Sunday, June 29, 2014

Syal di Lehermu



"Kenapa fotografer suka ada selendang di tas-nya?" tanya onti Didi, mamih-nya kucing bos Pacoh, kepada Nina pada suatu hari.

Pertanyaan yang akhirnya dilontarkan onti Didi setelah selama ini berpendapat bahwa merupakan suatu kewajiban bagi seseorang dengan profesi dalam bidang fotografi untuk melilitkan selendang di tasnya. 

Ah, tapi pasti maksudnya si onti adalah syal. Bukan selendang seperti yang dipakai ibu-ibu kalau pakai kebaya.

"Pengganti handuk good morning tuh," jawab Nina kalem.

Sebelumnya aku jelaskan terlebih dahulu ya, apa itu handuk good morning. Itu adalah sebentuk handuk kecil berwarna putih, dengan semburat garis biru tua di kedua sisi panjangnya. Di salah satu ujungnya terdapat tulisan berwarna merah, dalam huruf kanji Tiongkok dan latin. Huruf latinnya memakai tulisan bersambung bagaikan tulisan tangan yang berbunyi 'good morning'.

Handuk good morning adalah handuk kesayangan alamarhum ibunya Nina. Dipakai untuk melapisi bantal beliau. Sementara pekerja yang menggunakan handuk sejenis biasanya mengalungkannya di leher. Sesekali dipakai untuk menyeka keringat di wajah. Setelah beberapa waktu, warna putih dari handuk ini akan menggelap. Makin lama makin gelap sampai-sampai tak jarang menjadi berwarna coklat seperti babad goreng.

Jadi, prinsipnya syal yang sering diikatkan oleh para fotografertepatnya fotojurnalis alias pewarta foto—di tas atau ransel kameranya itu, menyandang fungsi yang sama dengan handuk cihuy tadi. Untuk menyeka keringat. Difungsikan pula sebagai pelapis kepala sebelum memakai helm tukang ojeg yang sudah dipakai oleh sejuta umat sehingga kebersihannya diragukan. Juga dapat dipakai untuk menutup mulut dan hidung ketika naik motor. Mencegah polusi terhisap terlalu banyak, atau, ketika ada gas airmata dilontarkan polisi saat meliput demo. Untuk yang terakhir jangan lupa membasahinya dengan air bersih terlebih dahulu ya...

Syal-syal yang digunakan oleh para pewarta foto bervariasi macam dan rupanya. Maksudnya, ada yang merupakan selendang batik pendek atau selendang tenun yang juga pendek dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Kebanyakan merupakan todongan oleh-oleh dari rekan seprofesi yang kembali dari penugasan luar kota. Coba saja tanyakan dari mana syal itu, atau, kalau iseng, diminta saja sekalian. Pasti jawabannya kurang lebih akan berbunyi, “Jangan donk! Ini oleh-oleh si Polan waktu penugasannya ke daerah Anu-anu”. Mungkin akan ditambah dengan penjelasan bahwa ia sendiri hampir saja tak kebagian jatah oleh-oleh dari si Pulan itu. Hehe...

Selain macamnya syal yang disebutkan di atas, juga banyak dikenakan oleh para pewarta foto adalah syal-syal katun dengan motif kota-kotak. Dengan beragam variasi warna tapi umumnya ada warna putihnya; merah-putih, biru-putih, coklat-putih, hitam-putih, ungu-putih, dan seterusnya. Nah, yang ini bukan berasal dari Indonesia. Disebut krama bila berasal dari Kamboja, atau khăn rằn kalau yang dari Vietnam—untuk kemudahan penunjukan, selanjutnya jenis syal ini aku sebut krama ya.

Berdasarkan pengamatan Nina, pemakaian syal macam itu di antara para pewarta terutama pewarta foto mulai menjadi marak sejak Masa Reformasi 1998 lalu. Saat itu, Indonesia yang sedang bergolak didatangi oleh banyak pewarta dari seluruh dunia. Jurnalis-jurnalis televisi, radio, media cetak, dan foto. Kebanyakan dari mereka memakai krama katun untuk menghadapi hawa dan udara panas di tanah air kita. Kebiasaan tersebut segera diadopsi oleh orang-orang lokal yang juga meliput gegap gempitanya gelora reformasi.

Termasuk di antaranya adalah Nina yang meskipun bukan pewarta tapi membantu media televisi dan radio asing. Koleksinya pun segera menumpuk. Rupa-rupa warnanya. Dibawakan oleh teman dan kenalan yang berkunjung negara-negara jiran asal krama dan khăn rằn itu. Bila turun ke lapangan untuk meliput, lehernya pasti berkalung krama. Sampai mendapat tegoran dari seorang temannya ketika meliput kerusuhan berdasarkan agama di Ambon pada 1999 lalu. Di tempat itu, dua kelompok agama yang bertikai mewakili diri mereka masing-masing dengan warna-warna yang berbeda. Satunya dengan merah, lainnya putih.  Ceritanya, Nina yang kurang sensitif itu memakai krama kotak-kotanya merah dan putih. Dikhawatirkan akan menjadi sasaran kekerasan dari salah satu kelompok, krama kebanggan itupun segera Nina selipkan dalam-dalam di travelling bag-nya.

Sedikit catatan, bukan berarti sebelum 1998 tak ada sama sekali pewarta tanah air berkalung syal atau krama di lehernya. Seingat Nina, Oscar Motuloh, pewarta foto terkemuka Indonesia yang waktu itu masih menjadi praktisi warta foto di kantor berita fotojurnalistik Antara, sudah wira-wiri berkalung krama sebelum Indonesia dibanjiri pewarta asing ber-krama.

Krama di Kamboja secara tradisional merupakan bagian dari perlengkapan berpakaian yang bisa dipakai untuk bermacam tujuan. Dikenakan baik oleh perempuan maupun laki-laki, dari berbagai usia termasuk oleh anak-anak. Warna-warna tradisionalnya adalah merah-putih atau biru-putih. Ketika Khmer Merah (Khmer Rouge) berkuasa, rakyat Kamboja tak diperkenankan untuk memakai pakaian selain pakaian standar berwarna hitam. Terdiri dari hem dan celana panjang atau rok panjang, dilengkapi dengan sepatu sandal yang terbuat dari ban bekas, dan krama yang dililitkan di leher sebagai identitas bangsa.

Di Vietnam, syal sejenis disebut khăn rằn dan banyak dikenakan oleh penduduk di Delta Mekong. Krama adalah akar dari khăn rằn. Secara harfiah kata khăn berarti handuk atau syal, dan rằn adalah garis-garis. Khăn rằn banyak dikenakan bersama dengan pakaian tradisional yang disebut áo bà ba. Ketika berlangsungnya Perang Vietnam, pemakaian khăn rằn juga menjadi identitas diri para pejuang Viet Cong. Tak jarang selembar khăn rằn yang dikenakan oleh si pejuang merupakan hadiah yang diterimanya sebagai penghargaan atas keberaniannya di medan perang. Konon, di masa Perang Vietnam, bila tentara GI Amerika melihat lawannya adalah pejuang yang mengenakan khăn rằn, mereka akan segera tahu bahwa mereka berhadapan dengan petempur kelas tinggi.

Lalu, sejak kapan pewarta dari Barat mulai mengenakan krama? Hmmm..., maaf, penelitian Nina belum sampai ke sana. Tapi, sepertinya pemakaian krama oleh seorang pewarta diam-diam menjadi status simbol tersendiri. Sebagai tanda bahwa dia adalah seorang hardcore journalist yang pernah bertugas di garis depan sebuah daerah pertempuran. Bahwa ia pernah merunduk-runduk di bawah desingan peluru. Sedangkan berdasarkan yang pernah Nina baca di internet, pemakaian syal atau scarf etnis seperti krama—dan juga tipe lain dari daerah-daerah konflik lainnya di seluruh dunia—oleh seorang pewarta foto khususnya, akan membedakan dirinya dari fotografer ‘biasa’. Dan, tentunya, ketika seorang pewarta memakai krama atau khăn rằn, artinya ia pernah bertugas di Kamboja atau Vietnam sehingga ia ‘berhak’ mengenakan syal tersebut—berbeda dengan Nina yang koleksi krama dan khăn rằn-nya semua merupakan oleh-oleh hahaha...

Beberapa waktu lalu, tante Lulu temannya Nina berdinas ke Vietnam dan Thailand. Sebagai oleh-oleh untuk Nina terdapat sebuah syal yang dikiranya adalah khăn rằn dari Vietnam. Tapi, ternyata syal tersebut dibeli tante Lulu di Bangkok. Mungkin tidak perlu heran, sebab, di sebuah daerah tertentu di Thailand yang berdekatan dengan Kamboja, dikenal perlengkapan pakaian yang disebut sebagai pha khao ma. Pha khao ma ukurannya bervariasi dari yang besar dan dipergunakan sebagai sarung, sampai dengan berukuran kecil dan berfungsi sebagai syal seperti karma dan khăn rằn. Motifnya kotak-kotak juga.

Meskipun Nina menyukai syal-syal semacam itu, bukan itu alasan tante Lulu mengoleh-olehi Nina sebuah pha khao ma dari Bangkok. Melainkan, karena di ujung pha khao ma tersebut terdapat aplikasi kucing. Lucu kan?


Krama


 Pha khao ma kucing

No comments:

Post a Comment