Sunday, July 13, 2014

Akses Diblokir!



Waktu masih ada pekerjaan di sebuah kantor di daerah Karet Tengsin, Jakarta Pusat, nyaris setiap hari Nina ngantor ke sana. Pergi-pulang ditempuh dengan menumpak CL—commuter line, yang dahulu dikenal sebagai KRL atau kereta rel listrik; pada jam-jam kantor sehingga setiap perjalanan bagaikan sebuah perjuangan.

“Yaaa, kalimat itu memang kalimat klise, tapi demikianlah keadaan yang sesungguhnya,“ Nina beralasan.

Meski sebetulnya, dia hanya berpikiran seperti itu kalau mood-nya sedang negatif. Apabila sedang dalam kondisi positif, biasanya sih dia akan menyebutnya sebagai sebuah petualangan.

CL rute Tanah Abang dari Bogor/Depok adalah yang menjadi kendaraan hariannya. Berhubung jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan rute Jakarta Kota, maka, padatnya dijamin luar biasa pada waktu-waktu yang disebut sebagai jam-jam kantor. Pagi hari sampai dengan jam 9 pagi sering  masih sesak. Jam 10 situasinya mungkin sudah agak lumayan meskipun masih belum dalam kategori bisa buka tenda di dalam gerbong.

Sebagai catatan lumayan penting diketahui—barangkali—Nina selalu naik di gerbong khusus wanita. Kan dia wanita...  Di setiap rangkaian CL, gerbong khusus tersebut ada dua. Yang paling depan dan yang paling belakang. Untuk rute ke Tanah Abang ini rangkaian hanya terdiri dari delapan gerbong, maka berarti yang paling belakang adalah gerbong nomor delapan—ini adalah sebagai catatan biasa saja, sebab sebenarnya tak ada kepentingannya disebutkan di sini.

Seringkali di stasiun asal Nina, Pasar Minggu Baru, ramai calon penumpangnya. Menjadi persoalan juga sebab lalu harus berebut untuk bisa masuk ke dalam gerbong yang sudah padat. Tak jarang rekan seperjalanan yang berada di depan Nina, begitu sudah naik, terkesan seperti memblokir akses dengan tangannya. Seolah mencegah supaya yang berada di belakangnya tak bisa menyusul masuk. Demikian pandangan negatif Nina, tapi mungkin maksudnya sih berpegangan supaya tak terdorong keluar lagi. Yang pasti, kadang membuat Nina terjepit bila penumpang di belakangnya tak mau kalah dan terus merangsek masuk. Tapi tak perlu waktu lama bagi Nina sampai akhirnya dia berhasil mengadopsi gaya mendorong masuk seperti yang sering dilakukan calon penumpang di belakangnya. Melawan tanpa gentar posisi bertahan si penumpang di depan sampai orang itu terdorong masuk. Dipahaminya juga dengan segera bahwa ransel yang menggelembung yang selalu dicangklongkan di bagian depan badan ternyata dapat menjadi alat bantu mendorong yang berguna.

Tapi ada juga masalah lain yang harus dihadapi Nina. Bila akhirnya ia berhasil masuk ke dalam sesaknya gerbong, tak jarang ia merasa bahwa penumpang lain di depannya yang adalah sesama perempuan, seolah sengaja menahan laju masuknya. Tentu Nina paham bahwa kereta sudah penuh sesak, tapi kalau ada peremuan lain yang masuk, bisa saja tuh. Dengan penuh pengertian mereka mau saja bergerak sebisanya demi meluangkan tempat. Kenapa sih..., gumam Nina dalam hati dengan jengkel.

Dalam berbagai kesempatan yang bagus, Nina menjadi satu-satunya penumpang yang naik. Berarti, perjuangan menjadi separo lebih enteng, tapi bukan berarti tak berat. Sebab, lebih sering terasa ada penolakan, dan, ini yang paling bikin Nina gedeg, dia kerap mendapat pelototan dari banyak mata mbak-mbak, ibu-ibu, tante-tante, nenek-nenek di dalam gerbong.  Pernah pula sampai ada penumpang yang mendecak jengkel gara-gara Nina tak menyerah dan terus merangsek masuk. Tiap kali mengingat orang berdecak demikian, ditambah dengan betapa tak enaknya berada di bawah sorotan sekian belas pasang mata yang melotot penuh rasa tak suka; mangkel rasanya hatinya.

“Sebegitu berdosanya kah aku yang berusaha untuk turut terangkut kereta? Hmmm..., sebal!”  Demikian jeritan hati Nina—lebay sedikit bolehlah.

Barangkali memang Nina itu berotak lamban, karena, cukup memakan waktu baginya untuk menyadari di mana letak permasalahnnya. Tentu saja dia tak mau donk dianggap salah, jadi dia menganggap mereka, para perempuan di dalam gerbong khusus wanita tersebut, adalah orang-orang yang hanya mampu menilai orang dari luarnya saja. Ya kan? Dan, tambah Nina lagi, sangat diskriminatif.

Kenapa Nina berkesimpulan sedemikian rupa? Sebab, akhirnya Nina memahami bahwa unsur rambut plontosnya, dan karena dada yang selalu tertutup ransel sehingga tidak memperlihatkan ciri khas fisik perempuan yang paling mudah terlihat; membuatnya langsung disimpulkan sebagai lelaki. Arti dari semua kejadian yang dialaminya itu, di mana ia seperti dicegah masuk adalah karena rupanya dia dianggap sebagai salah kamar, eh, salah gerbong.

Bermodalkan pemahaman baru itu, Nina mulai mengatur strategi. Di hari pertama strategi tersebut hendak dipentaskan, gerbong khusus wanita yang ditujunya tidak terlalu pol sesaknya tapi lagi-lagi akses masuknya cukup dipersulit. Halangan yang segera dihadapinya adalah dari seorang ibu setengah baya yang cara berpakaiannya mengingatkan Nina akan almarhumah ibunya di saat beliau hendak pergi mengajar. Rapih, keibuan, keguruan—mungin yang terakhir ini ngarang belaka. Di belakangnya, penumpang lain jelas memasang tampang tidak suka. Maka, strategi pun Nina luncurkan. Dengan suara keras ia melantangkan pengumuman.

“Oi, saya naik gerbong ini karena saya perempuan loh, saya bukan laki-laki loh... Oi, perempuan loh saya... Bukan lelaki loh saya”.

Si ibu tadi yang semula memandang Nina dengan wajah galak, mendadak tersenyum kecut sambil ber”hehe...” tanpa rasa bersalah. Terbersit dalam pikiran Nina bahwa pasti si ibu itu menganggap dirinya senior secara umur dibandingkan Nina. Sehingga, dia tak merasa perlu minta maaf atas ketaksopanannya. Padahal, kalo soal umur mungkin dia dan Nina tidak berbeda jauh. Nina saja yang tampaknya lebih irit sedikit.

Tapi yang paling hebat adalah, tiba-tiba terdapat ruang yang cukup bagi Nina untuk bergerak dengan leluasa dan mengalir lancar menuju bagian dalam gerbong. Seperti ada celah memanjang yang terbuka, membuatnya merasa bagaikan Nabi Musa yang tengah membelah lautan... §


 Gerbong khusus wanita CL yang padat

No comments:

Post a Comment