Friday, August 8, 2014

72



Angka 72 (tujuh dua) bagi Nina kecil dulu itu, sampai ia berusia awal duapuluhan, adalah angka ajaib. Angka yang bagaikan kunci pembuka pintu ke dunia. Berkat angka tersebut, ia dan keluarganya dapat berhubungan dengan dunia luar. Pun cukup dilakukan dari rumah saja. Ah, ajaib sekali, bukan?

Tidak ajaib sih sebenarnya. Sebab, sesungguhnya 72 adalah nomor telepon di rumah Nina.

Pesawat telepon di rumah Nina itu bentuknya tidak seperti biasanya sebuah pesawat telepon rumahan. Normalnya kan sebuah pesawat telepon itu pada badannya terdapat angka mulai dari 1 sampai dengan 9, dan angka 0 (nol). Kalau dulu, angka tersebut tertata memutar pada sebuah piringan yang bisa berputar juga. Diposisikan di tengah badan pesawat. Pada masa berikutnya, piringan tersebut diganti dengan susunan tombol-tombol bernomor yang sama. Masih tetap beada di tengah badan pesawat telepon. Sementara pesawat telepon di rumah Nina dulu itu tidak mempunyai nomor sama sekali.

Pesawat telepon jaman dulu bentuknya masif dan mirip trapesium. Perangkat untuk mendengar dan berbicaranya, yang lumrahnya disebut sebagai gagang telepon, diletakan di bagian yang paling tinggi secara melintang. Pesawat telepon di rumah Nina itu juga masif dan berbentuk trapesium, tapi posisi gagang teleponnya diletakan secara membujur. Menempati bagian yang seharusnya tempat untuk piringan bernomor. Aku katakan seharusnya ya, karena piringan itu tidak ada sama sekali di badan pesawat yang bernomor 72 itu.

Adalah sebuah kesepakatan internasional bahwa antara satu telepon dengan telepon lainnya dapat berhubungan melalui sejumlah kode nomer. Jadi, seorang manusia yang hendak menghubungkan diri dan berbicara secara jarak jauh dengan temannya yang juga manusia, dia harus memutar nomor-nomor yang tertera di piringan tersebut sesuai dengan nomor telepon yang dituju. Nah, kalau pesawat teleponnya Nina tak mempunyai nomor-nomor untuk diputar, bagaimana donk caranya membuka jendela dunianya?

Nah, itu fungsi sepotong tuas atau alat engkol yang mencogok di sebelah kanan badan telepon di rumah Nina. Diputar saja, setelah itu angkat gagang telepon, tempelkan di telinga, dan tunggu.

"Trikora, selamat pagi/siang/malam," sebuah suara tegas akan menyapa ramah.

"Selamat pagi/siang/malam, saya mau nelpon ke nomer xxxxx," Nina akan menyahut seperti ini.

"Silahkan tunggu".

Tak lama disusul dengan, "Silahkan dengan nomor xxxxx-nya".

Dan, jendela dunia pun terbuka.

Kalau ada telepon masuk, pesawat telepon akan berdering. Bunyinya tidak seperti pesawat telepon biasa yang berdering dengan interval tertentu, tetapi deringan panjang-panjang yang tak menentu durasinya. Bila gagang telepon diangkat, akan terdengar suara tegas yang ramah itu.

"72, ada telepon masuk, silahkan".

Waktu Nina kecil, jangankan telepon genggam, telepon rumahan pun masih jarang dimiliki orang. Pada masa itu, telepon adalah salah satu dari lambang kemewahan sekaligus penanda status sosial seseorang. Bagi anak-anak usia sekolah dasar seumuran Nina waktu itu, siapa yang di rumahnya ada telepon, pasti dia anak orang kaya. Sekolah dasar Nina berada di daerah Menteng, dan temannya banyak yang berumah di daerah itu juga, daerah yang dipercaya sebagai daerah hunian orang-orang kaya. Ditandai dengan mobil-mobil bagus dan mewah, rumah-rumah gedong, dan, tentunya ada telepon. Nina juga punya telepon di rumah. Bedanya, tak tinggal di daerah Menteng, rumahnya bukan rumah gedong dan mobil-mobilnya semua mobil dinas ayahnya yang terdiri dari bermacam-macam jeep ganti berganti. Willys jeep Amerika,  gaz Rusia, sampai Toyota jeep Jepang. Semuanya bernomor militer. Ayahnya juga bukan militer dengan pangkat tinggi, tapi, pokoknya di rumah ada telepon. Di kompleks tempat tinggalnya, rumah keluarganya Nina merupakan satu-satunya rumah yang punya telepon. Kadang-kadang jadi bahan kesombongan sedikit kalau ada yang memuji. Ih bikin malu deh...

Di sekolah, teman-teman Nina yang punya telepon di rumah lalu tukar menukar nomor telepon. Termasuk Nina tentunya. Waktu itu mungkin Nina masih duduk di kelas dua sekolah dasar.

"Koq nomernya sedikit amat?" tanya temannya.

Waktu itu deretan angka nomor telepon memang tidak sepanjang sekarang, tapi tidak terlalu pendek juga. Terdiri dari 4 sampai 5 digit. Sementara nomer telepon Nina hanya dua digit. Itu sebab temannya rada tak percaya.

"Iya, itu sudah betul," jawab Nina yakin.

Beberapa hari kemudian sang teman protes. Sebab upayanya menelpon Nina ke nomor 72 tak kunjung berhasil. Nina tetap yakin bahwa tak ada yang salah dengan nomor telepon yang diberikannya. Pembicaraan selesai sampai di situ, tidak ada jalan keluar tapi ya sudah bukan masalah penting.

Memakan waktu dua-tiga tahun sampai Nina memahami situasi yang sebenarnya. Bahwa ternyata 72 itu bukan nomor telepon, melainkan nomor pesawat. Istilah yang sekarang lebih dikenal sebagai extention yang kalau disingkat ditulisnya ext., begitu—kalau kata ‘pesawat singkatannya adalah pes. atau psw.’. Karenanya, untuk bisa menghubungi pesawat atau extention 72, ada nomer telepon biasa yang harus dihubungi terlebih dahulu. Nomor tersebut akan tersambung ke sebuah pusat komunikasi atau sentral telepon yang berada di area yang bernama Trikora, di kompleks AURI (sekarang TNI-AU) Halim Perdanakusuma. Sentral telepon tersebut pun bernama Trikora, sebagaimana para operatornya mengidentifikasikan diri mereka bila dihubungi. Setelah si penelepon menyebutkan nomor pesawat yng diinginkan, operator akan menyambungkannya.

Ada empat atau lima nomor sentral Trikora dulu itu. Makanya, kalau Nina harus menuliskan nomor telepon sebagai pelangkap sebuah data diri, nomornya teleponnya ada beberapa. Disusul nomor pesawatnya, 72.

Rumah keluarga Nina dulu itu berada di daerah Polonia. Sementara sentral telepon Trikora berada di kompleks AURI Halim Perdanakusuma. Kenapa begitu? Ya karena begitu... Eh...

Ayah si Nina itu anggauta AURI tetapi karena alasan tertentu menolak untuk tinggal di kompleks Halim. Kebetulan dapat rumah di Polonia yang tak terlalu jauh dari Halim. Spesialisasi beliau adalah electro dan radio komunikasi. Dalam kapasitasnya itu, beliau dan mungkin dengan sesama anggauta AURI lainnya, membangun sentral telepon Trikora tersebut. Karena jasanya, maka, meski tak tinggal di Halim, beliau mempunyai hak untuk mendapatkan nomor pesawat Trikora.

Ah mungkin hitungannya bukan karena jasanya. Melainkan, karena ada kepentingannya dengan urusan kedinasan.

Urusan kedinasan yang juga boleh dipergunakan untuk urusan pribadi. Asal tahu diri. Kalau terlalu lama, pembicaraan telepon akan diselak oleh sang operator.

"Maaf, line teleponnya diperlukan. Pembicaraannya mohon diselesaikan," demikian kira-kira yang akan diucapkan oleh sang operator.

Sopan, tapi bisa membuat Nina merasa malu hati. Terlebih apabila dia sedang terlibat dalam sebuah percakapan tak penting tapi seru. Yang tak jarang dilengkapi dengan tertawa ngakag.

Mulanya Nina mengira bahwa teguran demikian disampaikan karena hubungan teleponnya adalah hubungan ke luar. Kan yang bayar tagihannya kedinasan, jadi nggak boleh donk lama-lama. Nanti AURI harus membayar mahal. Tapi, perkiraan itu salah adanya. Karena kalau sedang terima telepon masuk pun, apabila terlalu lama bicara, teguran akan masuk juga.

"Bukan karena urusan kedinasan harus bayar mahal atau tidak, tapi karena line-nya kan dibutuhkan banyak orang," jelas ayahnya Nina suatu kali.

Bahkan hubungan antara sesama nomor pesawat Trikora pun begitu juga adanya. Ketika duduk di bangku sekolah menengah atas, Nina mendapat teman-teman yang adalah anak-anak Halim. Sebagian di antaranya punya telepon Trikora juga, jadi bila hendak menghubungi mereka tinggal minta disambungkan ke nomor pesawatnya. Apabila kelamaan pun tegoran serupa segera masuk.

Pada awal 1980-an rumah Nina akhirnya berlangganan telepon telkom. Penggunaan telepon Trikora pun menurun drastis. Awalnya Nina masih memakainya untuk menghubungi teman-temannya di Halim. Tapi, lama kelamaan berhenti sama sekali. Melihat tak ada tanda-tanda kehidupan dari nomor 72 selama berbulan-bulan, mungkin pihak operator Trikora menjadi bertanya-tanya. Dan akhirnya suatu hari operator Trikora pun menghubungi 72 sebagai pemeriksaan. Telepon diterima oleh sang ayah. Pada saat yang bersamaan telepon telkom di rumah berdering. Sang operator Trikora pun segera memahami kenapa pesawat 72 tak lagi aktif. Tak lama, atas persetujuan keluarga, pesawat nomor 72 pun dicabut.

Pencabutan pesawat 72 terjadi sekitar tiga puluh tahun lalu. Namun, selama-lamanya Nina tidak akan pernah lupa dengan angka ajaib pembuka jendela dunia itu. §

No comments:

Post a Comment