Almarhumah ibu dan almarhum ayah Nina itu dilahirkan
dan dibesarkan di jaman penjajahan Belanda. Berasal dari orangtua yang lahir
dan dibesarkan di jaman yang sama juga. Bahasa pertama yang diketahui
beliau-beliau itu adalah bahasa Belanda. Bersekolah pun di sekolah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa
Belanda.
Maka, tibalah jaman penjajahan Jepang (1942-1945). Masa di mana semua yang
berbau dan berhubungan dengan Belanda dilarang oleh pemerintahan pendudukan militer Jepang. Termasuk pemakaian bahasa Belanda tentunya. Mereka yang
tak bisa berbahasa Indonesia, diwajibkan untuk belajar di
kursus-kursus bahasa Indonesia yang khusus diadakan. Ibu—yang masih duduk di
sekolah lanjutan atas—dan saudara-saudara
sekandungnya termasuk dalam kelompok ini.
Pada hari dimana ibu mendaftarkan dirinya di kursus,
sang penerima pendaftaran menilik nama akhir ibu—yang merupakan
nama ayahnya—dan lalu membuka
mulutnya.
"Tadi ada juga yang mendaftar dengan nama ini," demikian ia berkata, disusul dengan
menyebutkan sebuah nama.
"Itu mpok saye," ibu
menyahut dengan bahasa
Betawi.
Berhubung tidak diperkenankan bercakap memakai bahasa Belanda, maka ibu
memakai satu-satunya bahasa lokal yang lumayan dikuasainya. Yaitu, bahasa Betawi. Bahasa ini dipelajari ibu dari para pembantu rumahtangganya yang adalah orang-orang Betawi.
Kalau almarhum ayah, lain lagi ceritanya dari jaman ini. Beliau benci
sekali dengan penjajahan
Jepang, benci juga disuruh-suruh Jepang
belajar bahasa Indonesia (yang dibenci disuruh-suruhnya itu loh...). Maka, diputuskannya untuk bolos sekolah saja dan pergi jalan-jalan. Menggunakan akalnya, ayah membuat
sebuah surat keterangan yang akan menjadi dokumen penting untuk jalan-jalannya itu. Surat keterangan yang ditandatangani
oleh kepala sekolahnya, dan
dilengkapi dengan cap sekolah.
Sebuah surat yang menjelaskan bahwa ayah adalah murid sekolah tersebut yang dikirim sebagai utusan untuk berkunjung ke sekolah-sekolah lain di
Jawa.
Tandatangan pak kepala sekolah palsu, tentunya; cap-nya mungkin asli yang 'dipinjam' diam-diam.
Ayah lalu bepergian dengan menumpang kereta di sepanjang pulau Jawa bagian utara.
Berangkat dari Jakarta (pada waktu
itu Jepang sudah mengganti nama Batavia menjadi Jakarta) dan mengarah
ke timur. Berbekal surat sakti 'dari sekolah', ayah boleh naik kereta dengan
gratis. Di kota-kota di mana ayah memutuskan untuk menginap, ayah tinggal mendatangi sekolah
terdekat. Dengan memperlihatkan surat saktinya, ayah menjadi tamu kehormatan di
sekolah yang didatanginya. Dijamu makan dan diberikan tempat menginap gratis.
Dua kota yang disinggahi ayah diantaranya adalah Tegal dan Surabaya, demikian data bedasarkan
ingatan N. Tak ada kota-kota lain lagi yang muncul dalam ingatan N, atau memang
ayah tak pernah menyebutkannya. Tegal berada di tengah-tengah perjalanan, sementara Surabaya menjadi titik
berakhirnya perjalanan spektakuler ini, sebagai akibat dari sebuah kesalahan teknis. Di kota terakhir itu ayah rupanya mendatangi sekolah yang salah, yang mana kepala sekolahnya merupakan kerabat ayah sendiri. Yah..., entah bagaimana beliau tahu bahwa semua itu adalah kebohongan yang dibuat ayah, dan menghentikan kenakalan tersebut. Tak ada
ribut-ribut, tak ada hukuman, tak
ada pengaduan ke sekolah asal—demikian yang diceritakan ayah. Pak kepala
tadi cukup memulangkan ayah
ke ibukota. Dengan 'ditemani' seseorang untuk memastikan bahwa dalam perjalanan
pulang itu ayah tak belok ke mana-mana.
Tak pernah diceritakan oleh
ayah apakah pada akhirnya beliau ikut kursus bahasa Indonesia atau tidak. Atau,
apakah ayah memang sejak sebelumnya sudah menguasai bahasa Indonesia bersama
dengan bahasa Minangkabau—yang terakhir ini sudah pasti. Yang jelas, dengan N
dan anak-anak kandungnya yang lain ayah berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Anehnya, di hari-hari terakhirnya
ketika beliau sudah sangat sakit, kemampuan berbahasa Indonesia-nya menghilang.
Beliau hanya mampu mengekspresikan diri dengan bahasa Belanda. Hal yang sama
terjadi juga dengan almarhum ibu dan almarhum oma, ibu dari ibu. Dan, mungkin
juga terjadi dengan kerabat lain yang berasal dari masa yang sama.
Kenangan tentang almarhun ibu diketahui N dari kakaknya ibu yang juga
sudah almarhum. Sementara tentang ayah, diceritakan sendiri oleh beliau. Semua
kenangan ini mucul lagi saat
N membaca bundel-bundel majalah Djawa Baroe (DB) di Arsip Nasional RI, ketika
sedang melakukan sebuah riset. DB adalah sebuah majalah propaganda pemerintah
penjajahan Jepang di Indonesia pada masa itu. Merupakan sedikit dari rekaman sejarah tentang jaman Jepang yang
bisa ditemukan di masa kini.
Sedikit catatan tambahan tentang almarhum ayah, meskipun beliau benci
sekali dengan penjajahan Jepang—seperti banyak
orang Indonesia pada masa itu, ayah ternyata tidak benci dengan Jepang dan orang Jepang di luar masa penjajahan. Karena itu, ketika kemudian beliau bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bekerjasama dengan perusahaan
Jepang, sehingga beliau harus
beinteraksi dengan bangsa tersebut bahkan sampai harus pergi ke negara
sakura itu, tak ada masalah
sama sekali.
Oleh-oleh ayah dari Jepang antara lain cerita-cerita dan
foto-foto. Rasanya, dari situlah minat acak-dan-sembarang N pada Jepang berakar. Waktu itu dia masih SMP, dan ketika ada tugas mengarang tulisan yang ditunjang dengan
gambar-gambar yang dipotong dari majalah, N mencacah majalah Jepang
bawaan ayah. Cerita yang ditulis
mengambil dasar cerita ayah ketika minum the di Taman Ueno di Tokyo,
Jepang.
No comments:
Post a Comment