Monday, June 30, 2014

Pirantimu di Gedung Bioskop



Belum lama ini di internet dan/atau media sosial beredar sebuah video iklan layanan masyarakat yang menarik—tentunya menarik untuk manusia ya, bukan untuk kucing macam aku. Persembahan sebuah perusahaan produsen mobil terkenal.

Iklan tersebut mengambil tempat di dalam sebuah ruang bioskop yang dipadati penonton. Ketika gelap sudah melingkup, di layar mulai tertayang adegan. Dengan sudut pandang dari dalam sebuah mobil, di mana penonton seolah berada di belakang setir. Mobil berlari dalam kecepatan yang tak rendah.

Tiba-tiba, semua telepon genggam dan/atau piranti sejenis milik penonton berbunyi dalam waktu yang bersamaan. Hasil rekayasa dari penyelenggara tontonan sebetulnya, yang tersembunyi dari mata para penonton. Semua orang dengan sigap mengeluarkan pirantinya masing-masing, dan mengalihkan pandangan dari layar bioskop ke monitor piranti mereka. Tak peduli bahwa mereka berada di dalam bioskop, di mana perhatian seharusnya terarah hanya ke layar besar di depan. Ketika semua sibuk mengamati pirantinya di tangannya itulah, sesuatu terjadi dalam film tersebut. Mobil menabrak sesuatu dengan suara keras. Semua penonton terkesiap, mengembalikan pandangan mata kembali ke layar film.

Semua mata terpaku ke layar dan  semua orang melongo dengan tegang. Mobil di layar sudah tak bergerak, kaca depannya pecah. Lalu, keluar sebentuk tulisan. Sebuah peringatan untuk umat manusia, bahwa menyetir sambil bertelepongenggam itu tinggi bahayanya.

Begitulah, betapa manusia tak bersedia untuk lepas dari pirantinya barang sekejap bahkan ketika sedang menonton di bioskop. Padahal kan sudah meluangkan waktu, dan khusus datang ke bioskop untuk menonton. Berada dalam bioskop dengan kemauan sendiri tanpa paksaan, dan dengan membayar pula—ah, tapi barangkali ada juga ya yang dipaksa pacarnya hehe... Sudah begitu, rela saja ketinggalan adegan-adegan penting dalam film yang, seharusnya, ditonton dengan konsentrasi penuh tapi kalah prioritas dibandingkan dengan piranti kesehariannya itu.

Dalam iklan layanan masyarakat di atas, terlihat bagaimana semua penonton memposisikan pirantinya untuh mudah di raih setiap saat. Artinya, mereka bersiaga untuk segera bereaksi bila ada panggilan masuk. Kalau si Nina berada di antara penonton di iklan itu, kemungkinan besar dia akan menjadi satu-satunya orang yang tak mengeluarkan telepon genggamnya.

"Aku selalu memasukan hape-ku ke ransel, dan ranselku aku letakan di bawah di antara kedua kaki. Bila ada panggilan masuk, pasti tak terdengar," demikian Nina beralasan.

Karena itu, suatu saat ketika sedang menonton sebuah film di satu sinepleks, Nina menjadi sangat terkejut ketika telepon genggamnya berbunyi dengan kerasnya. Namun, olala, ternyata suara itu bukan berasal dari telepon genggamnya. Melainkan, dari telepon genggam milik tokoh Lois Lane di film yang sedang ditonton. Ringtone-nya sama persis dengan panggilan masuk di telepon genggamnya Nina hahahaha...

Oh, tapi, kalau yang berbunyi adalah weker alias alarm clock, ugh..., bunyinya bisa sangat keras dan mengganggu. Percayalah, karena Nina pernah mengalaminya, gara-gara sehari sebelumnya lupa mematikan fungsi tersebut di telepon genggamnya. Dengan gaya sok kalem, dia merunduk-runduk ke ranselnya di bawah supaya bisa mematikan panggilan pengingat tersebut.

Dengan kebiasaannya menyimpan telepon genggamnya rapat-rapat dalam tas, seselesainya menonton kemungkinan Nina akan menemukan sekian banyak panggilan tak terjawab dan pesan-pesan singkat. Tak soal, tokh bisa dijawab setelah kelar menonton. Tak mau tuh dia seperti banyak orang yang cepat-cepat membalas pesan singkatnya, atau bahkan menjawab telepon masuk di tengah pertunjukan film dengan percakapan. Sama mengganggunya dengan suara orang yang mengobrol. Sebelum film dimulai, selalu ada peringatan dari pengelola gedung pertunjukan supaya penonton mematikan telepon genggamnya, dan agar tidak bercakap-cakap selama pertunjukan berlangsung. Tapi, tak pernah diambil pusing oleh penonton. Tak heran sih, demo keamanan penerbangan yang selalu ditampilkan pramugari sebelum penerbangan yang notabene ada hubungannya dengan keselamatan jiwa saja diabaikan. Apalagi peringatan tanpa resiko keamanan jiwa di bioskop begitu.

Tapi, sesungguhnya, yang paling mengganggu Nina dari pemakaian piranti semacam itu dalam ruang gelap sebuah bioskop adalah pijaran layarnya. Pijaran yang selalu muncul di kegelapan, sesuai dengan selera si pemilik untuk memeriksa apakah ada pesan baru untuknya atau tidak. Mungkin akan diikuti dengan adegan si pemilik mengetik sesuatu di situ. Mungkin menjawab sms/bb/dm/apa-aja-deh, mungkin juga meng-update status di ef-beh sebagai suatu pengumuman. “Nonton how to train your dragon 2 di anu-anu-anu. Now!”

Apa? Piranti diutak-utik karena sedang mengurus pekerjaan yang mendadak masuk dan tak bisa ditunda?

“Pergi donk keluar ruang bioskop. Cari tempat yang nyaman untuk menyelesaikan pekerjaan. Memangnya pekerjaan bisa dibereskan dengan setengah hati begitu, sembari liat Hiccup dan Toothless terbang-terbang!” gerundel Nina.

Yaaah..., nggak semua orang seperti kamu, Nin, yang kalau kerja perlu konsentrasi penuh. Kamu aja sih yang lamban hahaha...

Sering juga piranti berpijar tersebut manteng untuk beberapa lama.Sebab si pemilik meletakannya di pangkuannya, membiarkan monitornya yang terus bersinar itu menghadap ke atas. Sesekali si pemilik melirik sang piranti, dan layar monitor disentuh-sentuh sehingga pijarannya menjadi abadi.

Nina gagal paham kenapa orang menjadi begitu sangat tergantung dengan piranti perhubungannya tersebut. Sebaliknya, orang mungkin gagal paham kenapa pijaran piranti perhubungan itu bisa sangat mengganggu Nina. Kalau Nina akan menjawab, “pokoknya mengganggu!” Tapi aku akan menjelaskan sedikit sebab mengapa.

Nina sebetulnya tidak menyukai menonton film dan panggung pertunjukan. Sebab, pendaran cahaya dari layar/panggung di ruang pertunjukkan yang gelap akan menyakitkan matanya. Entah kenapa, belum tahu sebabnya. Silau, pokoknya begitu. Lalu kalau tiba-tiba di sana-sini ada titik-titik pijar lain, hal itu jadi makin menambah ketaknyamanannya kan. Silahkan heran, tapi itu kenyataan.

Ya sudah, demikian Nina berdamai pada dirinya sendiri. Maklum sajalah, namanya juga bioskop, sebuah ruang publik. Tempat umum di mana banyak orang yang bersikap seenaknya seolah di rumahnya sendiri. Lumayan kampungan, tapi ya apa boleh buat. Namanya hidup, yang macam itu pasti saja ada.

Maka, ketika Nina menonton di festival ChopShots dan Europe on Screen (EoS), Nina berprasangka pasti situasinya lebih baik. Kan, penontonnya lebih eksklusif, bukan ‘orang kebanyakan’. Dengan tempat yang juga ekslusif macam di GoetheHaus dan pusat kebudayaan asing lainnya.

Tapi, si Nina salah berpendapat tuh. Bahwa film-film pada festival ChopShots bukan film-film macam Hollywood yang digemari berbagai kalangan, melainkan film-film dokumenter yang penyukanya semakin mengerucut, bukan berarti mereka cukup sopan untuk menyimpan baik-baik telepon genggamnya saat menonton. Mata Nina masih menangkap pijaran monitor telepon genggam ternyata, telinganya bahkan menangkap suara panggilan masuk. Padahal, sebelum film dimulai, panitia khusus mengumumkan secara oral agar para penonton mematikan telepon genggamnya.

Yang di atas adalah situasi waktu festival dokumenter ChopShots. Di EoS ternyata situasinya lebih buruk. Mungkin karena pada EoS juga terdapat film-film cerita yang biasanya lebih menarik perhatian orang. Kalau ketika menonton di Chopshot deretan bangku di depan Nina lebih banyak kosong, sedangkan pada saat EoS lebih banyak terisi. Di antaranya terdapat manusia-manusia yang seolah akan mati bila tak mengecek telepon genggam atau tablet-nya setiap saat. Satu kali, orang yang duduk di sebelah kiri Nina adalah pelakunya. Sebentar-sebentar ia membuka tablet-nya. Kadang menulis sesuatu—ngobrol atau kerja sambil nonton ya sama saja ajaibnya. Sampai-sampai Nina tak tahan dan mentowel si empunya piranti.

"Mas, maaf, tapi hp-nya bikin silau mata saya," sembur Nina secara halus.

Si empunya piranti awalnya kaget, tapi lalu memandang Nina dengan pandangan, "Apa urusan gue kalo elo merasa terganggu," sambil terus lanjut dengan kesibukannya

Bweh...

Tapi, ada hal lain yang lebih spektakuler. Sebagian orang yang tidak menyimpan pirantinya di dalam tas atau saku, akan meletakkannya di pangkuan. Asik nonton jadi lupa, piranti pun melorot jatuh. Di gedung bioskop atau sineplek tempat duduknya selain empuk, terbukti aman menjaga piranti yang melorot itu. Tidak demikian dengan di GoetheHaus, yang lantainya pun bukan berlapis karpet melainkan kayu parket. Akibatnya, "Bletaaaaak!!!"

Pertama mendengar kegaduhan itu, Nina terkejut. Kedua kalinya, ia menepuk jidad. Ketiga kalinya cukup menghela nafas. Selanjutnya, sudah tak dihitung itu kali berapa meski tetap sebal.



Penonton ego di EoS, GoetheHaus.
Sibuk dengan piranti, plus tak peduli meletakan kaki bersepatu di senderan tempat duduk di depannya.

Sunday, June 29, 2014

Syal di Lehermu



"Kenapa fotografer suka ada selendang di tas-nya?" tanya onti Didi, mamih-nya kucing bos Pacoh, kepada Nina pada suatu hari.

Pertanyaan yang akhirnya dilontarkan onti Didi setelah selama ini berpendapat bahwa merupakan suatu kewajiban bagi seseorang dengan profesi dalam bidang fotografi untuk melilitkan selendang di tasnya. 

Ah, tapi pasti maksudnya si onti adalah syal. Bukan selendang seperti yang dipakai ibu-ibu kalau pakai kebaya.

"Pengganti handuk good morning tuh," jawab Nina kalem.

Sebelumnya aku jelaskan terlebih dahulu ya, apa itu handuk good morning. Itu adalah sebentuk handuk kecil berwarna putih, dengan semburat garis biru tua di kedua sisi panjangnya. Di salah satu ujungnya terdapat tulisan berwarna merah, dalam huruf kanji Tiongkok dan latin. Huruf latinnya memakai tulisan bersambung bagaikan tulisan tangan yang berbunyi 'good morning'.

Handuk good morning adalah handuk kesayangan alamarhum ibunya Nina. Dipakai untuk melapisi bantal beliau. Sementara pekerja yang menggunakan handuk sejenis biasanya mengalungkannya di leher. Sesekali dipakai untuk menyeka keringat di wajah. Setelah beberapa waktu, warna putih dari handuk ini akan menggelap. Makin lama makin gelap sampai-sampai tak jarang menjadi berwarna coklat seperti babad goreng.

Jadi, prinsipnya syal yang sering diikatkan oleh para fotografertepatnya fotojurnalis alias pewarta foto—di tas atau ransel kameranya itu, menyandang fungsi yang sama dengan handuk cihuy tadi. Untuk menyeka keringat. Difungsikan pula sebagai pelapis kepala sebelum memakai helm tukang ojeg yang sudah dipakai oleh sejuta umat sehingga kebersihannya diragukan. Juga dapat dipakai untuk menutup mulut dan hidung ketika naik motor. Mencegah polusi terhisap terlalu banyak, atau, ketika ada gas airmata dilontarkan polisi saat meliput demo. Untuk yang terakhir jangan lupa membasahinya dengan air bersih terlebih dahulu ya...

Syal-syal yang digunakan oleh para pewarta foto bervariasi macam dan rupanya. Maksudnya, ada yang merupakan selendang batik pendek atau selendang tenun yang juga pendek dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Kebanyakan merupakan todongan oleh-oleh dari rekan seprofesi yang kembali dari penugasan luar kota. Coba saja tanyakan dari mana syal itu, atau, kalau iseng, diminta saja sekalian. Pasti jawabannya kurang lebih akan berbunyi, “Jangan donk! Ini oleh-oleh si Polan waktu penugasannya ke daerah Anu-anu”. Mungkin akan ditambah dengan penjelasan bahwa ia sendiri hampir saja tak kebagian jatah oleh-oleh dari si Pulan itu. Hehe...

Selain macamnya syal yang disebutkan di atas, juga banyak dikenakan oleh para pewarta foto adalah syal-syal katun dengan motif kota-kotak. Dengan beragam variasi warna tapi umumnya ada warna putihnya; merah-putih, biru-putih, coklat-putih, hitam-putih, ungu-putih, dan seterusnya. Nah, yang ini bukan berasal dari Indonesia. Disebut krama bila berasal dari Kamboja, atau khăn rằn kalau yang dari Vietnam—untuk kemudahan penunjukan, selanjutnya jenis syal ini aku sebut krama ya.

Berdasarkan pengamatan Nina, pemakaian syal macam itu di antara para pewarta terutama pewarta foto mulai menjadi marak sejak Masa Reformasi 1998 lalu. Saat itu, Indonesia yang sedang bergolak didatangi oleh banyak pewarta dari seluruh dunia. Jurnalis-jurnalis televisi, radio, media cetak, dan foto. Kebanyakan dari mereka memakai krama katun untuk menghadapi hawa dan udara panas di tanah air kita. Kebiasaan tersebut segera diadopsi oleh orang-orang lokal yang juga meliput gegap gempitanya gelora reformasi.

Termasuk di antaranya adalah Nina yang meskipun bukan pewarta tapi membantu media televisi dan radio asing. Koleksinya pun segera menumpuk. Rupa-rupa warnanya. Dibawakan oleh teman dan kenalan yang berkunjung negara-negara jiran asal krama dan khăn rằn itu. Bila turun ke lapangan untuk meliput, lehernya pasti berkalung krama. Sampai mendapat tegoran dari seorang temannya ketika meliput kerusuhan berdasarkan agama di Ambon pada 1999 lalu. Di tempat itu, dua kelompok agama yang bertikai mewakili diri mereka masing-masing dengan warna-warna yang berbeda. Satunya dengan merah, lainnya putih.  Ceritanya, Nina yang kurang sensitif itu memakai krama kotak-kotanya merah dan putih. Dikhawatirkan akan menjadi sasaran kekerasan dari salah satu kelompok, krama kebanggan itupun segera Nina selipkan dalam-dalam di travelling bag-nya.

Sedikit catatan, bukan berarti sebelum 1998 tak ada sama sekali pewarta tanah air berkalung syal atau krama di lehernya. Seingat Nina, Oscar Motuloh, pewarta foto terkemuka Indonesia yang waktu itu masih menjadi praktisi warta foto di kantor berita fotojurnalistik Antara, sudah wira-wiri berkalung krama sebelum Indonesia dibanjiri pewarta asing ber-krama.

Krama di Kamboja secara tradisional merupakan bagian dari perlengkapan berpakaian yang bisa dipakai untuk bermacam tujuan. Dikenakan baik oleh perempuan maupun laki-laki, dari berbagai usia termasuk oleh anak-anak. Warna-warna tradisionalnya adalah merah-putih atau biru-putih. Ketika Khmer Merah (Khmer Rouge) berkuasa, rakyat Kamboja tak diperkenankan untuk memakai pakaian selain pakaian standar berwarna hitam. Terdiri dari hem dan celana panjang atau rok panjang, dilengkapi dengan sepatu sandal yang terbuat dari ban bekas, dan krama yang dililitkan di leher sebagai identitas bangsa.

Di Vietnam, syal sejenis disebut khăn rằn dan banyak dikenakan oleh penduduk di Delta Mekong. Krama adalah akar dari khăn rằn. Secara harfiah kata khăn berarti handuk atau syal, dan rằn adalah garis-garis. Khăn rằn banyak dikenakan bersama dengan pakaian tradisional yang disebut áo bà ba. Ketika berlangsungnya Perang Vietnam, pemakaian khăn rằn juga menjadi identitas diri para pejuang Viet Cong. Tak jarang selembar khăn rằn yang dikenakan oleh si pejuang merupakan hadiah yang diterimanya sebagai penghargaan atas keberaniannya di medan perang. Konon, di masa Perang Vietnam, bila tentara GI Amerika melihat lawannya adalah pejuang yang mengenakan khăn rằn, mereka akan segera tahu bahwa mereka berhadapan dengan petempur kelas tinggi.

Lalu, sejak kapan pewarta dari Barat mulai mengenakan krama? Hmmm..., maaf, penelitian Nina belum sampai ke sana. Tapi, sepertinya pemakaian krama oleh seorang pewarta diam-diam menjadi status simbol tersendiri. Sebagai tanda bahwa dia adalah seorang hardcore journalist yang pernah bertugas di garis depan sebuah daerah pertempuran. Bahwa ia pernah merunduk-runduk di bawah desingan peluru. Sedangkan berdasarkan yang pernah Nina baca di internet, pemakaian syal atau scarf etnis seperti krama—dan juga tipe lain dari daerah-daerah konflik lainnya di seluruh dunia—oleh seorang pewarta foto khususnya, akan membedakan dirinya dari fotografer ‘biasa’. Dan, tentunya, ketika seorang pewarta memakai krama atau khăn rằn, artinya ia pernah bertugas di Kamboja atau Vietnam sehingga ia ‘berhak’ mengenakan syal tersebut—berbeda dengan Nina yang koleksi krama dan khăn rằn-nya semua merupakan oleh-oleh hahaha...

Beberapa waktu lalu, tante Lulu temannya Nina berdinas ke Vietnam dan Thailand. Sebagai oleh-oleh untuk Nina terdapat sebuah syal yang dikiranya adalah khăn rằn dari Vietnam. Tapi, ternyata syal tersebut dibeli tante Lulu di Bangkok. Mungkin tidak perlu heran, sebab, di sebuah daerah tertentu di Thailand yang berdekatan dengan Kamboja, dikenal perlengkapan pakaian yang disebut sebagai pha khao ma. Pha khao ma ukurannya bervariasi dari yang besar dan dipergunakan sebagai sarung, sampai dengan berukuran kecil dan berfungsi sebagai syal seperti karma dan khăn rằn. Motifnya kotak-kotak juga.

Meskipun Nina menyukai syal-syal semacam itu, bukan itu alasan tante Lulu mengoleh-olehi Nina sebuah pha khao ma dari Bangkok. Melainkan, karena di ujung pha khao ma tersebut terdapat aplikasi kucing. Lucu kan?


Krama


 Pha khao ma kucing

Wednesday, June 18, 2014

Film Berbahasa Asing non-Inggris: Masalah atau Kebahagiaan?



Si tukang ngeluh Nina itu paling tak suka menonton film berbahasa asing selain yang Inggris. Sebab, tentunya, karena dia tidak mengerti. Film-film berbahasa yang tidak dimengerti oleh Nina itu padahal biasanya sih sudah dilengkapi dengan subtitle dalam bahasa yang bisa dimengertinya. Baik itu bahasa Indonesia maupun Inggris. Lumayan menolong untuk memahami dialog dan jalan cerita sebetulnya, tapi, keluh Nina, hal itu menyebabkan timbulnya masalah baru. Karena harus membaca subtitle, mata tak dapat difokuskan hanya ke adegan yang berlangsung. Akibatnya, kadang ada adegan atau detil adegan yang terlewat disaat ia tengah membaca subtitle. Nina pun merasa dirugikan.

Sebagai catatan sempalan, bahasa asing yang termaktub di sini bukan hanya bahasa non-Indonesia, tapi juga bahasa-bahasa daerah atau etnis di Indonesia.

Bagaimana dengan dubbing atau diisi dengan suara berbahasa Indonesia? Wah, bagi Nina itu juga cukup mengganggu. Dubbing bahasa Inggris? Sarua keneh (sama saja)! Meskipun film-nya adalah anime alias animasi, tetap saja pengisian suara berbahasa pengganti terasa tidak pas. Apalagi kalau film-nya orang betulan. Gerak bibir dan suara yang keluar tak sejalan. “Aduh, jadi ingat film seri televisi Little Missy, deh,” gerutu Nina.

Karena sebab tersebut di atas, maka Nina enggan untuk pergi bila ada ajakan menonton film berbahasa yang tak dimengertinya. Entah itu film cerita (movie) atau dokumenter. Meski kadang harus dilakoninya juga, misalnya menonton anime Jepang. Dia tak terlalu tergila-gila amat pada jenis media ini sebenernya, tapi, kadang ada juga yang ingin ditontonnya sebagai ekses dari kegemarannya akan komik Jepang.

Mungkin Nina hanya terlalu memikirkan pemikiran yang tak perlu ya. Kalau saja dia tak membiarkan pemikiran negatif macam itu menggelayut di kepalanya yang lebih sering ruwet daripada tidak itu, hidupnya pasti lebih menyenangkan. Lebih banyak hal yang bisa dinikmatinya. Seperti waktu dia menonton film-film documenter berbahasa yang tak dimengertinya di festival film dokumenter Chop Shots 2014 lalu yang ternyata oh-sangat-sangat-sangat dinikmatinya itu (kisahnya bisa dilihat di sini).

Memang sih, ketika awalnya menonton film di festival tersebut, mata Nina jadi repot lari-lari antara melihat adegan yang berlangsung dan subtitle Inggris. Tapi, itu juga terjadi waktu dia menonton film-film berbahasa Indonesia yang dilengkapi dengan subtitle berbahasa Inggris. Otomatis saja matanya bergerak antara adegan dan subtitle, dan sepertinya tak masalah tuh... Tak ada keluhan. Meskipun sebenarnya aneh, kenapa juga ia membaca subtitle Inggris itu padahal dialognya dalam bahasa Indonesia.

Film-film lain yang ditonton Nina pada festival tersebut hampir semua berbahasa asing non-Inggris. Ada satu film dengan bahasa pengantar Inggris. Lalu ada yang berbahasa Arab (Lebanon), dan Prancis (karya sutradara kelahiran Kamboja). Sisanya adalah bahasa-bahasa Asia; Jepang, China, Kambodja, dan Vietnam. Dua bahasa pertama meski tak mengerti, tapi cukup akrab di telinga Nina. Dua yang terakhir merupakan bahasa yang sama sekali asing bagi telinganya. Kalaupun pernah mendengar, hanya sepotong-sepotong saja. Jangan lupa, dua bahasa tersebut sekali dua muncul dalam film-film laga Hollywood. Hanya saja terbatas pada teriakan atau makian.Terdengar sambil lalu dan begitu tak penting. Baru pada festival Chop Shots 2014 inilah Nina mendapat kesempatan untuk mendengar dua bahasa asing asal Asia tersebut secara utuh sebagai kumpulan dialog.

Film berbahasa Vietnam yang ditontonnya berjudul Madam Phung's Last Journey. Nina sungguh terkesima mendengar dialog-dialognya. Bahasa Vietnam itu ternyata indah ya, demikian dia berpikir. Beberapa bulan setelah menonton dokumenter tersebut, Nina menonton satu film Hollywood yang menghadirkan beberapa potongan adegan dengan dialog bahasa Vietnam. Hoooo..., serasa nostalgia. Lalu, cepat saja ia memutuskan bahwa dia harus belajar bahasa Vietnam!

Mumpung tante Lulu sedang di Hanoi, ibukota Vietnam, Nina segera minta dibelikan buku pelajaran bahasa Vietnam untuk orang asing. Atau sejenisnya deh. Saat catatan ini kutulis, si tante masih belum pulang ke tanah air. Tapi, bukunya sudah dibelikan. "Horeee...," jerit Nina kegirangan.

Bukan sengaja apabila film-film dokumenter di Chop Shots 2014 yang ditonton Nina kebanyakan berasal dari Asia dan dengan bahasa-bahasa Asia. Bukan tak mau memilih film-film berbahasa dari Barat, tapi karena kebetulan saja. Sebab, Nina kan menonton dengan mendasarkan pada pemilihan tempat dan waktu yang sesuai dengannya. Itu saja. Apa boleh buat. Semoga di lain waktu ada kesempatan lain untuk memanjakan kuping dengan bahasa-bahasa Eropa.

Kesempatan yang ternyata datang tak lama kemudian. Seminggu atau dua setelah usainya Chop Shots, meluncurlah sebuah festival film dengan film-film dari negara-negara di Eropa, Europe on Screen. Pucuk dicinta ulam tiba! Saatnya untuk menikmati sensasi bahasa-bahasa Eropa!

Pada akhirnya, Nina berkesimpulan bahwa menonton film-film berbahasa asing nan tak dipahami ternyata telah memberinya pengalaman tersendiri. Alih-alih merasa konsentrasi terpecah sebab harus menggantungkan nyawa ke subtitle demi memahami cerita, Nina berhasil membiarkan dirinya tak terlalu terganggu dengan matanya yang harus wira-wiri saat menonton. Dengan membiarkan dirinya terlena begitu saja, kupingnya pun jadi bebas menyerap keindahan bahasa-bahasa asing yang tak dikenalnya itu.

Sebuah pengalaman nan luarbiasa!



Kipas berbahasa Vietnam, oleh-oleh tante Lulu.