Pada masa kuliah dulu, ceritanya Nina ikutan kelompok pecinta alam di
universitasnya. Sebelum resmi
menjadi anggauta kelompok itu, ada serangkaian latihan yang harus dijalani.
Mendaki tebing, mendayung, pertolongan pertama pada kecelakaan, praktek arung jeram, dan sejenisnya.
Berbagai perjalanan pun harus dilakoni. Merambah gunung, menyusuri pantai,
menjelajah daerah pedalaman, mengarungi lautan.
Status sebagai calon anggota (disebut ca-ang) disandang sekitar setengah
tahun lamanya. Hampir setiap minggu
diisi dengan kegiatan, tepatnya pada akhir minggu. Perjalanan-perjalanan juga selalu
disesuaikan dengan jadwal perkuliahan. Pada waktu libur pergantian semester yang berlangsung cukup panjang, diadakanlah perjalanan menjelajah ke pedalaman yang populernya disebut sebagai perjalanan
panjang. Waktunya selama sekitar dua
minggu, dengan tujuan daerah
Banten selatan termasuk
perkampungan Baduy dalam.
Tersebutlah salah satu teman Nina sesama ca-ang pada waktu itu, almarhum Budi Belek. Orangnya lumayan jago masak untuk
ukuran per-kemping-an, dan selalu membawa perlengkapan memadai untuk memasak.
Termasuk pan teflon yang anti lengket itu.
Dalam perjalanan panjang tersebut,
pada suatu hari, sekelompok peserta sejenak
beristirahat melepas lelah di sebuah sungai kecil. Menurunkan carrier (ransel besar) supaya punggung
bisa beristirahat unutk sementara
waktu. Menikmati udara sejuk
dan bersih, sambil bemain di bebatuan besar pada sungai yang berair
jernih tersebut. Asyik
sekali!
Bang Belek ada di antara mereka. Dia duduk dengan nyamannya di batu besar yang berada di tengah-tengah sungai. Kedua kakinya terendam di air sungai, dan
pancaran wajahnya memperlihatkan perasaan senangnya. Lalu, dengan santai ia mengeluarkan
peralatan masak, beras, daging kalengan, dan sekedar bumbu.
Selesai nasi ditanak, dibukanya
kaleng dan lalu mengolahnya dengan nasi yang baru tanak tersebut. Lalu, ya makanlah dia dengan nikmatnya.
Sementara Nina dan yang lain terus saja asyik dengan kegiatan mereka
masing-masing. Ada yang tidur-tidur
ayam, main-main air, bengong-bengong bego. Kalau Nina tak salah ingat, waktunya memang bukan jam makan
makanya yang lain santai saja.
"Gue udah masak banyak gini, nggak
ada yang mau ikutan makan nih?"
Bang Belek bertanya.
Wah, boleh juga tuh, pikir Nina. Meskipun tak
lapar-lapar amat, ia lalu menawarkan
perutnya untuk berpartisipasi.
"Gue mau, deh!" katanya.
"Jangan, Mat!" sergah pak dokter B.
Pak dokter B bukan anggauta klub, bukan juga ca-ang. Keikutsertaannya kalau tidak salah adalah karena perjalanan panjang
ini juga ada bhakti sosial kesehatannya. Kalau Nina tidak salah ingat, ya begitulah. Sedangkan adik perempuan pak dokter yang juga
ikut merupakan salah seorang ca-ang seperti Nina.
Nina, yang
di masa kuliah lebih dikenal sebagai
Mamat, tak mengacuhkan larangan pak dokter B. Ia tak paham kenapa pak
dokter melontarkan larangan, pun tak
merasa perlu untuk bertanya. Segera saja
dihampirinya Bang Belek dengan
penuh semangat. Peralatan makan kempingnya erat di tangan. Sedap nian
makan di atas batu di tengah sungai bening begitu! Dimasakin pula!
Selesai makan, semua siap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Dengan
cemberut, pak dokter mendekati Nina.
"Belek tadi kan masak
daging babi kalengan. Koq makanan
haram dimakan sih!" gerutu pak dokter yang dari
tadi sejak Nina ikutan makan memasang
wajah cemberut.
Lhooo! Pantas saja
tidak ada yang mau makan masakannya
Bang Belek. Abang kita yang sudah almarhum ini kebetulan Nasrani, jadi tak soal baginya untuk makan daging babi.
Sementara, Nina tak menyadari bahwa makanan tadi adalah haram adanya—kalau tahu pun mungkin tetap saja
dimakannya.
"Wah, pantesan enak!"
jawab Nina ngasal.
Pak dokter B semakin cemberut.
Rombongan melanjutkan perjalanan di medan yang terdiri dari tanah merah
padat yang licin. Berjalan
tepat di belakang Nina adalah pak dokter B yang sesekali masih saja mengomeli
Nina soal makan tadi. Hihi..., sepertinya pak dokter sengaja mengambil posisi
di belakang Nina deh, supaya si adik nakal itu bisa
terus dimarahi sampai yang memarahinyai bosan, atau puas.
Ketika jalan setapak sudah menjadi
tanjakan, tiba-tiba Nina terpeleset dan jatuh tertelungkup.
"Astagafirulaaaaaah..." jerit Nina.
"Hei, habis makan daging babi jangan sebut-sebut nama Allah!"
sergah pak doker B.
"Aduh, tolongin gue bangkit donk, dokter B!" kata Nina.
Posisi Nina lumayan ribed.
Sudahlah jatuh tertelungkup di tanjakan licin, tertimpa pula dengan ransel
besar ukuran 30-40 liter. Jadi, perlu ada teman yang membantu untuk bisa
berdiri.
"Nggak mau! Rasain! Siapa suruh tadi makan daging
babi," tolak pak dokter dengan nada puas.
Sambil berkata demikian, sang dokter yang tak punya niat membantu Nina untuk berdiri itupun meneruskan
langkahnya. Meninggalkan Nina yang tengkurap tanpa daya di tanah,
terjepit di antara muka bumi dan ransel besarnya.
Mendengar
omelan-omelan pak dokter yang telah berlalu itu, alih-alih sebal, Nina malah menjadi tergelak-gelak. Perutnya
sampai sakit karena tertawa, dan makin hilang saja tenaganya untuk bangkit berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. §
No comments:
Post a Comment