempergunakan moda transportasi kojoan Nina, yaitu
CL (commuter line, yang dulu dikenal sebagai KRL alias kereta rel listrik). Ongkosnya bakal jauh lebih murah lho. Asik! Demikian sorak Nina.
Supaya semua menjadi lebih afdol dan persiapan lebih matang, riset harus dilakukan. Kan perlu cari tahu jadwal kereta,
stasiun tujuan, dan angkot mana saja
yang diperlukan untuk melanjutkan perjalanan.
Berdasarkan ingatan Nina, di
pasar Bintaro yang berada di jalan Bintaro Permai, ada perlintasan rel, dan
dekat situ ada stasiunnya juga. Namanya kalau
tidak salah stasiun Sudimara. Dari stasiun itu menuju ke TPS yang berlokasi di
kompleks Bumi Bintaro Pemai diyakini Nina dapat ditempuh dengan dua cara. Ke sebelah
kiri lalu naik angkot di pasar Bintaro dan nantinya turun di gerbang kompleks
Bumi Bintaro Permai, sebelum pintu perlintasan rel. Atau, sekeluarnya dari
stasiun, ke arah kanan dan jalan kaki menyusuri jalan Bintaro Permai 4 yang
sejajar dengan rel kereta. Jalan terus sampai bertemu dengan perlintasan kereta
di sebelah kanan jalan. Setelah melintasinya, di sebelah kiri adalah gerbang
kompleks Bumi Bintaro Permai.
Itu keyakinan Nina. Namun, demi
keamanan dan kepastian, Nina bertanya juga kepada Che, teman yang dulu
sama-sama bekerja di Bintaro. Pertanyaannya, apa nama stasiun yang di dekat
pasar.
"Turun di stasiun Sudimara. Habis itu naik angkot D18 dan turun di
Bumi Bintaro Permai,"
jelas Che melalui salah satu fasilitas
komunikasi di telepon genggam.
Pertanyaan dan jawabannya
rada tidak pas ya. Tapi, berhubung nama
stasiun Sudimara ada disebut, Nina merasa bahwa konfirmasi telah diperoleh. Tak
mungkin salah. Sudah jelas semua.
Berikut, periksa jadwal kereta. Dari stasiun asal Pasar Minggu
Baru tidak ada kereta langsung ke Sudimara. Harus transit di stasiun Tanah
Abang. Dengan pertimbangan kemungkinan perlu waktu untuk menunggu
kereta lanjutan dan lain sebagainya, bagusnya berangkat dari rumah sekitar jam
tujuh. Dengan harapan bisa mengejar CL ke Tanah Abang sebelum jam delapan. Pada
jadwalnya, dari Pasar Minggu Baru ada keberangkatan pada pk. 07.24 dan pk. 07.42. Tak ada tempo untuk
memeriksa jadwal CL dari Tanah Abang ke Sudimara, jadi Nina main
untung-untungan saja. Kalau beruntung bisa tiba di TPS pada jam sembilan, kalau
lumayan beruntung jam sepuluh. Kalau apes ya mungkin jam sebelas.
Berhubung masih
belum ada kejelasan tentang jadwal dari Tanah Abang, untuk sementara Nina belum
menyampaikan penyesuaian rencana ini ke anak angon. Lihat saja besok pagi. Yang
penting, berusaha saja dulu agar tidak bangun kesiangan supaya bisa terangkut
dengan CL jadwal pk 07.24 dari stasiun Pasar Minggu Baru (kenyataannya bukan
saja dia tak bangun kesiangan, tapi... baca di sini saja ya!).
Pagi hari 9 Juli nan
bersejarah itu, Nina mengunci rumah lewat jam 7. Di stasiun, kereta yang
tiba pada jam 07.24 ternyata rute ke Kota. Tapi, tak risau. Sebab, tiga menit
kemudian kereta yang disasar pun tiba. Keretanya nyaris kosong, bisa duduk dengan bebas! Padahal kalau
hari biasa jam-jam sekian
berdiri saja susah banget! Kosong begitu, AC pun membuat gerbong terasa bagaikan di bagian dalam kulkas. Brrrr...
Setelah duduk nyaman berkemul jaket, Nina mengirim
pesan ke anak angon. Mengabarkan bahwa
dia sudah berangkat dengan CL. Akan berkabar lagi bila sudah berada di
CL berikut di Tanah Abang.
Perjalanan menuju stasiun Tanah
Abang ditempuh dalam waktu sekitar
setengah jam. Beruntung
kereta ke Sudimara sudah tersedia di
sana. Kosong juga, bisa duduk
lagi. Stasiun
sasaran, Sudimara, adalah stasiun ke-enam dari Tanah Abang. Di antaranya terdapat stasiun-stasiun
Palmerah, Kebayoran, Pondok Betung, Pondok Ranji, dan Jurangmangu.
Jes jes jes..., dalam perjalanan Nina buka-buka FB-nya. Sudah ramai dipasang orang foto-foto selfie dua jari bertinta ungu. Sebenarnya
Nina berencana untuk ber-selfie
seperti itu. Namun, melihat sudah sedemikian banyaknya foto semacam itu bertaburan
di seantero FB, surutlah niatnya. Hahaha..., kacian deh, sudah keduluan orang-orang lain ya...
Dan, tibalah kereta di Sudimara. Menjelang
keluar dari tapping gate, Nina tak melihat suasana yang
familiar. Ah, mungkin karena stasiun
sudah dibenahi, demikian dia berpikir. Ya, mungkin demikian. Dia lalu bertanya pada
pak satpam di manakah kiranya
pasar berada.
"Di sebelah
kanan, Bu," kata si satpam.
Nah lho! Di kepalanya, kalau dari stasiun, pasar tersebut seharusnya
berada di sebelah kiri. Di sebelah kanan harusnya adalah perlintasan kereta api
di jalan Bintaro Permai. Yang itu di kiri, yang ini di kanan, maka di mukanya
seharusnya jalan raya yang namanya jalan Bintaro Permai. Di seberangnya adalah
jalan Ulujami. Jalan Bintaro Pemai merupakan sebuah jalan raya yang ramai lalu
lintasnya. Lengkap dengan berbagai angkot dan kopaja/metromini. Akan tetapi, jalan
yang terbentang di hadapan Nina adalah sebuah jalanan sepi lalu lintas. Tukang ojeg banyak bertebaran mangkal di situ, bising menjajakan
jasanya. Hei, di manakah perlintasan keretanya? Di sebelah kanan betul ada
pasar, tapi namanya bukan pasar Bintaro. Melainkan, pasar Jombang. Oi! Koq? Tak pula ada angkot D18.
Nekad, Nina mendekati sembarang
angkot.
"Bang, lewat Bumi Bintaro Permai?" tanyanya.
"Lewat!"
Naiklah Nina dan duduk manis dalam angkot yang sedang ngetem tersebut.
Datang satu calon penumpang, "Ciledug, Bang?"
"Iya," jawab si supir.
Jawaban yang membuat kuping Nina mencuat. Jauh benar beda tujuannya!
"Ini angkot belok ke Bumi Bintaro Permai nggak?" tanya Nina.
Entah dari mana kata 'belok' itu muncul di kepala Nina hahaha...
"Nggak," si abang
supir angkot tiba-tiba menjadi jujur.
Menggerutu, Nina pun turun.
Disambut teriakan meriah para tukang ojeg.
Nina makin puyeng, apalagi, di
sebelah kanan dari stasiun, jalan ini ternyata menyambung ke sebuah
jembatan layang dengan jalan tol di bawahnya. Seorang ibu menggendong anak batita melintas di depan Nina. Segera
dicoleknya.
"Bu, Bumi Bintaro Permai ke arah mana ya?"
Si ibu terlihat bingung tapi berusaha menyahut.
"Mungkin ke sana (menunjuk ke satu arah), sebab kalau di sana (menunjuk ke arah lain)
sektor 9. Kemana ya?"
Oh!
Bukan cuma si ibu beranak batita itu yang tak tahu
tempat yang dinyatakan Nina. Pedagang
buah dan satu orang ibu lagi juga tidak tahu—ditanya oleh ibu beranak batita.
"Coba tanya ke tukang ojeg
deh," akhirnya ia bersaran.
Terus terang Nina berkata ia tak percaya pada tukang ojeg. Berdasarkan
pengalaman, numpang tanya kepada tukang ojeg, ujung-ujungnya minta
disewa. Dan, maaf ya tukang ojeg,
umumnya kalian senang memanfaatkan orang yang sedang bingung seperti si Nina. Pengalaman Nina sendiri tuh! Biasanya
kena digetok pula ongkosnya. Hehe...
Akhirnya si ibu bertanya pada seorang supir angkot. Si supir angkot tak
dapat memberikan jawaban yang pasti karena
rupanya dia juga tak tahu di
mana letak Bumi Bintaro
Permai. Untungnya, ada seorang ibu penumpang yang tahu—Nina menyebutnya ibu nomor dua.
"Naik (angkot) ini," saran si ibu nomor dua.
"Tapi tadi katanya angkot nomor ini tak lewat Bumi Bintaro
Permai," protes Nina halus.
"Memang tidak. Tapi nanti
Ibu turun di lampu merah anu-anu buat
ganti angkot lain,"
jelas ibu nomor dua. "Nanti saya beri tahu kalau sudah harus turun".
Semetara itu komunikasi
antarpiranti Nina dan anak angon jalan terus. Melalui pesan BBM, anak angon
sudah terbahak-bahak soal nyasarnya Nina itu.
Setiba di lampu merah yang dimaksud si ibu nomor dua, Nina turun guna berganti angkot. Di sinilah terjadi dialog srimulatan antara Nina dan supir angkot kedua. Seperti yang pernah dituliskannya sebagai status di FB.
"Pak, angkot ini lewat Bumi Bintaro Permai?" tanya Nina
kepada si supir angkot yang sedang ngetem
itu.
"Ibu mau ke mana?" si supir menjawab pertanyaan dengan
pertanyaan.
"Lewat Bumi Bintaro Permai nggak?"
Nina mengulang pertanyaannya sebagai
jawaban dari pertanyaan si supir.
"Memangnya Ibu mau ke mana?"
Lho, gimana sih, bukannya gue sudah sebut tujuan gue
sampai dua kali, gerutu Nina dalam hati.
"Saya mau ke TPS 32. Bapak tahu di mana?" jawab Nina setengah
jengkel.
Supir angkot yang ini rupanya
juga tidak tahu bahwa ada daerah yang namanya Bumi Bintaro Permai, tapi dia berlagak
karena mungkin nggak mau aja kelihatan bodoh. Tapi jadinya
malah lebih bodoh lagi kan.
"Ibu ini bisa turun di dekat mesjid sektor dua, Mas," celetuk tiba-tiba penumpang yang duduk di sebelah supir. Tadinya ia asyik membaca koran, tapi
rupanya mendengarkan juga dialog srimulatan
itu.
Ah, akhirnya ada juga yang
menyebutkan landmark yang dikenal Nina! Tampaknya angkot ini belum
akan membawa Nina ke tujuan akhirnya, tapi peta pergerakan sudah mulai teraba. Nina pun naik ke angkot itu
dengan perasaan yang lebih enteng.
Dalam perjalanan dengan angkot ini perlahan-lahan Nina mulai dan semakin lama semakin mengenali daerah-daerah yang dilaluinya. Segera disadarinya betapa jauhnya
ia melenceng dari tujuan seharusnya.
Duduk di sebelah Nina adalah seorang ibu—sebut saja ibu nomor
tiga; yang sama-sama turun
dari angkot sebelumnya dan juga nguping waktu Nina menyebut soal ‘TPS’. Ia pun mengajak Nina ngobrol dengan topik pemilu. Terkoreklah bahwa calon pilihan Nina sama dengan dirinya. Jelas terlihat bahwa si ibu sangat
memuja si calon itu, dan mungkin karena itu si ibu lalu membayari ongkos angkotnya
Nina.
"Terima kasih, Bu!!!"
seru Nina ketika si ibu berlalu bersama angkot yang belok ke kanan.
Kini Nina berada di daerah yang sangat
dikenalnya, jalan Bintaro Raya.
Menuju ke kompleks Bumi
Bintaro Permai tinggal naik angkot
satu kali lagi, angkot D18 yang
legendaris itu. Tapi, Nina memutuskan untuk jalan kaki saja. Jaraknya
mungkin lumayan jauh, tapi, Nina suka
berjalan kaki dan suka dengan jalanan yang lurus itu. Di sebelah kanan jalan adalah deretan rumah. Sementara di sebelah kiri yang sejajar dengan rel kereta, membentang daerah terbuka dengan rumput
hijau nan terpelihara. Pohon-pohon besar
tumbuh berderet. Memberi keteduhan, sehingga meski matahari pukul sepuluh pagi itu berteriak cukup keras, jalan kakinya Nina menuju
titik pertemuan dengan si anak angon—di gerbang kompleks Bumi Bintaro Permai, setelah melintas perlintasan rel
kereta—pun terasa nyaman saja.
Menilik
ke sumber permasalahan, seharusnya tadi Nina turun dua stasiun sebelum stasiun
Sudimara. Gara-gara salah turun itu perjalananan lanjutan pun menjadi tiga kali
lebih jauh. Lalu, siapa yang salah, atau, di manakah kesalahannya? Bukankah
semua sudah dipersiapkan dengan baik?
Pada hari
itu juga diketahui bahwa Che telah salah menyebut nama stasiun di mana Nina
seharusnya turun. Disebutnya Sudimara, tapi yang dimaksudnya adalah stasiun Pondok
Ranji yang berada dua stasiun sebelum Sudimara. Tapi, kesalahan tidak
sepenuhnya berasal dari Che. Sebab, dari awal Nina pun sudah salah berasumsi.
Dalam pikirannya, yang bernama stasiun Sudimara itu terletak di dekat
perlintasan kereta api di jalan Bintaro Permai. Padahal, di titik itu sama
sekali tak ada stasiun! Entah dari mana dia dapat pemikiran macam itu! Yang
pasti, anak angon sepertinya puas tuh
tertawanya...
Mungkin bagi
orang lain, perjalanan Nina di pagi hari itu bagaikan sebuah perjuangan. Tapi,
bagi Nina sendiri, merupakan petualangan yang seru. Pada akhirnya, tak hanya
dua jari Nina yang belepotan tinta ungu. Pun kedua belah tangannya, sebab dia lumayan jorse. Belepotan
yang menyenangkan dan tak hanya sebagai tanda bahwa ia sudah ikut serta dalam
sebuah pesta demokrasi penting, tapi juga karena jajan-jajan pada hari itu
banyak yang berdiskon. Lho!? Ya, sebab, di Jakarta sekurangnya,
sejumlah griya jajan pada hari itu khusus memberikan diskon-diskon menarik
untuk mereka yang bisa memperlihatkan tinta ungu di jari.
Pantas hari itu Nina pulangnya malam sekali...
Dalam CL lanjutan di stasiun Tanah Abang. Menunggu keberangkatan ke Sudimara.