"Kenapa fotografer suka ada selendang di tas-nya?" tanya onti Didi, mamih-nya kucing bos Pacoh, kepada Nina pada suatu hari.
Pertanyaan yang akhirnya dilontarkan onti Didi setelah selama ini berpendapat bahwa merupakan suatu kewajiban bagi seseorang
dengan profesi dalam bidang fotografi untuk melilitkan selendang di tasnya.
Ah, tapi pasti maksudnya si onti adalah syal. Bukan selendang seperti
yang dipakai ibu-ibu kalau pakai kebaya.
Sebelumnya aku jelaskan terlebih dahulu ya, apa itu handuk good morning.
Itu adalah sebentuk handuk kecil berwarna putih, dengan semburat garis biru tua di kedua sisi panjangnya. Di salah
satu ujungnya terdapat tulisan berwarna merah, dalam huruf kanji Tiongkok dan
latin. Huruf latinnya memakai
tulisan bersambung bagaikan tulisan tangan yang berbunyi 'good morning'.
Handuk good morning adalah handuk kesayangan alamarhum ibunya Nina. Dipakai untuk melapisi
bantal beliau. Sementara pekerja yang menggunakan handuk sejenis biasanya
mengalungkannya di leher. Sesekali dipakai untuk
menyeka keringat di wajah. Setelah beberapa waktu, warna putih dari handuk ini akan menggelap.
Makin lama makin gelap sampai-sampai
tak jarang menjadi berwarna coklat
seperti babad goreng.
Jadi, prinsipnya syal
yang sering diikatkan oleh
para fotografer—tepatnya fotojurnalis alias pewarta foto—di tas atau ransel kameranya itu, menyandang fungsi yang sama dengan
handuk cihuy tadi. Untuk menyeka
keringat. Difungsikan pula sebagai pelapis kepala
sebelum memakai helm tukang ojeg yang sudah dipakai oleh sejuta umat sehingga kebersihannya diragukan. Juga dapat dipakai untuk menutup mulut
dan hidung ketika naik motor. Mencegah
polusi terhisap terlalu banyak, atau, ketika ada gas airmata dilontarkan polisi saat meliput demo. Untuk
yang terakhir jangan lupa membasahinya dengan air bersih terlebih dahulu ya...
Syal-syal yang
digunakan oleh para pewarta foto bervariasi
macam dan rupanya. Maksudnya, ada yang merupakan selendang batik pendek atau selendang tenun yang juga pendek dan berasal dari berbagai
daerah di Indonesia. Kebanyakan merupakan todongan oleh-oleh dari rekan
seprofesi yang kembali dari penugasan luar kota. Coba saja tanyakan dari mana syal itu, atau, kalau
iseng, diminta saja sekalian. Pasti jawabannya kurang lebih akan berbunyi,
“Jangan donk! Ini oleh-oleh si Polan
waktu penugasannya ke daerah Anu-anu”. Mungkin akan ditambah dengan penjelasan
bahwa ia sendiri hampir saja tak kebagian jatah oleh-oleh dari si Pulan itu.
Hehe...
Selain macamnya syal yang
disebutkan di atas, juga banyak dikenakan oleh para pewarta foto adalah syal-syal
katun dengan motif kota-kotak. Dengan beragam variasi warna tapi umumnya ada warna
putihnya; merah-putih, biru-putih, coklat-putih, hitam-putih, ungu-putih, dan
seterusnya. Nah, yang ini bukan berasal dari Indonesia. Disebut krama bila berasal dari Kamboja, atau khăn rằn kalau yang dari Vietnam—untuk
kemudahan penunjukan, selanjutnya jenis syal ini aku sebut krama ya.
Berdasarkan pengamatan Nina, pemakaian syal macam itu di antara
para pewarta terutama pewarta foto mulai menjadi marak sejak Masa Reformasi 1998 lalu. Saat itu, Indonesia yang sedang
bergolak didatangi oleh banyak pewarta dari seluruh dunia. Jurnalis-jurnalis televisi, radio, media
cetak, dan foto. Kebanyakan dari mereka memakai krama katun untuk menghadapi hawa dan udara
panas di tanah air kita. Kebiasaan tersebut segera diadopsi oleh
orang-orang lokal yang juga meliput gegap gempitanya gelora reformasi.
Termasuk di antaranya adalah
Nina yang meskipun bukan
pewarta tapi membantu media televisi dan radio asing. Koleksinya pun
segera menumpuk. Rupa-rupa warnanya. Dibawakan oleh teman dan kenalan yang
berkunjung negara-negara
jiran asal krama dan khăn rằn itu. Bila turun ke
lapangan untuk meliput, lehernya pasti berkalung krama. Sampai mendapat tegoran dari seorang temannya ketika meliput kerusuhan berdasarkan
agama di Ambon pada 1999
lalu. Di tempat itu, dua kelompok
agama yang bertikai mewakili diri mereka masing-masing dengan
warna-warna yang berbeda. Satunya dengan merah, lainnya putih. Ceritanya, Nina yang kurang sensitif itu
memakai krama kotak-kotanya merah dan
putih. Dikhawatirkan akan menjadi sasaran kekerasan dari
salah satu kelompok, krama kebanggan
itupun segera Nina selipkan dalam-dalam di travelling bag-nya.
Sedikit catatan, bukan berarti sebelum 1998 tak ada sama sekali pewarta
tanah air berkalung syal atau
krama di lehernya. Seingat Nina,
Oscar Motuloh, pewarta foto terkemuka Indonesia yang waktu itu masih menjadi
praktisi warta foto di kantor berita fotojurnalistik Antara, sudah wira-wiri berkalung krama sebelum Indonesia dibanjiri pewarta asing
ber-krama.
Krama di Kamboja secara
tradisional merupakan bagian dari perlengkapan berpakaian yang bisa dipakai
untuk bermacam tujuan. Dikenakan baik oleh
perempuan maupun laki-laki, dari berbagai usia termasuk oleh anak-anak. Warna-warna
tradisionalnya adalah merah-putih atau biru-putih. Ketika Khmer Merah (Khmer Rouge) berkuasa, rakyat Kamboja tak diperkenankan untuk memakai
pakaian selain pakaian standar berwarna hitam. Terdiri dari hem dan celana panjang
atau rok panjang, dilengkapi dengan sepatu sandal yang terbuat dari ban bekas,
dan krama yang dililitkan di leher
sebagai identitas bangsa.
Di Vietnam, syal sejenis
disebut khăn rằn dan banyak dikenakan
oleh penduduk di Delta Mekong. Krama
adalah akar dari khăn rằn. Secara
harfiah kata khăn berarti handuk atau
syal, dan rằn adalah garis-garis. Khăn rằn banyak dikenakan bersama
dengan pakaian tradisional yang disebut áo
bà ba. Ketika berlangsungnya Perang Vietnam, pemakaian khăn rằn juga menjadi identitas diri para pejuang Viet Cong. Tak
jarang selembar khăn rằn yang dikenakan
oleh si pejuang merupakan hadiah yang diterimanya sebagai penghargaan atas
keberaniannya di medan perang. Konon, di masa Perang Vietnam, bila tentara GI
Amerika melihat lawannya adalah pejuang yang mengenakan khăn rằn, mereka akan segera tahu bahwa mereka berhadapan dengan petempur kelas tinggi.
Lalu, sejak kapan pewarta dari Barat mulai mengenakan krama? Hmmm..., maaf, penelitian Nina
belum sampai ke sana. Tapi, sepertinya pemakaian krama oleh seorang pewarta diam-diam
menjadi status simbol tersendiri. Sebagai tanda bahwa dia adalah seorang hardcore journalist yang pernah bertugas di garis depan sebuah daerah pertempuran. Bahwa ia pernah merunduk-runduk di bawah desingan
peluru. Sedangkan berdasarkan yang
pernah Nina baca di internet, pemakaian
syal atau scarf etnis seperti krama—dan juga tipe lain dari
daerah-daerah konflik lainnya di seluruh dunia—oleh seorang pewarta foto
khususnya, akan membedakan dirinya dari fotografer ‘biasa’. Dan, tentunya, ketika
seorang pewarta memakai krama atau khăn rằn, artinya ia pernah bertugas di
Kamboja atau Vietnam sehingga ia ‘berhak’ mengenakan syal tersebut—berbeda dengan
Nina yang koleksi krama dan khăn rằn-nya semua merupakan oleh-oleh
hahaha...
Beberapa waktu lalu, tante
Lulu temannya Nina berdinas ke Vietnam dan Thailand. Sebagai oleh-oleh untuk
Nina terdapat sebuah syal yang dikiranya adalah khăn rằn dari Vietnam. Tapi, ternyata syal tersebut dibeli tante
Lulu di Bangkok. Mungkin tidak perlu heran, sebab, di sebuah daerah tertentu di
Thailand yang berdekatan dengan Kamboja, dikenal perlengkapan pakaian yang
disebut sebagai pha khao ma. Pha
khao ma ukurannya bervariasi dari yang besar dan dipergunakan sebagai
sarung, sampai dengan berukuran kecil dan berfungsi sebagai syal seperti karma dan khăn rằn. Motifnya kotak-kotak juga.
Meskipun Nina menyukai
syal-syal semacam itu, bukan itu alasan tante Lulu mengoleh-olehi Nina sebuah pha khao ma dari Bangkok. Melainkan, karena di ujung pha khao ma tersebut terdapat aplikasi kucing. Lucu kan?
Krama
Pha khao ma kucing
No comments:
Post a Comment