Waktu masih ada pekerjaan di
sebuah kantor di daerah Karet Tengsin, Jakarta Pusat, nyaris setiap hari Nina ngantor ke sana. Pergi-pulang ditempuh
dengan menumpak CL—commuter line,
yang dahulu dikenal sebagai KRL atau kereta rel listrik; pada jam-jam kantor sehingga
setiap perjalanan bagaikan sebuah perjuangan.
“Yaaa, kalimat itu memang
kalimat klise, tapi demikianlah keadaan yang sesungguhnya,“ Nina beralasan.
Meski sebetulnya, dia hanya
berpikiran seperti itu kalau mood-nya
sedang negatif. Apabila sedang dalam kondisi positif, biasanya sih dia akan menyebutnya sebagai sebuah
petualangan.
CL rute Tanah Abang dari
Bogor/Depok adalah yang menjadi kendaraan hariannya. Berhubung jumlahnya lebih
sedikit dibandingkan dengan rute Jakarta Kota, maka, padatnya dijamin luar
biasa pada waktu-waktu yang disebut sebagai jam-jam kantor. Pagi hari sampai dengan
jam 9 pagi sering masih sesak. Jam 10 situasinya
mungkin sudah agak lumayan meskipun masih belum dalam kategori bisa buka tenda
di dalam gerbong.
Sebagai catatan lumayan
penting diketahui—barangkali—Nina selalu naik di gerbong khusus wanita. Kan dia wanita... Di setiap rangkaian CL, gerbong khusus tersebut
ada dua. Yang paling depan dan yang paling belakang. Untuk rute ke Tanah Abang ini
rangkaian hanya terdiri dari delapan gerbong, maka berarti yang paling belakang adalah
gerbong nomor delapan—ini adalah sebagai catatan biasa saja, sebab sebenarnya tak ada kepentingannya
disebutkan di sini.
Seringkali di stasiun asal
Nina, Pasar Minggu Baru, ramai calon penumpangnya. Menjadi persoalan juga sebab
lalu harus berebut untuk bisa masuk ke dalam gerbong yang sudah padat. Tak
jarang rekan seperjalanan yang berada di depan Nina, begitu sudah naik, terkesan
seperti memblokir akses dengan tangannya. Seolah mencegah supaya yang berada di
belakangnya tak bisa menyusul masuk. Demikian pandangan negatif Nina, tapi
mungkin maksudnya sih berpegangan supaya tak terdorong keluar lagi. Yang pasti,
kadang membuat Nina terjepit bila penumpang di belakangnya tak mau kalah dan
terus merangsek masuk. Tapi tak perlu waktu lama bagi Nina sampai akhirnya dia
berhasil mengadopsi gaya mendorong masuk seperti yang sering dilakukan calon
penumpang di belakangnya. Melawan tanpa gentar posisi bertahan si penumpang di depan sampai orang itu terdorong masuk. Dipahaminya
juga dengan segera bahwa ransel yang menggelembung yang selalu dicangklongkan
di bagian depan badan ternyata dapat menjadi alat bantu mendorong yang berguna.
Tapi ada juga masalah lain
yang harus dihadapi Nina. Bila akhirnya ia berhasil masuk ke dalam sesaknya
gerbong, tak jarang ia merasa bahwa penumpang lain di depannya yang adalah
sesama perempuan, seolah sengaja menahan laju masuknya. Tentu Nina paham bahwa
kereta sudah penuh sesak, tapi kalau ada peremuan lain yang masuk, bisa saja tuh. Dengan penuh pengertian mereka mau saja
bergerak sebisanya demi meluangkan tempat. Kenapa sih..., gumam Nina dalam hati dengan jengkel.
Dalam berbagai kesempatan
yang bagus, Nina menjadi satu-satunya penumpang yang naik. Berarti, perjuangan menjadi
separo lebih enteng, tapi bukan
berarti tak berat. Sebab, lebih sering terasa ada penolakan, dan, ini yang
paling bikin Nina gedeg, dia kerap mendapat
pelototan dari banyak mata mbak-mbak, ibu-ibu, tante-tante, nenek-nenek di dalam
gerbong. Pernah pula sampai ada penumpang
yang mendecak jengkel gara-gara Nina tak menyerah dan terus merangsek masuk. Tiap
kali mengingat orang berdecak demikian, ditambah dengan betapa tak enaknya berada
di bawah sorotan sekian belas pasang mata yang melotot penuh rasa tak suka;
mangkel rasanya hatinya.
“Sebegitu berdosanya kah aku
yang berusaha untuk turut terangkut kereta? Hmmm..., sebal!” Demikian jeritan hati Nina—lebay sedikit bolehlah.
Barangkali memang Nina itu berotak
lamban, karena, cukup memakan waktu baginya untuk menyadari di mana letak
permasalahnnya. Tentu saja dia tak mau donk
dianggap salah, jadi dia menganggap mereka, para perempuan di dalam gerbong
khusus wanita tersebut, adalah orang-orang yang hanya mampu menilai orang dari
luarnya saja. Ya kan? Dan, tambah Nina lagi, sangat diskriminatif.
Kenapa Nina berkesimpulan
sedemikian rupa? Sebab, akhirnya Nina memahami bahwa unsur rambut plontosnya,
dan karena dada yang selalu tertutup ransel sehingga tidak memperlihatkan ciri
khas fisik perempuan yang paling mudah terlihat; membuatnya langsung disimpulkan
sebagai lelaki. Arti dari semua kejadian yang dialaminya itu, di mana ia seperti
dicegah masuk adalah karena rupanya dia dianggap sebagai salah kamar, eh, salah gerbong.
Bermodalkan pemahaman baru itu,
Nina mulai mengatur strategi. Di hari pertama strategi tersebut hendak
dipentaskan, gerbong khusus wanita yang ditujunya tidak terlalu pol sesaknya
tapi lagi-lagi akses masuknya cukup dipersulit. Halangan yang segera
dihadapinya adalah dari seorang ibu setengah baya yang cara berpakaiannya
mengingatkan Nina akan almarhumah ibunya di saat beliau hendak pergi mengajar.
Rapih, keibuan, keguruan—mungin yang terakhir ini ngarang belaka. Di belakangnya, penumpang lain jelas memasang
tampang tidak suka. Maka, strategi pun Nina luncurkan. Dengan suara keras ia
melantangkan pengumuman.
“Oi, saya naik gerbong ini
karena saya perempuan loh, saya bukan
laki-laki loh... Oi, perempuan loh
saya... Bukan lelaki loh saya”.
Si ibu tadi yang semula memandang
Nina dengan wajah galak, mendadak tersenyum kecut sambil ber”hehe...” tanpa
rasa bersalah. Terbersit dalam pikiran Nina bahwa pasti si ibu itu menganggap
dirinya senior secara umur dibandingkan Nina. Sehingga, dia tak merasa perlu minta
maaf atas ketaksopanannya. Padahal, kalo soal umur mungkin dia dan
Nina tidak berbeda jauh. Nina saja yang tampaknya lebih irit sedikit.
Tapi yang paling hebat
adalah, tiba-tiba terdapat ruang yang cukup bagi Nina untuk bergerak dengan leluasa
dan mengalir lancar menuju bagian dalam gerbong. Seperti ada celah memanjang
yang terbuka, membuatnya merasa bagaikan Nabi Musa yang tengah membelah lautan...
§
Gerbong khusus wanita CL yang padat
No comments:
Post a Comment