Si tukang ngeluh Nina itu
paling tak suka menonton film berbahasa asing selain yang Inggris. Sebab, tentunya, karena dia tidak
mengerti. Film-film berbahasa yang tidak dimengerti oleh Nina itu padahal biasanya sih sudah dilengkapi dengan subtitle dalam bahasa yang bisa
dimengertinya. Baik itu
bahasa Indonesia maupun Inggris. Lumayan menolong untuk memahami dialog dan
jalan cerita sebetulnya,
tapi, keluh Nina, hal itu menyebabkan timbulnya masalah baru. Karena harus
membaca subtitle, mata tak dapat
difokuskan hanya ke adegan yang berlangsung. Akibatnya, kadang ada adegan atau
detil adegan yang terlewat disaat ia
tengah membaca subtitle. Nina
pun merasa dirugikan.
Sebagai catatan sempalan, bahasa asing yang termaktub di sini bukan
hanya bahasa non-Indonesia, tapi juga bahasa-bahasa daerah atau etnis di
Indonesia.
Bagaimana dengan dubbing atau
diisi dengan suara berbahasa Indonesia? Wah, bagi Nina itu juga cukup mengganggu. Dubbing bahasa Inggris? Sarua keneh (sama saja)!
Meskipun film-nya adalah anime alias animasi, tetap saja pengisian suara
berbahasa pengganti terasa tidak pas. Apalagi kalau film-nya orang betulan. Gerak bibir dan suara yang keluar
tak sejalan. “Aduh, jadi ingat film seri televisi Little Missy, deh,” gerutu Nina.
Karena sebab tersebut di atas, maka Nina enggan untuk pergi bila ada ajakan menonton film berbahasa
yang tak dimengertinya. Entah itu film
cerita (movie) atau dokumenter. Meski kadang harus dilakoninya juga,
misalnya menonton anime Jepang. Dia tak terlalu tergila-gila amat pada jenis media ini sebenernya, tapi, kadang ada juga yang ingin ditontonnya sebagai ekses dari kegemarannya akan komik Jepang.
Mungkin Nina hanya terlalu memikirkan pemikiran
yang tak perlu ya. Kalau saja dia tak membiarkan
pemikiran negatif macam itu menggelayut
di kepalanya yang lebih sering ruwet daripada tidak itu, hidupnya pasti lebih menyenangkan. Lebih banyak hal yang bisa dinikmatinya. Seperti
waktu dia menonton film-film documenter berbahasa yang tak dimengertinya di festival film dokumenter Chop
Shots 2014 lalu yang ternyata
oh-sangat-sangat-sangat dinikmatinya itu (kisahnya bisa dilihat di sini).
Memang sih, ketika awalnya menonton film di festival tersebut, mata
Nina jadi repot lari-lari
antara melihat adegan yang berlangsung dan subtitle
Inggris. Tapi, itu juga
terjadi waktu dia menonton film-film
berbahasa Indonesia yang dilengkapi
dengan subtitle berbahasa Inggris.
Otomatis saja matanya bergerak antara adegan dan subtitle, dan sepertinya tak masalah tuh... Tak ada keluhan. Meskipun
sebenarnya aneh, kenapa juga
ia membaca subtitle Inggris itu
padahal dialognya dalam bahasa Indonesia.
Film-film lain yang ditonton
Nina pada festival tersebut hampir semua berbahasa asing non-Inggris. Ada satu film dengan bahasa pengantar
Inggris. Lalu ada yang berbahasa Arab (Lebanon), dan Prancis (karya sutradara
kelahiran Kamboja). Sisanya adalah bahasa-bahasa Asia; Jepang, China,
Kambodja, dan Vietnam. Dua bahasa pertama
meski tak mengerti, tapi cukup akrab di telinga Nina. Dua yang terakhir merupakan bahasa yang sama sekali asing bagi telinganya. Kalaupun pernah mendengar, hanya sepotong-sepotong
saja. Jangan lupa, dua bahasa tersebut sekali dua muncul dalam film-film
laga Hollywood. Hanya saja terbatas
pada teriakan atau makian.Terdengar
sambil lalu dan begitu tak penting. Baru pada festival Chop
Shots 2014 inilah Nina mendapat kesempatan untuk mendengar dua bahasa
asing asal Asia tersebut secara utuh sebagai kumpulan dialog.
Film berbahasa Vietnam yang
ditontonnya berjudul Madam Phung's
Last Journey. Nina sungguh
terkesima mendengar dialog-dialognya. Bahasa Vietnam itu ternyata indah
ya, demikian dia berpikir. Beberapa bulan setelah menonton dokumenter tersebut,
Nina menonton satu film Hollywood yang menghadirkan beberapa potongan adegan dengan dialog bahasa Vietnam. Hoooo..., serasa nostalgia. Lalu, cepat
saja ia memutuskan bahwa dia
harus belajar bahasa Vietnam!
Mumpung tante Lulu sedang di Hanoi, ibukota Vietnam, Nina segera minta
dibelikan buku pelajaran
bahasa Vietnam untuk orang asing. Atau
sejenisnya deh. Saat catatan ini kutulis, si tante masih belum pulang ke
tanah air. Tapi, bukunya sudah dibelikan. "Horeee...," jerit Nina kegirangan.
Bukan sengaja apabila
film-film dokumenter di Chop Shots 2014 yang ditonton Nina kebanyakan berasal dari Asia dan dengan bahasa-bahasa Asia. Bukan tak mau memilih film-film berbahasa dari Barat, tapi karena kebetulan saja. Sebab, Nina kan menonton dengan mendasarkan pada pemilihan tempat dan waktu yang sesuai dengannya.
Itu saja. Apa boleh buat. Semoga di lain waktu ada kesempatan lain untuk memanjakan kuping dengan
bahasa-bahasa Eropa.
Kesempatan yang ternyata
datang tak lama kemudian. Seminggu atau
dua setelah usainya Chop Shots, meluncurlah sebuah festival
film dengan film-film dari negara-negara di Eropa, Europe on
Screen. Pucuk dicinta ulam tiba!
Saatnya untuk menikmati sensasi bahasa-bahasa Eropa!
Pada akhirnya, Nina
berkesimpulan bahwa menonton film-film berbahasa asing nan tak dipahami ternyata telah memberinya pengalaman tersendiri.
Alih-alih merasa konsentrasi terpecah sebab harus menggantungkan nyawa ke subtitle demi memahami cerita, Nina berhasil membiarkan dirinya tak
terlalu terganggu dengan matanya yang harus wira-wiri
saat menonton. Dengan membiarkan dirinya
terlena begitu saja, kupingnya pun jadi bebas menyerap keindahan bahasa-bahasa
asing yang tak dikenalnya itu.
Sebuah pengalaman nan luarbiasa!
Kipas berbahasa Vietnam, oleh-oleh tante Lulu.
No comments:
Post a Comment