Tuesday, December 23, 2014

Cerita Kopi


Kopi adalah gaya hidup manusia Indonesia sejak entah kapan. Baik di dalam maupun di luar rumah. Bercerita Nina, bahwa, sejak ia kecil ayahnya membuka pagi harus dengan secangkir/segelas kopi. Lalu, pada sorenya menutup hari juga dengan kopi. Banyak manusia dewasa yang dikenalnya pada masa dulu itu melakukan hal yang serupa dengan ayahnya.

Manusia dewasa? Ya, karena, waktu Nina kecil dulu hanya manusia dewasa yang minum kopi. Anak-anak dilarang. "Nanti jadi bodoh", demikian alasan yang kerap didengar Nina kecil. Alasan yang sama disebar oleh ibunya soal brutu ayam. Apa yang dilarang, pasti dilakukan Nina. Soal brutu, ternyata enak
banget. Ibu-nya kemudian berkata bahwa brutu ayam itu memang enak. Jadi, demikian dilanjutkan sang Ibu yang juga penggemar brutu, harus diupayakan supaya Nina tidak ikut-ikutan menyukai brutu ayam. Bisa rebutan dengan Ibu kan.

Soal kopi, tak pernah ada penjelasan mengapa bisa membuat sesosok anak menjadi bodoh. Mungkin, logikanya, karena kopi bisa membuat manusia yang meminumnya tak mengantuk. Bila tak tidur, si anak pasti akan mengantuk di sekolah. Akibatnya, pelajaran tak akan mampu ditangkap dan anak bisa jadi bodoh. Sementara itu, Nina pernah baca mengenai penelitian mutakhir bahwa kopi dalam takaran tertentu mempunyai faedah yang baik untuk anak-anak manusia.

Tak hanya brutu, kopi pun diam-diam dicoba Nina. Dulu kan merupakan tugasnya seorang untuk membuatkan kopi sore bagi sang ayah. Kesempatan mencicipi selalu ada. Hasilnya? Nina tak suka dengan rasa kopi. Yang dia suka adalah teh manis rasa sendok kopi! Lho!? Ya itu, sehabis mengaduk kopi untuk ayah, sendoknya dipakai untuk mengaduk teh manisnya. Awalnya, gara-gara malas mengambil sendok baru. Hasilnya, malah menyenangkan dan bikin ketagihan.

Tapi, harumnya aroma kopi sangat disukai Nina. Di dekat gereja Bethel (sekarang Kononia) di seberang viaduk di dekat Pasar Jatinegara, pada siang hari, dulu, aroma biji kopi digiling selalu meruap di udara. Menghirupnya dalam-dalam adalah kesukaan Nina. Aroma harum kopi untuk ayah pun disukainya pula. Dan, harum kopi milik teman-teman masa remaja saat
nongkrong di warung kopi pinggir jalan.

Tradisi warung kopi adalah tradisi yang sangat Indonesia. Di berbagai daerah di Indonesia, selalu mudah untuk menemukan warung-warung kopi tradisional. Lebih dari pada sekedar tempat manusia menghirup cairan hitam pekat tersebut, warung kopi adalah wadah untuk bersosialisasi. Sebagaimana misalnya 
warung kopi di Sumatra Barat. Dikenal dengan sebutan lepau, merupakan tempat manusia lelaki berkumpul.Duduk berjam-jam di lepau, kadang dari pagi sampai sore, seorang pelanggan bisa cuma pesan kopi segelas. Atau, bahkan setengah gelas saja. Namun, tanpa malu, sesekali dimintanya pemilik lepau untuk menambahkan air hangat ke gelas kopinya. Pun juga  minta tambah gula sedikit ke dalam gelasnya yang adalah modal untuk nimbrung ke dalam diskusi hangat yang tiada habis dibahas.

Dalam masyarakat Minangkabau, diskusi-diskusi tak keruan di
lepau biasa disebut sebagai ota lepau. Pembicaraannya bisa mengenai hal-hal besar tapi tak mempunyai arti apa-apa. Semisal yang pernah diucapkan oleh almarhum Ed Zoelverdi si Mat Kodak di era orde baru yang sudah berlalu, bahwa dalam satu hari Presiden Suharto bisa dua puluh kali dikudeta, dan dua puluh kali diangkat kembali menjadi presiden. Sedemikian 'kosong'nya ota lepau, dua kata ini pun menjadi sebuah perumpamaan. Yang berarti, bahwa sesuatu hal yang dibicarakan seseorang yang kesannya sangat besar, sebenarnya tak lebih dari omong kosong atau bualan belaka.

Di daerah-daerah manapun, warung kopi tradisional bisa dikatakan sebagai tempat bersosialisasinya kaum lelaki. Perempuan memang jarang terlihat
nongkrong di warung kopi tradisional termasuk warung-warung kopi yang tersebar di Jakarta. Kecuali, bahwa dia adalah pemilik/pengelola warung kopinya.

Warung-warung kopi sejak lama banyak tersebar di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Tak cuma jarang dikunjungi wanita, pengunjungnya umumnya adalah manusia-manusia yang berasal dari kelompok ekonomi bawah. Di banyak warung-warung itu dahulu, sambil
ngopi, atau ngeteh, manusia bisa makan kue pancong yang enak. Jaman sekarang, kue pancong tak lagi ada di warung kopi. Diganti gorengan dan/atau bubur kacang ijo-ketan item. Sebagian besar bahkan menyediakan mi instan merek tertentu sehingga namanya berubah bukan sebagai warung kopi, tapi merupakan warung mi-instan-merek-tertentu-itu.

Globalisasi di berbagai bidang juga menyerempet ke dunia kopi. Masuklah ke Indonesia warung-warung kopi non-tradisional berselera Barat. Dengan pangsa pasar kelas ekonomi mengengah-atas sampai atas. Berhubung tempat macam ini adalah tempat yang moderen dan berasal dari dunia bagian barat yang sangat-sangat maju, tampaknya tak pantaslah disebut sebagai warung kopi. Melainkan,
coffee shop atau café alias cafe. Atau, cukup disebut sebagai kafe. Kafe macam ini, berbeda dengan warung kopi tradisional atau di pinggir jalan, ternyata banyak didatangi oleh manusia-manusia perempuan tanpa ada yang merasa aneh.

Awalnya sekedar
hip, mendatangi kafe kini telah menjadi gaya hidup yang baru. Situasi Jakarta yang macet tak tertahankan menjadi salah satu sebab utama manusia berkunjung ke kafe. Menunggu  jalanan menyepi, manusia pun menutup hari dengan menikmati kopi sore di kafe. Gaya hidup memang sudah berubah, sudah tak jaman lagi tradisi ngopi sore di rumah seperti ayahnya si Nina dulu.

Kopi-kopi di kafe adalah biji kopi yang berasal dari mancanegara. Demikian pula dengan olahannya, merupakan olahan asing. Sebelum kehadiran kafe macam itu, manusia Indonesia taunya kopi pahit, kopi kental, kopi jahe, kopi encer, kopi manis, kopi susu, kopi telur, kopi luwak. Dengan hadirnya kafe, maka istilah expresso, latte, cappucino, dan sejenisnya; mulai menari-nari dalam bahasa pergaulan lokal.

Adalah sebuah ironi bahwa Indonesia yang kaya akan kopi lokal, manusianya malahan minum kopi impor. Di negara ini, dari barat ke timur, dari utara ke selatan;
 kopi atau biji kopi bahkan perkebunannya begitu mudah ditemukan. Ada kopi Aceh, Gayo, Mandheling, Lintong, Toraja, Kalossi, Gowa, Jawa, Flores, Papua—daftarnya terlalu panjang. Kehadiran kopi-kopi asing tersebut siapa tau merupakan ancaman bagi keberadaan kopi-kopi lokal. Mungkin pemikiran yang sama timbul di benak beberapa pemerhati dan/atau penikmat kopi Indonesia. Maka itu, kafe-kafe dengan cita rasa kopi lokal pun bermunculan.

Pemunculan kafe-kafe dengan kopi lokal tersebut ternyata tidak ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat. Berhubung namanya kafe, harganya harga kafe. Padahal, tidak semua manusia Indonesia mampu membayar kopi yang secangkirnya berharga lima puluh ribu rupiah sebelum pajak. Pun, kafe cita rasa lokal juga tak mengangkat harkat warung kopi dengan memasang label ‘kafe’, bukannya ‘warung kopi’. Kafe adalah untuk elit tertentu, sedangkan warung kopi adalah tempat bagi orang-orang pinggiran.
 

Belakangan, telah muncul yang namanya kopitiam atau kopi tiam. Prinsipnya, ya warung kopi juga. ‘Tiam’ dalam bahasa Hokkien/Hakka berarti ‘toko’. Merupakan warung kopi  Melayu-Cina. Sepertinya sebutan ‘kopi tiam’ dianggap masih lebih keren dibandingkan dengan ‘warung kopi’. Karena dianggap sesuatu yang datang dari luar, Malaysia dan Singapura. Meski sebenarnya kopitiam itu lumrah adanya di Riau Kepulauan, Medan, dan Jambi.

Terkendala dana, manusia yang terpinggirkan memang tak bisa mengunjungi kafe-kafe baik yang bercitarasa mancamegara maupun lokal. Meskipun demikian, ternyata tak berarti mereka tak tahu apa itu coffee latte dan cappucino. Disebabkan, kini sudah banyak diproduksi kopi-kopi macam itu dalam saset ukuran satu cangkir. Pelanggan yang hendak menikmatinya tinggal datang warung kopi biasa. Atau, menunggu sampai sang kopi yang mendatanginya. Dibawa pedagang kopi keliling bersepeda, sebuah trend baru yang berkembangan belakangan ini.

Kehadiran kopi sepeda memberi kesempatan bagi manusia untuk
ngopi di mana saja. Membuat pelanggannya mudah menikmati kopi-kopi dengan nama yang susah disebutkan itu. Namun, kopi sepeda pun menghadirkan pula sebuah kecemasan baru. Karena, bagi tukang kopi sepeda, kemasan saset kosong dan/atau gelas plastik bekas ngopi, bukan lagi urusan mereka.  = ^.^=



Warung kopi di sekitar Pasar Baru

2 comments:

  1. Keren! Saya undang ke https://twitter.com/KopiPancongGayo

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasiiih.. Undangannya nanti saya sampaikan ke peliharaan saya, si Nina. Dia sudah sering lho dengar Kopi Pancong dari tante Lulu, rencananya mau mampir kapan-kapan. Ehemhem..., terus terang, tulisan ini terinspirasi oleh filosofinya Kopi Pancong lho...

      Delete