Saturday, November 7, 2015

Sepatu Gunung



Jaman dulu waktu N mulai seneng-senengnya hiking/naik gunung, hampir empat puluh tahun lalu lah kira-kiranya, kelengkapan yang dipakai ya seada-adanya aja. Naik gunung pakai sepatu kets biasa kalau tidak pakai sandal jepit. Bisa juga pakai sepatu but militer lungsuran dari ayah yang pensiunan tentara, yang melungsurnya bareng-bareng dengan ransel dan jaket militer. Kaus kakinya ya kaus kaki biasa sajalah. Atau, nyuri-nyuri pinjam kaus kaki bola sekandungnya N. 

N punya tante yang hidup lajang dan yang pekerjaannya kerap membawa beliau melanglangbuana. Setiap pergi, selalu membawa oleh-oleh untuk keponakannya yang berjumlah 27 orang. Kadang ada yang sudah pesan sesuatu terlebih dahulu, bikin ngiri yang lain saja kalau ketahuan—makanya tante selalu suruh diam-diam saja. Salah satu yang pernah pesan oleh-oleh adalah N, waktu tante En (nama si tante), pergi tugas ke Wina di Austria. Oleh-oleh yang N pesan adalah sepatu gunung hohoho... Di Wina ada sepupu yang tinggal di sana, namanya Et. Anak pecinta alam juga—dulu sih disebutnya anak gunung, yang jauh lebih senior daripada N. Hitungannya suhu lah kalo di perguruan silat Cina. Senior. Itu sebab N berani minta oleh-oleh sepatu gunung, sebab kan ada Et yang bisa memilihkan. Soal ukuran, tak jadi masalah. Kaki tante En dan N ukurannya kura-kira sama. 

Sepulangnya tante En ke tanah air, tak lama beliau datang ke rumah membawa oleh-oleh. Sepasang sepatu gunung kulit, sepasang kakus kaki wol, sepasang kaus kaki campuran wol dan akrilik, semir sepatu khusus, dan serentet gerutuan diterima N dari tante En. Banyak ya oleh-olehnya...

Tapi, kenapa donk tante En menggerutu begitu? Sebab, kata beliau, sepatu itu mahal banget harganya. Sudah gitu, kata tante En lagi, Et nambah-nambahin dengan dua pasang kaos kaki yang nggak murah juga, plus semirnya! Duh, kenapa donk tante nggak protes ke Et, demikian N bertanya. Siapa tahu ada yang lebih murah. 

"Karena kata Et sepatu yang ini adalah yang paling sesuai," begitu kira-kita kata tante En sebagaimana yang diingat N. Mungkin tante En ada berucap lebih panjang, tapi, sudahlah, N sudah lupa. 

Itu kejadian di 1980. Saat yang sama, N baru diterima di perguruan tinggi. Hari pertama masa perkenalan mahasiswa baru masih boleh pakai pakaian bebas. Pada hari itu N nekad memakai sepatu gunung itu untuk pertama kalinya. Sepeti nggak sabaran, sekalian latihan memakai sepatu yang berat itu. Sebagai informasi, sepasang sepatu gunung itu berat totalnya 2,4 kg.

Mahasiswa baru dikumpulkan di ruang teater, lalu disuruh naik ke panggung nan berlantai kayu. Berjalan dengan sepatu seberat itu di lantai kayu, seringan apapun langkah yang dibikin N, tetap saja pledak-pledok bunyinya.

N tak ingat lagi merek sepatunya, tapi ia tak akan lupa bahwa merek sol sepatunya adalah vibram. Pun awalnya tak ada perhatian dengan judul vibram ini kalau saja salah satu kakak seniornya tak menyerukan sesuatu yang berhubungan dengan itu.

"Gileee..., dia pake vibram!!!" 

Eh!?

Rupanya, ini merek yang lumayan dipandang oleh orang-orang yang suka naik gunung. Sesuatu yang tak disadari oleh N sebelumnya.

Tentang vibram, ini adalah merek sol karet tebal yang dikhususkan untuk sepatu kegiatan luar ruangan macamnya hiking dan sejenisnya. Pabriknya berada di kota Albizzate di propinsi Varese, Italia, merupakan perusahaan yang didirikan pada 1937 oleh Vitale Bramani. Vibram adalah singkatan nama dari sang pendiri ini. Misi Brahmani adalah membuat sepatu gunung yang dapat diandalkan oleh para pendaki/hikers, setelah pada 1935 enam orang teman pendakinya meninggal di gunung Alpen akibat dari ketidaklayakan alas kaki yang dipakai oleh mereka.

Sepatu vibram oleh-oleh dari tante En itu pada akhirnya menemani N berpetualang selama hampir delapan tahun. Termasuk dalam sebuah ekspedisi di Pulau Seram selama lima bulan. Sepatu itu mungkin bisa lebih lama lagi dipakai apabila dirawat dengan lebih khusus, tapi mungkin juga tidak. Belakangan sudah terasa sedikit lebih sempit sampai dikira sepatunya yang mengkerut. Pun di beberapa titik kulitnya mulai aus sampai berlubang. Memang sudah waktunya untuk pensiun. Beberapa tahun kemudian, N sempat punya lagi sepasang sepatu gunung yang mungkin sol-nya vibram juga, tapi rasanya tidak sespektakuler si vibram yang duluan itu. Ringan dan tak terasa tegap saat dipakai. 

Kenapa ya kejadian 35 tahun lalu itu diingat-ingat lagi? Gara-gara terjadinya pertemuan tak direncanakan antara N dan Et yang kebetulan sedang liburan di tanah air. Sebuah pertemuan yang tertunda selama 36 tahun loh! Pada sesi tukar menukar informasi dalam pertemuan dadakan itu antara lain terceritakanlah oleh N bagaimana hebohnya protes dari tante En soal mahalnya sepatu gunung itu. Sesuatu yang belum pernah diketahui Et sebelumnya tentunya. Et menimpali dengan mengungkakan alasannya memilih sepatu 'mahal' itu. Karena, di Austria, jenis sepatu gunung macam itu adalah sepatu gunung yang telah memenuhi standar keselamatan pemakainnya. Nah!   =^.^=

No comments:

Post a Comment