Tuesday, July 22, 2014

Nikmatnya Makan di Tengah Sungai



Pada masa kuliah dulu, ceritanya Nina ikutan kelompok pecinta alam di universitasnya. Sebelum resmi menjadi anggauta kelompok itu, ada serangkaian latihan yang harus dijalani. Mendaki tebing, mendayung, pertolongan pertama pada kecelakaan, praktek arung jeram, dan sejenisnya. Berbagai perjalanan pun harus dilakoni. Merambah gunung, menyusuri pantai, menjelajah daerah pedalaman, mengarungi lautan.

Status sebagai calon anggota (disebut ca-ang) disandang sekitar setengah tahun lamanya. Hampir setiap minggu diisi dengan kegiatan, tepatnya pada akhir minggu. Perjalanan-perjalanan juga selalu disesuaikan dengan jadwal perkuliahan. Pada waktu libur pergantian semester yang berlangsung cukup panjang, diadakanlah perjalanan menjelajah ke pedalaman yang populernya disebut sebagai perjalanan panjang. Waktunya selama sekitar dua minggu, dengan tujuan daerah Banten selatan termasuk perkampungan Baduy dalam.

Tersebutlah salah satu teman Nina sesama ca-ang pada waktu itu, almarhum Budi Belek. Orangnya lumayan jago masak untuk ukuran per-kemping-an, dan selalu membawa perlengkapan memadai untuk memasak. Termasuk pan teflon yang anti lengket itu.

Dalam perjalanan panjang tersebut, pada suatu hari, sekelompok peserta sejenak beristirahat melepas lelah di sebuah sungai kecil. Menurunkan carrier (ransel besar) supaya punggung bisa beristirahat unutk sementara waktu. Menikmati udara sejuk dan bersih, sambil bemain di bebatuan besar pada sungai yang berair jernih tersebut. Asyik sekali!

Bang Belek ada di antara mereka. Dia duduk dengan nyamannya di batu besar yang berada di tengah-tengah sungai. Kedua kakinya terendam di air sungai, dan pancaran wajahnya memperlihatkan perasaan senangnya. Lalu, dengan santai ia mengeluarkan peralatan masak, beras, daging kalengan, dan sekedar bumbu. Selesai nasi ditanak, dibukanya kaleng dan lalu mengolahnya dengan nasi yang baru tanak tersebut. Lalu, ya makanlah dia dengan nikmatnya.

Sementara Nina dan yang lain terus saja asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang tidur-tidur ayam, main-main air, bengong-bengong bego. Kalau Nina tak salah ingat, waktunya memang bukan jam makan makanya yang lain santai saja.

"Gue udah masak banyak gini, nggak ada yang mau ikutan makan nih?" Bang Belek bertanya.

Wah, boleh juga tuh, pikir Nina. Meskipun tak lapar-lapar amat, ia lalu menawarkan perutnya untuk berpartisipasi.

"Gue mau, deh!" katanya.

"Jangan, Mat!" sergah pak dokter B.

Pak dokter B bukan anggauta klub, bukan juga ca-ang. Keikutsertaannya kalau tidak salah adalah karena perjalanan panjang ini juga ada bhakti sosial kesehatannya. Kalau Nina tidak salah ingat, ya begitulah. Sedangkan adik perempuan pak dokter yang juga ikut merupakan salah seorang ca-ang seperti Nina.

Nina, yang di masa kuliah lebih dikenal sebagai  Mamat, tak mengacuhkan larangan pak dokter B. Ia tak paham kenapa pak dokter melontarkan larangan, pun tak merasa perlu untuk bertanya. Segera saja dihampirinya Bang Belek dengan penuh semangat. Peralatan makan kempingnya erat di tangan. Sedap nian makan di atas batu di tengah sungai bening begitu! Dimasakin pula!

Selesai makan, semua siap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Dengan cemberut, pak dokter mendekati Nina.

"Belek tadi kan masak daging babi kalengan. Koq makanan haram dimakan sih!" gerutu pak dokter yang dari tadi sejak Nina ikutan makan memasang wajah cemberut.

Lhooo! Pantas saja tidak ada yang mau makan masakannya Bang Belek. Abang kita yang sudah almarhum ini kebetulan Nasrani, jadi tak soal baginya untuk makan daging babi. Sementara, Nina tak menyadari bahwa makanan tadi adalah haram adanya—kalau tahu pun mungkin tetap saja dimakannya.

"Wah, pantesan enak!" jawab Nina ngasal.

Pak dokter B semakin cemberut.

Rombongan melanjutkan perjalanan di medan yang terdiri dari tanah merah padat yang licin. Berjalan tepat di belakang Nina adalah pak dokter B yang sesekali masih saja mengomeli Nina soal makan tadi. Hihi..., sepertinya pak dokter sengaja mengambil posisi di belakang Nina deh, supaya si adik nakal itu bisa terus dimarahi sampai yang memarahinyai bosan, atau puas.

Ketika jalan setapak sudah menjadi tanjakan, tiba-tiba Nina terpeleset dan jatuh tertelungkup.

"Astagafirulaaaaaah..." jerit Nina.

"Hei, habis makan daging babi jangan sebut-sebut nama Allah!" sergah pak doker B.

"Aduh, tolongin gue bangkit donk, dokter B!" kata Nina.

Posisi Nina lumayan ribed. Sudahlah jatuh tertelungkup di tanjakan licin, tertimpa pula dengan ransel besar ukuran 30-40 liter. Jadi, perlu ada teman yang membantu untuk bisa berdiri.

"Nggak mau! Rasain! Siapa suruh tadi makan daging babi," tolak pak dokter dengan nada puas.

Sambil berkata demikian, sang dokter yang tak punya niat membantu Nina untuk berdiri itupun meneruskan langkahnya. Meninggalkan Nina yang tengkurap tanpa daya di tanah, terjepit di antara muka bumi dan ransel besarnya.

Mendengar omelan-omelan pak dokter yang telah berlalu itu, alih-alih sebal, Nina malah menjadi tergelak-gelak. Perutnya sampai sakit karena tertawa, dan makin hilang saja tenaganya untuk bangkit berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. §

No comments:

Post a Comment