Angka 72 (tujuh dua) bagi Nina kecil dulu itu, sampai ia berusia awal duapuluhan, adalah angka ajaib.
Angka yang bagaikan kunci pembuka pintu ke dunia. Berkat angka tersebut, ia dan
keluarganya dapat berhubungan dengan dunia luar. Pun cukup dilakukan dari rumah
saja. Ah, ajaib sekali,
bukan?
Tidak ajaib sih sebenarnya.
Sebab, sesungguhnya 72 adalah nomor
telepon di rumah Nina.
Pesawat telepon di rumah
Nina itu bentuknya tidak seperti biasanya sebuah pesawat telepon rumahan. Normalnya kan sebuah pesawat telepon itu pada badannya terdapat angka mulai dari 1 sampai dengan 9, dan angka 0 (nol). Kalau dulu,
angka tersebut tertata memutar pada
sebuah piringan yang bisa berputar
juga. Diposisikan di tengah badan pesawat. Pada masa berikutnya, piringan tersebut diganti
dengan susunan tombol-tombol
bernomor yang sama. Masih tetap beada
di tengah badan pesawat telepon. Sementara pesawat telepon di rumah Nina dulu itu tidak mempunyai nomor
sama sekali.
Pesawat telepon jaman dulu bentuknya masif dan mirip trapesium.
Perangkat untuk mendengar dan berbicaranya, yang lumrahnya disebut sebagai gagang telepon, diletakan di bagian
yang paling tinggi secara melintang.
Pesawat telepon di rumah Nina itu juga masif dan berbentuk trapesium, tapi
posisi gagang teleponnya diletakan
secara membujur. Menempati bagian
yang seharusnya tempat untuk piringan bernomor. Aku katakan seharusnya ya,
karena piringan itu tidak ada sama sekali di badan pesawat yang bernomor 72
itu.
Adalah sebuah kesepakatan internasional bahwa antara satu telepon
dengan telepon lainnya dapat
berhubungan melalui sejumlah kode nomer. Jadi, seorang manusia yang
hendak menghubungkan diri dan
berbicara secara jarak jauh dengan temannya yang juga manusia, dia harus memutar nomor-nomor yang tertera di piringan tersebut
sesuai dengan nomor telepon yang dituju. Nah, kalau pesawat teleponnya Nina tak
mempunyai nomor-nomor untuk diputar, bagaimana donk caranya membuka jendela dunianya?
Nah, itu fungsi sepotong tuas atau alat engkol yang mencogok di sebelah
kanan badan telepon di rumah Nina.
Diputar saja, setelah itu angkat
gagang telepon, tempelkan di
telinga, dan tunggu.
"Trikora, selamat pagi/siang/malam," sebuah suara tegas akan menyapa ramah.
"Selamat pagi/siang/malam, saya mau nelpon ke nomer xxxxx,"
Nina akan menyahut seperti
ini.
"Silahkan tunggu".
Tak lama disusul dengan, "Silahkan dengan nomor xxxxx-nya".
Dan, jendela dunia pun terbuka.
Kalau ada telepon masuk, pesawat telepon akan berdering.
Bunyinya tidak seperti pesawat telepon biasa yang berdering dengan interval
tertentu, tetapi deringan panjang-panjang yang tak menentu durasinya. Bila gagang
telepon diangkat, akan terdengar suara tegas yang ramah itu.
"72, ada telepon masuk, silahkan".
Waktu Nina kecil, jangankan telepon genggam, telepon rumahan pun masih
jarang dimiliki orang. Pada masa itu, telepon adalah salah satu dari lambang
kemewahan sekaligus penanda
status sosial seseorang. Bagi anak-anak usia sekolah dasar seumuran Nina waktu itu, siapa yang di rumahnya ada telepon, pasti
dia anak orang kaya. Sekolah dasar Nina berada di daerah Menteng, dan temannya banyak yang berumah di daerah itu
juga, daerah yang dipercaya sebagai
daerah hunian orang-orang kaya. Ditandai dengan mobil-mobil bagus
dan mewah, rumah-rumah gedong,
dan, tentunya ada telepon. Nina juga punya telepon di rumah. Bedanya, tak tinggal di daerah Menteng, rumahnya bukan rumah gedong
dan mobil-mobilnya semua mobil dinas ayahnya yang terdiri dari bermacam-macam
jeep ganti berganti. Willys jeep Amerika, gaz Rusia, sampai Toyota jeep Jepang. Semuanya bernomor militer. Ayahnya juga bukan
militer dengan pangkat tinggi, tapi, pokoknya di rumah ada telepon. Di kompleks tempat tinggalnya,
rumah keluarganya Nina merupakan satu-satunya
rumah yang punya telepon. Kadang-kadang jadi bahan kesombongan sedikit
kalau ada yang memuji. Ih bikin malu deh...
Di sekolah, teman-teman Nina
yang punya telepon di rumah lalu tukar menukar nomor telepon. Termasuk
Nina tentunya. Waktu itu mungkin Nina masih duduk di kelas dua sekolah dasar.
"Koq nomernya sedikit
amat?" tanya temannya.
Waktu itu deretan angka nomor telepon memang tidak sepanjang sekarang,
tapi tidak terlalu pendek juga. Terdiri dari 4 sampai 5 digit. Sementara nomer telepon Nina
hanya dua digit. Itu sebab temannya
rada tak percaya.
"Iya, itu sudah betul,"
jawab Nina yakin.
Beberapa hari kemudian sang teman protes. Sebab upayanya menelpon Nina ke nomor 72 tak kunjung
berhasil. Nina tetap yakin
bahwa tak ada yang salah
dengan nomor telepon yang
diberikannya. Pembicaraan selesai sampai di situ, tidak ada jalan keluar tapi ya sudah bukan
masalah penting.
Memakan waktu dua-tiga tahun sampai Nina memahami situasi yang sebenarnya. Bahwa ternyata 72 itu bukan nomor telepon, melainkan nomor
pesawat. Istilah yang sekarang lebih
dikenal sebagai extention yang kalau disingkat ditulisnya ext., begitu—kalau kata ‘pesawat’ singkatannya adalah ‘pes.’ atau ‘psw.’. Karenanya,
untuk bisa menghubungi pesawat
atau extention 72, ada nomer telepon
biasa yang harus dihubungi terlebih dahulu. Nomor
tersebut akan tersambung ke sebuah pusat
komunikasi atau sentral telepon yang berada di area yang bernama
Trikora, di kompleks AURI (sekarang TNI-AU) Halim Perdanakusuma. Sentral telepon tersebut pun bernama Trikora,
sebagaimana para operatornya mengidentifikasikan diri mereka bila dihubungi.
Setelah si penelepon menyebutkan nomor pesawat yng diinginkan, operator akan
menyambungkannya.
Ada empat atau lima nomor sentral Trikora dulu itu. Makanya,
kalau Nina harus menuliskan nomor telepon sebagai pelangkap sebuah data diri, nomornya teleponnya ada beberapa. Disusul nomor
pesawatnya, 72.
Rumah keluarga Nina dulu itu berada di daerah Polonia. Sementara
sentral telepon Trikora berada di
kompleks AURI Halim
Perdanakusuma. Kenapa begitu? Ya karena begitu... Eh...
Ayah si Nina itu anggauta AURI tetapi karena alasan tertentu menolak
untuk tinggal di kompleks Halim. Kebetulan dapat rumah di Polonia yang tak terlalu jauh dari Halim.
Spesialisasi beliau adalah electro
dan radio komunikasi. Dalam kapasitasnya itu, beliau dan mungkin dengan sesama anggauta AURI lainnya, membangun sentral telepon Trikora tersebut. Karena jasanya,
maka, meski tak tinggal di Halim, beliau
mempunyai hak untuk mendapatkan nomor pesawat Trikora.
Ah mungkin hitungannya bukan karena jasanya. Melainkan, karena ada kepentingannya dengan urusan kedinasan.
Urusan kedinasan yang juga boleh dipergunakan untuk urusan pribadi.
Asal tahu diri. Kalau terlalu lama, pembicaraan telepon akan diselak oleh sang
operator.
"Maaf, line teleponnya diperlukan. Pembicaraannya mohon
diselesaikan," demikian kira-kira yang akan diucapkan
oleh sang operator.
Sopan, tapi bisa membuat Nina
merasa malu hati. Terlebih apabila dia sedang terlibat dalam sebuah percakapan tak penting tapi seru.
Yang tak jarang dilengkapi dengan tertawa ngakag.
Mulanya Nina mengira bahwa teguran demikian disampaikan karena hubungan teleponnya adalah hubungan ke
luar. Kan yang bayar tagihannya kedinasan, jadi nggak boleh donk lama-lama. Nanti
AURI harus membayar mahal. Tapi, perkiraan itu salah adanya. Karena
kalau sedang terima telepon masuk pun, apabila terlalu lama bicara, teguran
akan masuk juga.
"Bukan karena
urusan kedinasan harus bayar mahal
atau tidak, tapi karena line-nya
kan dibutuhkan banyak orang,"
jelas ayahnya Nina suatu kali.
Bahkan hubungan
antara sesama nomor pesawat Trikora
pun begitu juga adanya.
Ketika duduk di bangku sekolah menengah atas, Nina mendapat teman-teman yang adalah anak-anak
Halim. Sebagian di antaranya punya
telepon Trikora juga, jadi bila hendak menghubungi mereka tinggal minta
disambungkan ke nomor pesawatnya. Apabila kelamaan pun tegoran serupa segera masuk.
Pada awal 1980-an rumah Nina akhirnya berlangganan telepon telkom. Penggunaan telepon Trikora pun menurun
drastis. Awalnya Nina masih memakainya untuk menghubungi teman-temannya di Halim. Tapi, lama kelamaan berhenti sama sekali. Melihat tak ada tanda-tanda kehidupan dari nomor 72 selama berbulan-bulan, mungkin pihak operator Trikora menjadi
bertanya-tanya. Dan akhirnya suatu hari operator Trikora pun menghubungi 72
sebagai pemeriksaan. Telepon diterima oleh sang ayah. Pada saat yang bersamaan telepon
telkom di rumah berdering. Sang operator Trikora pun segera memahami kenapa
pesawat 72 tak lagi aktif. Tak lama, atas persetujuan keluarga, pesawat nomor
72 pun dicabut.
Pencabutan pesawat 72
terjadi sekitar tiga puluh tahun lalu. Namun, selama-lamanya Nina tidak akan
pernah lupa dengan angka ajaib pembuka jendela dunia itu. §
No comments:
Post a Comment