Sunday, November 1, 2015

Jaman Jepang ~ Catatan Kenangan



Almarhumah ibu dan almarhum ayah Nina itu dilahirkan dan dibesarkan di jaman penjajahan Belanda. Berasal dari orangtua yang lahir dan dibesarkan di jaman yang sama juga. Bahasa pertama yang diketahui beliau-beliau itu adalah bahasa Belanda. Bersekolah pun di sekolah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda.

Maka, tibalah jaman penjajahan Jepang (1942-1945). Masa di mana semua yang berbau dan berhubungan dengan Belanda dilarang oleh pemerintahan pendudukan militer Jepang. Termasuk pemakaian bahasa Belanda tentunya. Mereka yang tak bisa berbahasa Indonesia, diwajibkan untuk belajar di kursus-kursus bahasa Indonesia yang khusus diadakan. Ibuyang masih duduk di sekolah lanjutan atas—dan saudara-saudara sekandungnya termasuk dalam kelompok ini.

Pada hari dimana ibu mendaftarkan dirinya di kursus, sang penerima pendaftaran menilik nama akhir ibuyang merupakan nama ayahnya—dan lalu membuka mulutnya.

"Tadi ada juga yang mendaftar dengan nama ini," demikian ia berkata, disusul dengan menyebutkan sebuah nama.

"Itu mpok saye," ibu menyahut dengan bahasa Betawi.

Berhubung tidak diperkenankan bercakap memakai bahasa Belanda, maka ibu memakai satu-satunya bahasa lokal yang lumayan dikuasainya. Yaitu, bahasa Betawi. Bahasa ini dipelajari ibu dari para pembantu rumahtangganya yang adalah orang-orang Betawi.

Kalau almarhum ayah, lain lagi ceritanya dari jaman ini. Beliau benci sekali dengan penjajahan Jepang, benci juga disuruh-suruh Jepang belajar bahasa Indonesia (yang dibenci disuruh-suruhnya itu loh...). Maka, diputuskannya untuk bolos sekolah saja dan pergi jalan-jalan. Menggunakan akalnya, ayah membuat sebuah surat keterangan yang akan menjadi dokumen penting untuk jalan-jalannya itu. Surat keterangan yang ditandatangani oleh kepala sekolahnya, dan dilengkapi dengan cap sekolah. Sebuah surat yang menjelaskan bahwa ayah adalah murid sekolah tersebut yang dikirim sebagai utusan untuk berkunjung ke sekolah-sekolah lain di Jawa.

Tandatangan pak kepala sekolah palsu, tentunya; cap-nya mungkin asli yang 'dipinjam' diam-diam.

Ayah lalu bepergian dengan menumpang kereta di sepanjang pulau Jawa bagian utara. Berangkat dari Jakarta (pada waktu itu Jepang sudah mengganti nama Batavia menjadi Jakarta) dan mengarah ke timur. Berbekal surat sakti 'dari sekolah', ayah boleh naik kereta dengan gratis. Di kota-kota di mana ayah memutuskan untuk menginap, ayah tinggal mendatangi sekolah terdekat. Dengan memperlihatkan surat saktinya, ayah menjadi tamu kehormatan di sekolah yang didatanginya. Dijamu makan dan diberikan tempat menginap gratis.

Dua kota yang disinggahi ayah diantaranya adalah Tegal dan Surabaya, demikian data bedasarkan ingatan N. Tak ada kota-kota lain lagi yang muncul dalam ingatan N, atau memang ayah tak pernah menyebutkannya. Tegal berada di tengah-tengah perjalanan, sementara Surabaya menjadi titik berakhirnya perjalanan spektakuler ini, sebagai akibat dari sebuah kesalahan teknis. Di kota terakhir itu ayah rupanya mendatangi sekolah yang salah, yang mana kepala sekolahnya merupakan kerabat ayah sendiri. Yah..., entah bagaimana beliau tahu bahwa semua itu adalah kebohongan yang dibuat ayah, dan menghentikan kenakalan tersebut. Tak ada ribut-ribut, tak ada hukuman, tak ada pengaduan ke sekolah asal—demikian yang diceritakan ayah. Pak kepala tadi cukup memulangkan ayah ke ibukota. Dengan 'ditemani' seseorang untuk memastikan bahwa dalam perjalanan pulang itu ayah tak belok ke mana-mana.

Tak pernah diceritakan oleh ayah apakah pada akhirnya beliau ikut kursus bahasa Indonesia atau tidak. Atau, apakah ayah memang sejak sebelumnya sudah menguasai bahasa Indonesia bersama dengan bahasa Minangkabau—yang terakhir ini sudah pasti. Yang jelas, dengan N dan anak-anak kandungnya yang lain ayah berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Anehnya, di hari-hari terakhirnya ketika beliau sudah sangat sakit, kemampuan berbahasa Indonesia-nya menghilang. Beliau hanya mampu mengekspresikan diri dengan bahasa Belanda. Hal yang sama terjadi juga dengan almarhum ibu dan almarhum oma, ibu dari ibu. Dan, mungkin juga terjadi dengan kerabat lain yang berasal dari masa yang sama.

Kenangan tentang almarhun ibu diketahui N dari kakaknya ibu yang juga sudah almarhum. Sementara tentang ayah, diceritakan sendiri oleh beliau. Semua kenangan ini mucul lagi saat N membaca bundel-bundel majalah Djawa Baroe (DB) di Arsip Nasional RI, ketika sedang melakukan sebuah riset. DB adalah sebuah majalah propaganda pemerintah penjajahan Jepang di Indonesia pada masa itu. Merupakan sedikit dari rekaman sejarah tentang jaman Jepang yang bisa ditemukan di masa kini.

Sedikit catatan tambahan tentang almarhum ayah, meskipun beliau benci sekali dengan penjajahan Jepang—seperti banyak orang Indonesia pada masa itu, ayah ternyata tidak benci dengan Jepang dan orang Jepang di luar masa penjajahan. Karena itu, ketika kemudian beliau bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bekerjasama dengan perusahaan Jepang, sehingga beliau harus beinteraksi dengan bangsa tersebut bahkan sampai harus pergi ke negara sakura itu, tak ada masalah sama sekali.

Oleh-oleh ayah dari Jepang antara lain cerita-cerita dan foto-foto. Rasanya, dari situlah minat acak-dan-sembarang N pada Jepang berakar. Waktu itu dia masih SMP, dan ketika ada tugas mengarang tulisan yang ditunjang dengan gambar-gambar yang dipotong dari majalah, N mencacah majalah Jepang bawaan ayah. Cerita yang ditulis mengambil dasar cerita ayah ketika minum the di Taman Ueno di Tokyo, Jepang.

No comments:

Post a Comment