Wednesday, June 18, 2014

Film Berbahasa Asing non-Inggris: Masalah atau Kebahagiaan?



Si tukang ngeluh Nina itu paling tak suka menonton film berbahasa asing selain yang Inggris. Sebab, tentunya, karena dia tidak mengerti. Film-film berbahasa yang tidak dimengerti oleh Nina itu padahal biasanya sih sudah dilengkapi dengan subtitle dalam bahasa yang bisa dimengertinya. Baik itu bahasa Indonesia maupun Inggris. Lumayan menolong untuk memahami dialog dan jalan cerita sebetulnya, tapi, keluh Nina, hal itu menyebabkan timbulnya masalah baru. Karena harus membaca subtitle, mata tak dapat difokuskan hanya ke adegan yang berlangsung. Akibatnya, kadang ada adegan atau detil adegan yang terlewat disaat ia tengah membaca subtitle. Nina pun merasa dirugikan.

Sebagai catatan sempalan, bahasa asing yang termaktub di sini bukan hanya bahasa non-Indonesia, tapi juga bahasa-bahasa daerah atau etnis di Indonesia.

Bagaimana dengan dubbing atau diisi dengan suara berbahasa Indonesia? Wah, bagi Nina itu juga cukup mengganggu. Dubbing bahasa Inggris? Sarua keneh (sama saja)! Meskipun film-nya adalah anime alias animasi, tetap saja pengisian suara berbahasa pengganti terasa tidak pas. Apalagi kalau film-nya orang betulan. Gerak bibir dan suara yang keluar tak sejalan. “Aduh, jadi ingat film seri televisi Little Missy, deh,” gerutu Nina.

Karena sebab tersebut di atas, maka Nina enggan untuk pergi bila ada ajakan menonton film berbahasa yang tak dimengertinya. Entah itu film cerita (movie) atau dokumenter. Meski kadang harus dilakoninya juga, misalnya menonton anime Jepang. Dia tak terlalu tergila-gila amat pada jenis media ini sebenernya, tapi, kadang ada juga yang ingin ditontonnya sebagai ekses dari kegemarannya akan komik Jepang.

Mungkin Nina hanya terlalu memikirkan pemikiran yang tak perlu ya. Kalau saja dia tak membiarkan pemikiran negatif macam itu menggelayut di kepalanya yang lebih sering ruwet daripada tidak itu, hidupnya pasti lebih menyenangkan. Lebih banyak hal yang bisa dinikmatinya. Seperti waktu dia menonton film-film documenter berbahasa yang tak dimengertinya di festival film dokumenter Chop Shots 2014 lalu yang ternyata oh-sangat-sangat-sangat dinikmatinya itu (kisahnya bisa dilihat di sini).

Memang sih, ketika awalnya menonton film di festival tersebut, mata Nina jadi repot lari-lari antara melihat adegan yang berlangsung dan subtitle Inggris. Tapi, itu juga terjadi waktu dia menonton film-film berbahasa Indonesia yang dilengkapi dengan subtitle berbahasa Inggris. Otomatis saja matanya bergerak antara adegan dan subtitle, dan sepertinya tak masalah tuh... Tak ada keluhan. Meskipun sebenarnya aneh, kenapa juga ia membaca subtitle Inggris itu padahal dialognya dalam bahasa Indonesia.

Film-film lain yang ditonton Nina pada festival tersebut hampir semua berbahasa asing non-Inggris. Ada satu film dengan bahasa pengantar Inggris. Lalu ada yang berbahasa Arab (Lebanon), dan Prancis (karya sutradara kelahiran Kamboja). Sisanya adalah bahasa-bahasa Asia; Jepang, China, Kambodja, dan Vietnam. Dua bahasa pertama meski tak mengerti, tapi cukup akrab di telinga Nina. Dua yang terakhir merupakan bahasa yang sama sekali asing bagi telinganya. Kalaupun pernah mendengar, hanya sepotong-sepotong saja. Jangan lupa, dua bahasa tersebut sekali dua muncul dalam film-film laga Hollywood. Hanya saja terbatas pada teriakan atau makian.Terdengar sambil lalu dan begitu tak penting. Baru pada festival Chop Shots 2014 inilah Nina mendapat kesempatan untuk mendengar dua bahasa asing asal Asia tersebut secara utuh sebagai kumpulan dialog.

Film berbahasa Vietnam yang ditontonnya berjudul Madam Phung's Last Journey. Nina sungguh terkesima mendengar dialog-dialognya. Bahasa Vietnam itu ternyata indah ya, demikian dia berpikir. Beberapa bulan setelah menonton dokumenter tersebut, Nina menonton satu film Hollywood yang menghadirkan beberapa potongan adegan dengan dialog bahasa Vietnam. Hoooo..., serasa nostalgia. Lalu, cepat saja ia memutuskan bahwa dia harus belajar bahasa Vietnam!

Mumpung tante Lulu sedang di Hanoi, ibukota Vietnam, Nina segera minta dibelikan buku pelajaran bahasa Vietnam untuk orang asing. Atau sejenisnya deh. Saat catatan ini kutulis, si tante masih belum pulang ke tanah air. Tapi, bukunya sudah dibelikan. "Horeee...," jerit Nina kegirangan.

Bukan sengaja apabila film-film dokumenter di Chop Shots 2014 yang ditonton Nina kebanyakan berasal dari Asia dan dengan bahasa-bahasa Asia. Bukan tak mau memilih film-film berbahasa dari Barat, tapi karena kebetulan saja. Sebab, Nina kan menonton dengan mendasarkan pada pemilihan tempat dan waktu yang sesuai dengannya. Itu saja. Apa boleh buat. Semoga di lain waktu ada kesempatan lain untuk memanjakan kuping dengan bahasa-bahasa Eropa.

Kesempatan yang ternyata datang tak lama kemudian. Seminggu atau dua setelah usainya Chop Shots, meluncurlah sebuah festival film dengan film-film dari negara-negara di Eropa, Europe on Screen. Pucuk dicinta ulam tiba! Saatnya untuk menikmati sensasi bahasa-bahasa Eropa!

Pada akhirnya, Nina berkesimpulan bahwa menonton film-film berbahasa asing nan tak dipahami ternyata telah memberinya pengalaman tersendiri. Alih-alih merasa konsentrasi terpecah sebab harus menggantungkan nyawa ke subtitle demi memahami cerita, Nina berhasil membiarkan dirinya tak terlalu terganggu dengan matanya yang harus wira-wiri saat menonton. Dengan membiarkan dirinya terlena begitu saja, kupingnya pun jadi bebas menyerap keindahan bahasa-bahasa asing yang tak dikenalnya itu.

Sebuah pengalaman nan luarbiasa!



Kipas berbahasa Vietnam, oleh-oleh tante Lulu.

No comments:

Post a Comment