Loh, kenapa ada urusan dengan
menyusahkan hati orangtua? Sebab, dulunya lagi, di
pinggir jalan di Puncak sana banyak
anak muda berkemah pada musim liburan.
Duduk-duduk ngeliatin jalan, apabila
ada mobil lewat mereka akan teriak-teriak minta rokok. Orangtua N nggak mau banget anaknya apalagi yang satu-satunya perempuan berlaku seperti
itu. Bisa terasa susah hati.
Untuk bisa kemping di luar kegiatan ekskul, amboy susahnya
untuk dapat ijin!!! Waktu N duduk di kelas satu SMA, seniornya yang di kelas tiga sampai khusus menemui ayah N untuk minta ijin mengajak anaknya si ayah kemping. Ditanya ayah siapa saja yang
ikut, sang senior menjawab dengan menyebutkan
sejumlah nama. Mungkin setengah tak percaya, maka itu ayah menimpali.
"Ada Budi, ada Hasan...". Demikian timpalan ayah.
Pasti sulit bagi sang senior untuk bisa paham kenapa ayah menimpali secara demeikian. Latar belakangnya
adalah, di kompleks rumah N dulu ada seorang anak muda yang bernama Budi. Si Budi ini punya kambing yang diberi nama Hasan. Saking
terkenalnya pasangan itu di kompleks,
sampai-sampai orang-orang di kompleks memplesetkan sebuah lagu
yang berjudul Kau Tinggalkan Aku.
Lirik pertama lagu ini yang berbunyi “Budi bahasamu sangat halus”, diganti
menjadi "Budi, Hasan kambing...".
[Lihat di
bawah, ada lirik lagu ini yang sayangnya N tak ingat siapa pengarang dan
penyanyi aslinya.]
Balik ke soal ijin-ijinan itu, memang ada bohongnya juga sih. Dibilangnya kemping,
padahal sih naik gunung. Kenapa pakai
bohong segala? Sebab, kalau
dibilang naik gunung pasti tidak diijinkan. Ada sedikit ketakutan dalam diri orangtua N, berhubung sebelumnya ada kematian dua anak
muda di lingkungan tempat tinggal.
Pada 1969, anak muda yang bernama Idhan Loebis yang tinggal di depan
kompleks, meninggal di Gunung Semeru bersama seorang aktifis mahasiswa dari
Universitas Indonesia, Soe Hok Gie. Setelah kejadian itu, tak ada yang berubah, anak-anak muda di kompleks tetap pergi mendaki gunung. Situasi berubah dua tahun kemudian, pada 1971, ketika seorang anak muda dari kompleks tempat N tinggal, bernama Idja Djalius, meninggal di Gunung Ciremai. Padahal, ia
adalah yang terkuat dalam urusan naik gunung. Sejak kematian uda Idja—demikian N memanggilnya, semua orang seperti
terhenyak dan kegiatan itu berhenti sama sekali.
N menduga, berdasarkan kejadian-kejadian itu maka orangtuanya tak
memperbolehkan N pergi naik gunung. Anak perempuan satu-satunya gitu kan
dia. Akibatnya, bohong terus deh.
Pada 1978, N dan
teman-temannya merencanakan pendakian ke Gunung Rinjani di Pulau Lombok.
Pamitannya jalan-jalan ke Bali dan Lombok seadanya, yang sekarang ini disebutnya backpacking. Padahal carrier/ranselnya
gede banget, model jaman dulu yang
pakai rangka aluminium. Karena ada kerabat di Lombok dan juga di Bali yang akan dilewati dalam perjalanan, mampir
ke rumah mereka sudah jadi keharusan. Setibanya di Bali,
N segera mampir ke rumah kerabat di sana. Ketika di
Lombok, naik gunung dulu ah...
Di Lombok N dan teman-teman menginap di rumah kakak sepupu salah satu
teman yang adalah anggota
polisi dan menjabat sebagai
danres (komandan resot) di sana. Malam hari sebelum pendakian, seseorang mengetuk pintu. N yang tak bisa tidur,
menyambut orang tersebut yang lalu menyebutkan
bahwa dirinya adalah wadan
(wakil komandan). Menjempun pak
danres karena ada kasus pembunuhan. Keesokan harinya, N dan teman-teman
diantar ke kaki satu titil pendakian
ke gunung Rinjani
dengan sebuah mobil pick-up polisi.
Pick-up yang sama kemudian
juga mengantar rombongan ke Lembar, pelabuhan
feri ke Bali. Dua anak danres
ikut menemani dalam perjalanan
ini. Sebelum meninggalkan Pulau Lombok, N masih harus mampir ke rumah sepasang mbah yang tinggal di kota Mataram. Pick-up polisi yang disupiri oleh
seorang polisi itu pun terlebih
dahulu mengarah ke alamat yang disampaikan oleh N. Kalau tidak salah, N
sudah menelpon terlebih dahulu, karena itu sesampainya di alamat tujuan kedua mbah sudah menunggu.
Eh, tapi koq dua anak pak danres
ikutan turun dari pick-up? Begitu juga supir yang
juga polisi, yang langsung sikap tegak serta memberi hormat ke pada kedua mbah-nya N. Heeeee, ada apa?
"Ini kan rumahnya pak
wadan," kata anak pak danres yang paling besar.
Lah!? Jadi, yang malam itu
dibukakan pintu oleh N adalah oom/paman-nya
sendiri. Tapi nggak mengenali. Walaaah...
Bukan saja pak polisi yang menyupiri pick-up yang kenal dengan kerabat N itu, demikian juga dengan anak-anaknya pak
danres. Hubungan antara pak danres
dan pak wadan cukup akrab rupanya, anak-anak pak danres sering main ke situ.
Nah, kenyataan bahwa N baru saja naik gunung, sudah tak bisa ditutupi
lagi hahaha... N hanya bisa pasrah dan berbuat seolah tak ada apa-apa. Berharap detil bahwa dia naik gunung tak akan pernah terdengar oleh orangtuanya.
Perjalanan kembali ke Jakarta merupakan perjalanan panjang yang makan waktu
beberapa hari. Dua kali menyeberang lautan dan dua kali perjalanan darat di dua
pulau (Bali dan Jawa). Ketika N masih dalam perjalanan pulang itu, sepertinya sih kabar bahwa dia naik gunung Renjani sudah sampai ke
orangtuanya. Tapi, berhubung sepulang perjalanan orangtuanya
tak berkata apa-apa, N merasa
rahasianya tak terbuka.
Beberapa bulan kemudian, di sebuah acara keluarga di Jakarta, ibu
mendekati N dan bertanya pelan.
"Dulu itu, kamu naik gunung Rinjani ya?"
Howadowh, ketauaaan!!!
N cuman mengangguk sambil nyengir kuda, lalu ngeloyor
ke arah dapur. =^.^=
Kau Tinggalkan Aku
Budi bahasamu sangat halus
Melemahkan hatiku
Daku tertawa padamu
Oh...kasih
Janji setiamu kepadaku
Tuk selama-lamanya
Namun sekarang
Apa yang terjadi
Kau tinggalkan aku
Mengapa oh ..mengapa
Hancurlah diriku
Mengenang dikau
Biar daku rela
Demi cinta kepadamu
Oh...Kasih tinggal aku
Tinggalkan....
Tinggalkan....
No comments:
Post a Comment