Monday, June 30, 2014

Pirantimu di Gedung Bioskop



Belum lama ini di internet dan/atau media sosial beredar sebuah video iklan layanan masyarakat yang menarik—tentunya menarik untuk manusia ya, bukan untuk kucing macam aku. Persembahan sebuah perusahaan produsen mobil terkenal.

Iklan tersebut mengambil tempat di dalam sebuah ruang bioskop yang dipadati penonton. Ketika gelap sudah melingkup, di layar mulai tertayang adegan. Dengan sudut pandang dari dalam sebuah mobil, di mana penonton seolah berada di belakang setir. Mobil berlari dalam kecepatan yang tak rendah.

Tiba-tiba, semua telepon genggam dan/atau piranti sejenis milik penonton berbunyi dalam waktu yang bersamaan. Hasil rekayasa dari penyelenggara tontonan sebetulnya, yang tersembunyi dari mata para penonton. Semua orang dengan sigap mengeluarkan pirantinya masing-masing, dan mengalihkan pandangan dari layar bioskop ke monitor piranti mereka. Tak peduli bahwa mereka berada di dalam bioskop, di mana perhatian seharusnya terarah hanya ke layar besar di depan. Ketika semua sibuk mengamati pirantinya di tangannya itulah, sesuatu terjadi dalam film tersebut. Mobil menabrak sesuatu dengan suara keras. Semua penonton terkesiap, mengembalikan pandangan mata kembali ke layar film.

Semua mata terpaku ke layar dan  semua orang melongo dengan tegang. Mobil di layar sudah tak bergerak, kaca depannya pecah. Lalu, keluar sebentuk tulisan. Sebuah peringatan untuk umat manusia, bahwa menyetir sambil bertelepongenggam itu tinggi bahayanya.

Begitulah, betapa manusia tak bersedia untuk lepas dari pirantinya barang sekejap bahkan ketika sedang menonton di bioskop. Padahal kan sudah meluangkan waktu, dan khusus datang ke bioskop untuk menonton. Berada dalam bioskop dengan kemauan sendiri tanpa paksaan, dan dengan membayar pula—ah, tapi barangkali ada juga ya yang dipaksa pacarnya hehe... Sudah begitu, rela saja ketinggalan adegan-adegan penting dalam film yang, seharusnya, ditonton dengan konsentrasi penuh tapi kalah prioritas dibandingkan dengan piranti kesehariannya itu.

Dalam iklan layanan masyarakat di atas, terlihat bagaimana semua penonton memposisikan pirantinya untuh mudah di raih setiap saat. Artinya, mereka bersiaga untuk segera bereaksi bila ada panggilan masuk. Kalau si Nina berada di antara penonton di iklan itu, kemungkinan besar dia akan menjadi satu-satunya orang yang tak mengeluarkan telepon genggamnya.

"Aku selalu memasukan hape-ku ke ransel, dan ranselku aku letakan di bawah di antara kedua kaki. Bila ada panggilan masuk, pasti tak terdengar," demikian Nina beralasan.

Karena itu, suatu saat ketika sedang menonton sebuah film di satu sinepleks, Nina menjadi sangat terkejut ketika telepon genggamnya berbunyi dengan kerasnya. Namun, olala, ternyata suara itu bukan berasal dari telepon genggamnya. Melainkan, dari telepon genggam milik tokoh Lois Lane di film yang sedang ditonton. Ringtone-nya sama persis dengan panggilan masuk di telepon genggamnya Nina hahahaha...

Oh, tapi, kalau yang berbunyi adalah weker alias alarm clock, ugh..., bunyinya bisa sangat keras dan mengganggu. Percayalah, karena Nina pernah mengalaminya, gara-gara sehari sebelumnya lupa mematikan fungsi tersebut di telepon genggamnya. Dengan gaya sok kalem, dia merunduk-runduk ke ranselnya di bawah supaya bisa mematikan panggilan pengingat tersebut.

Dengan kebiasaannya menyimpan telepon genggamnya rapat-rapat dalam tas, seselesainya menonton kemungkinan Nina akan menemukan sekian banyak panggilan tak terjawab dan pesan-pesan singkat. Tak soal, tokh bisa dijawab setelah kelar menonton. Tak mau tuh dia seperti banyak orang yang cepat-cepat membalas pesan singkatnya, atau bahkan menjawab telepon masuk di tengah pertunjukan film dengan percakapan. Sama mengganggunya dengan suara orang yang mengobrol. Sebelum film dimulai, selalu ada peringatan dari pengelola gedung pertunjukan supaya penonton mematikan telepon genggamnya, dan agar tidak bercakap-cakap selama pertunjukan berlangsung. Tapi, tak pernah diambil pusing oleh penonton. Tak heran sih, demo keamanan penerbangan yang selalu ditampilkan pramugari sebelum penerbangan yang notabene ada hubungannya dengan keselamatan jiwa saja diabaikan. Apalagi peringatan tanpa resiko keamanan jiwa di bioskop begitu.

Tapi, sesungguhnya, yang paling mengganggu Nina dari pemakaian piranti semacam itu dalam ruang gelap sebuah bioskop adalah pijaran layarnya. Pijaran yang selalu muncul di kegelapan, sesuai dengan selera si pemilik untuk memeriksa apakah ada pesan baru untuknya atau tidak. Mungkin akan diikuti dengan adegan si pemilik mengetik sesuatu di situ. Mungkin menjawab sms/bb/dm/apa-aja-deh, mungkin juga meng-update status di ef-beh sebagai suatu pengumuman. “Nonton how to train your dragon 2 di anu-anu-anu. Now!”

Apa? Piranti diutak-utik karena sedang mengurus pekerjaan yang mendadak masuk dan tak bisa ditunda?

“Pergi donk keluar ruang bioskop. Cari tempat yang nyaman untuk menyelesaikan pekerjaan. Memangnya pekerjaan bisa dibereskan dengan setengah hati begitu, sembari liat Hiccup dan Toothless terbang-terbang!” gerundel Nina.

Yaaah..., nggak semua orang seperti kamu, Nin, yang kalau kerja perlu konsentrasi penuh. Kamu aja sih yang lamban hahaha...

Sering juga piranti berpijar tersebut manteng untuk beberapa lama.Sebab si pemilik meletakannya di pangkuannya, membiarkan monitornya yang terus bersinar itu menghadap ke atas. Sesekali si pemilik melirik sang piranti, dan layar monitor disentuh-sentuh sehingga pijarannya menjadi abadi.

Nina gagal paham kenapa orang menjadi begitu sangat tergantung dengan piranti perhubungannya tersebut. Sebaliknya, orang mungkin gagal paham kenapa pijaran piranti perhubungan itu bisa sangat mengganggu Nina. Kalau Nina akan menjawab, “pokoknya mengganggu!” Tapi aku akan menjelaskan sedikit sebab mengapa.

Nina sebetulnya tidak menyukai menonton film dan panggung pertunjukan. Sebab, pendaran cahaya dari layar/panggung di ruang pertunjukkan yang gelap akan menyakitkan matanya. Entah kenapa, belum tahu sebabnya. Silau, pokoknya begitu. Lalu kalau tiba-tiba di sana-sini ada titik-titik pijar lain, hal itu jadi makin menambah ketaknyamanannya kan. Silahkan heran, tapi itu kenyataan.

Ya sudah, demikian Nina berdamai pada dirinya sendiri. Maklum sajalah, namanya juga bioskop, sebuah ruang publik. Tempat umum di mana banyak orang yang bersikap seenaknya seolah di rumahnya sendiri. Lumayan kampungan, tapi ya apa boleh buat. Namanya hidup, yang macam itu pasti saja ada.

Maka, ketika Nina menonton di festival ChopShots dan Europe on Screen (EoS), Nina berprasangka pasti situasinya lebih baik. Kan, penontonnya lebih eksklusif, bukan ‘orang kebanyakan’. Dengan tempat yang juga ekslusif macam di GoetheHaus dan pusat kebudayaan asing lainnya.

Tapi, si Nina salah berpendapat tuh. Bahwa film-film pada festival ChopShots bukan film-film macam Hollywood yang digemari berbagai kalangan, melainkan film-film dokumenter yang penyukanya semakin mengerucut, bukan berarti mereka cukup sopan untuk menyimpan baik-baik telepon genggamnya saat menonton. Mata Nina masih menangkap pijaran monitor telepon genggam ternyata, telinganya bahkan menangkap suara panggilan masuk. Padahal, sebelum film dimulai, panitia khusus mengumumkan secara oral agar para penonton mematikan telepon genggamnya.

Yang di atas adalah situasi waktu festival dokumenter ChopShots. Di EoS ternyata situasinya lebih buruk. Mungkin karena pada EoS juga terdapat film-film cerita yang biasanya lebih menarik perhatian orang. Kalau ketika menonton di Chopshot deretan bangku di depan Nina lebih banyak kosong, sedangkan pada saat EoS lebih banyak terisi. Di antaranya terdapat manusia-manusia yang seolah akan mati bila tak mengecek telepon genggam atau tablet-nya setiap saat. Satu kali, orang yang duduk di sebelah kiri Nina adalah pelakunya. Sebentar-sebentar ia membuka tablet-nya. Kadang menulis sesuatu—ngobrol atau kerja sambil nonton ya sama saja ajaibnya. Sampai-sampai Nina tak tahan dan mentowel si empunya piranti.

"Mas, maaf, tapi hp-nya bikin silau mata saya," sembur Nina secara halus.

Si empunya piranti awalnya kaget, tapi lalu memandang Nina dengan pandangan, "Apa urusan gue kalo elo merasa terganggu," sambil terus lanjut dengan kesibukannya

Bweh...

Tapi, ada hal lain yang lebih spektakuler. Sebagian orang yang tidak menyimpan pirantinya di dalam tas atau saku, akan meletakkannya di pangkuan. Asik nonton jadi lupa, piranti pun melorot jatuh. Di gedung bioskop atau sineplek tempat duduknya selain empuk, terbukti aman menjaga piranti yang melorot itu. Tidak demikian dengan di GoetheHaus, yang lantainya pun bukan berlapis karpet melainkan kayu parket. Akibatnya, "Bletaaaaak!!!"

Pertama mendengar kegaduhan itu, Nina terkejut. Kedua kalinya, ia menepuk jidad. Ketiga kalinya cukup menghela nafas. Selanjutnya, sudah tak dihitung itu kali berapa meski tetap sebal.



Penonton ego di EoS, GoetheHaus.
Sibuk dengan piranti, plus tak peduli meletakan kaki bersepatu di senderan tempat duduk di depannya.

No comments:

Post a Comment