Wednesday, July 9, 2014

Pesta Demokrasi 2014




Tak lagi dapat diingatnya seumur-umur sudah berapa kali si Nina ini ikutan pemilu. Berhubung cukup sering golput, dan, yah begitulah, karena daya ingatnya juga lemah.

"Kapan pertama kalinya kamu ikut, Nina?" aku bertanya padanya yang sedang bersusahpayah mengorek kenangan dalam pikirannya.

"Hmmmm....," gumamnya masih berpikir.

Dan, masih juga dia berpikir sehingga dengan amat sangat terpaksa aku menancapkan beberapa kuku kaki kiri depanku di lengannya.

"Au! Sakit, kan!" jerit Nina.

Kupelototi dia dengan mata bulatku ini, bertanya sekali lagi tapi tanpa kata-kata.

"Pertama kali ikut tahun 1971, Moy," katanya sambil mentutulkan betadin Tiongkok dibekas tempat aku menancapkan kuku-kukuku barusan.

Yang benar saja, masak sih pada 1971 Nina sudah ikut serta dalam pemilu? Saat itu dia kan baru duduk di bangku kelas empat sekolah dasar!

Ah, ternyata maksudnya itu adalah pemilu legislatif pertama di masa orba (orde baru). Waktu itu partai politiknya masih banyak, tampil berderet di lembar pemilihan. Tentu Nina tidak ikut mencoblos, melainkan hanya ikut-ikutan meramaikan saja. Katanya, terutama waktu penghitungan suara di TPS (tempat pemungutan suara) yang berada di depan rumahnya, suasananya ramai sekali! Seru!—dasar bocah! 

Tahun 1971 itu almarhum ayahnya Nina masih militer aktif di angkatan udara, jadi beliau tidak ikut serta. Suaranya sudah 'dirampas' oleh Golkar. Nina tak ingat apakah almarhum ibunya yang berstatus istri tentara itu punya hak mencoblos atau tidak. Masa kelam, setidaknya kelam dalam pikiran Nina alias sudah lupa. Namun cukup jelas diingat Nina ekspresi sang ayah ketika beliau akhirnya bisa memilih. Setelah beliau pensiun dari dinas ketentaraan, tentunya.

"Heheh, akhirnya ayah bisa memilih pilihan ayah sendiri," kata beliau senang sekembalinya dari TPS.

Waktu itu partai untuk dipilih tinggal tiga partai saja, tidak bererot seperti enam tahun sebelumnya. Masing-masing diwakili oleh warna kuning, hijau, dan merah. Entah yang mana yang dipilih si ayah, beliau mungkin mengungkapkannya ke Nina, mungkin juga tidak. Mungkin saja Nina sudah lupa. Yang pasti, bukan yang berwarna kuning. Sebab, seperti yang dikatakan si ayah, sekian lama suaranya telah dipakai oleh si kuning, suka atau tidak suka. Sudah cukup. 

Tahunnya adalah 1977. Nina belum cukup umur untuk punya KTP (kartu tanda penduduk), jadi belum punya hak suara juga. Ia baru masuk sekolah menengah umum atas, kelas satu. Masuknya siang hari, setelah jam duabelas. Di hari tertentu itu, sesampai di sekolah, dilihatnya bahwa di halaman sekolah ada TPS. Untuk penduduk sekitar dan murid-murid kelas dua dan kelas tiga menyalurkan suaranya. Pada masa itu sekolah tidak diliburkan demi pemilu. Yang mau memakai hak suaranya, bisa dilakukan di lingkungan sekolah. 

Akhirnya, pada 1982 tiba waktunya untuk Nina ikut pemilu. Dengan deg-degan dia masuk ke bilik suara, dengan perasaan rada takut salah dan menggerutu dalam hati ketika melihat bahwa alat tusuknya ternyata hanya sebuah paku yang luar biasa besar. Tidak sesuai dengan yang dilihatnya di baliho-baliho propaganda pemilu, di mana alat tusuknya berupa piringan kecil bergagang. Di bagian bawah dari piringan tersebut terdapat sejumlah paku-paku kecil. Bentuk piringan nya seperti pik kecil yang terbalik. 

Omong-omong, yang namanya pik itu adalah sebuah piringan dengan sejumlah paku kecil, yang pada masa itu dipakai untuk merangkai bunga. Fungsinya serupa dengan semacam busa hijau yang kini populer dipakai oleh toko-toko bunga, untuk menancapkan bunga dalam sebuah karangan atau rangkaian.

Berikutnya, tak ada dalam simpanan ingatan Nina apakah antara 1982 dan 1999 ia ada mengikuti pemilu lagi.

1999 sudah bukan masa orba, tapi sudah termasuk jaman reformasi. Pemilu masa reformasi pertama kali diadakan pada tahun 1999 itu. Mulanya, Nina berniat untuk ber-golput-ria. Meski sudah bukan jaman orba, tapi menurut Nina situasi politik tidak terasa menyegarkan. 

Pada masa-masa itu Nina kerap bekerja untuk wartawan sebuah radio dari salah satu negara di Eropa, dalam peliputan-peliputannya di Indonesia. Sebelum pemilu, mereka meliput ke propinsi D.I. Aceh (sekarang Nanggroë Aceh Darussalam). Biasanya mereka pergi berdua, tapi kali itu istrinya ikut serta. Menemani suami sembari liburan.

Pembicaraan dimulai oleh sang istri, yang bertanya kepada Nina sesuatu yang berhubungan dengan pemilu yang akan berlangsung beberapa minggu ke depan. Kalau tidak salah pertanyaan adalah tentang partai yang bagaimana kira-kira akan dipilih Nina.

"Saya tidak akan memakai suara saya," jawab Nina enteng. 

Tak diduga, si nyonya pun menceramahi Nina. Katanya, dalam sebuah pesta demokrasi macam itu adalah sebuah kerugian apabila kita si pemilih tak memakai hak suara kita. Dan sebagainya. Dan seterusnya. Dan lain-lainnya. Tapi, bukan kuliah singkat panjang lebar si istri yang membuat Nina memutuskan untuk akhirnya batal golput (golongan putih). Melainkan, karena si wartawan berlogika apabila Nina mencoblos sekaligus meliput, bisa memudahkan peliputan. Jadi, baiklah!

Pada hari H, sejatinya TPS tempat Nina memilih berada di sebuah wilayah di Jakarta Timur. Sementara TPS yang akan diliput berada di Menteng, Jakarta Pusat. Maka, berarti Nina harus pindah TPS. Saat itu peraturannya berbeda dengan sekarang, tidak ada yang namanya formulir A5 seperti yang sekarang dikenal luas. Waktu itu, disarankan entah oleh siapa, untuk datang langsung ke TPS pengganti. Berpikir Nina, bahwa kalaupun ditolak, ya sudah tak jadi soal. Tokh sesungguhnya dia memang bermaksud untuk golput.

Di TPS tujuan, Nina melapor untuk numpang memasukan suara. Ditunjukkannya lembar panggilan/pemberitahuan pemilih dari kelurahan asal. Disampaikannya keperluan mendadak pindah TPS, sebab sebagai wartawan ia tengah bertugas meliput pemilihan umum. Kartu pers resmi dari media centre penyelenggara pemilu pun ditunjukkan. Nina diterima dengan baik. Langsung bisa masuk ke bilik pemilihan tanpa harus menunggu. Yah, kebetulan masih sepi. Tapi, percayalah, kalau tak ada kartu pers tersebut belum tentu bisa segampang itu urusannya. Apalagi TPS tersebut adalah tempat di mana anggota keluarga Cendana yang sudah tak berada di tampuk kekuasaan memberikan suaranya. 

Maka, pada pemilu 1999 itu dengan sukses Nina batal menjadi golput. Ah, apakah sebenarnya golput itu? Sederhananya, golput adalah jukukan bagi orang-orang yang enggan memilih atau memberikan suaranya pada pemilu. Biasanya pada hari H mereka tak akan muncul di TPS. Tapi, menurut Nina, mereka yang masuk ke bilik pemilihan lalu merusak kertas pemilihan sampai menjadi tak sah, atau tidak mencoblos sama sekali, adalah golput juga. Golput yang diam-diam, begitu. 

Akan tetapi, sesungguhnya golput adalah sebuah gerakan moral yang dicetuskan oleh cendekiawan Arief Budiman dan teman-temannya pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta, satu bulan sebelum pemilu pertama jaman orba dilaksanakan. Tujuan dari gerakan moral golput bukanlah untuk memperoleh kemenangan politik. Melainkan, untuk melahirkan tradisi supaya ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dan dalam situasi apapun.

Ringkasnya demikian. Buat yang ingin tahu lebih banyak mungkin bisa bikin riset sendiri ya...

Kembali ke persoalan Nina dan pemilu, setelah pemilu 1999 itu, Nina tak pernah lagi berminat untuk mencoblos. Baik itu pemilu legislatif, pemilihan presiden, ataupun pilkada DKI. Pada pilkada DKI 2012, Nina masih tetap tak peduli. Hanya saja, menjelang putaran kedua ia terusik untuk menanggalkan emblim golputnya. Tiba-tiba saja ada pemikiran bahwa mungkin sebaiknya gubernur lama yang juga sedang ikut pemilihan, tidak terpilih lagi. Maka, Nina memilih lawannya, tanpa terlalu banyak berharap. Dengan pemikiran setelah pasangan tersebut menang dan ternyata mereka kerja bagus, anggap saja dapat bonus. Pasangan tersebut, Jokowi-Ahok, kenyataannya tak hanya menang, tapi mereka juga memberi bonus yang tak diharapkan oleh Nina.

Datanglah 2014 yang sudah lama digadang-gadangkan sebagai tahunnya pemilu.

"Tak hirau," pikir Nina.

Rangkaian pemilu pada 2014 ini dimulai dengan pemilu legislatif pada 9 April. Praktis libur, Nina memilih memperpanjang tidur di rumah. Setelah pileg berlalu, keluar keputusan bahwa ada dua pasang calon saja yang akan melaju ke perlombaan memperebutkan kursi presiden dan wakilnya. Terus terang, Nina tak merasa sreg dengan keduanya. Salah satunya adalah Jokowi. Pada yang satu ini, ada kekecewaan dalam diri Nina karena sang gubernur DKI terpilih itu sepertinya lari dari tugasnya yang baru jalan separo masa jabatan.

Sewaktu Jokowi sudah terpilih menjadi gubernur DKI, banyak orang yang lalu berseru "Jokowi for president 2014!". Menurut Nina, kalau orang ini mencalonkan diri jadi presiden sementara masa tugas sebagai gubernur belum selesai, apalah bedanya dia dengan politikus lainnya? Tak maulah Nina memilihnya. Karena itu Nina pun berpikir untuk tetap golput. Malas!

Tapi, melihat situasinya secara keseluruhan dan dengan mempertimbangkan berbagai hal, Nina melihat koq sepertinya ia harus memakai hak suaranya. Untuk sang gubernur DKI non aktif itu. Menjilat ludah sendiri, donk!?

"Untuk Indonesia, tidak mengapa!" tegas Nina—dan sepertinya Nina bukan satu-satunya orang yang menjilat ludahnya sendiri.

Memilih Jokowi itu sekedar untuk mencegah calon yang satu naik. Sesederhana itu. Seperti waktu Nina memilih Jokowi sebagai gunernur DKI, memilih tokoh yang satu ini untuk menjadi presiden juga tanpa harapan apa-apa. Kalau dia pada akhirnya bekerja dengan baik, maka, seperti pemikiran sebelumnya juga, itu akan menjadi bonus semata. Dan Nina pun menjalani hidup dengan santai. Biarpun memutuskan untuk tak golput, tapi tetap berpikir apabila ternyata tak ada panggilan tertulis, ya sudah, sampai di situ saja. Tak masalah. Memilihnya pun harus ke Bintaro. Kan jauh tuh.

Namun, dengan bergulirnya waktu, tanpa sadar mengamati kampanye melalui media online dan media sosial, perlahan pandangan Nina berubah. Semakin mendekati hari H, 9 Juli 2014, semakin bersemangat dia. Timbul kecemasan-kecemasan, apakah ia bisa benar-benar bisa memilih. H-16 kecemasannya membuncah, maka diusiknya kawan di mana KTP Nina beralamatkan.

"Belum ada panggilan pemilu buat gue!?" jerit Nina.

Belum ada.

H-6, kembali diusiknya sang kawan. Belum juga datang itu panggilan yang diidamkan. Sudah cek di situs KPU, ternyata ada nama Nina terdaftar di situ. Harapan beranjak naik meski baru sampai setengah tiang. Apes-apesnya, dia akan go show ke TPS yang nomernya sesuai dengan yang tercantum di namanya pada daftar di situs tersebut. Tapi bukan berarti tidak pro aktif donk. Setiap hari temannya di Bintaro itu diusiknya habis-habisan.

Sampai pagi H-2 Nina mendapat jawaban bahwa belum ada apa-apa. Harapan terpantek saja di setengah tiang nih. Namun, beberapa jam setelah melempar rengekan di H-2, sang kawan balik menghubungi.

"Udah dateng nih!!!" katanya. 

Wuhaaaa..., harapan Nina segera meluncur ketitik paling atas! Tring!!! Perlengkapan misi telah lengkap!

Sekarang, pada saat aku menyelesaikan catatanku ini, hari H tinggal beberapa jam lagi. Tapi, Nina masih belum bisa tidur. Terlalu tegang, cemas, gelisah; sekaligus semangat dan gembira untuk menceburkan diri ke pesta demokrasi teranyar ini. Pilihan sudah mantab, tinggal pelaksanaannya saja. Sebentar lagi. 

Aku tahu, Nina takut jagoannya akan kalah. Que sera sera, Nin, siapa sih yang tahu tentang waktu yang belum datang? Kuatkan hati saja, bersiap dengan segala kemungkinan. Dan, bersikaplah seperti kata-kata dalam lirik lagu kelompok Kill the DJ ini, Menang tak jumawa, kalau kalah lapang dada”. §





Ini dia lembar panggilan yang diharap-harapkan oleh Nina

No comments:

Post a Comment