Satu Minggu malam, ke sebuah mol
di daerah Pejaten, Nina pergi hendak menonton. Jam menunjukkan pukul tujuh
malam lewat sedikit saat Nina membeli tanda masuk. Pertunjukkan yang dituju
adalah yang pada pukul sembilan malam. Karena masih banyak tempo, maka Nina belanja dan
jajan-jajan dulu di seputaran mol
tersebut.
Masih ada waktu tiga per empat jam lagi sebelum film dimulai saat Nina keluar
dari supermarket di lantai bawah
tanah. Mengarah ke lift, dia melewati
lapak-lapak yang berada di luar supermarket.
"Bunda belanjanya di atas dua puluh lima ribu, ya? Kami ada hadiah nih untuk
yang belanjanya di atas jumlah itu" tegur seorang SPB (sales promotion boy) sambil melirik tas
belanja Nina.
Dulu, entah kapan, seorang SPG (sales
promotion girl) di lapak yang sama, pernah menawarkan Nina sepasang koyo kaki gratis.
Nina tahu tentang koyo itu, karenanya ia bersedia untuk menerimanya. Namun, berhubung ternyata harus tulis-tulis ini atau itu, sementara Nina sedang terburu-buru mau nonton, maka tawaran tersebut ditolaknya. Oleh karena itu, Nina tahu
betul ke mana arah pertanyaan si SPB. Nina juga tahu lho bahwa si SPB asal ngomong soal belanja diatas dua puluh
lima ribu bisa dapat hadiah. Belanjanya di supermarket, sementara lapak itu adanya di luar. Apa hubungannya,
coba?
"Mau kasih koyo, ya?" Nina menembak langsung.
"Bukan, Bunda, ini anu-anu-anu. Kalau dibilang koyo sepertinya murahan, Bunda..."
"Bukan, Bunda, ini anu-anu-anu. Kalau dibilang koyo sepertinya murahan, Bunda..."
"Eh jangan salah ya! Koyo itu kan bahasa Jepang. Anu-anu-anu itu kan dari
Jepang! Semua koyo yang kita kenal itu asalnya dari Jepang. Istilah koyo itu ya dari bahasa Jepang" Nina
menyanggah sok tahu.
"Wah, Bunda koq tahu! Bunda
pinter ya..."
"Iya donk, saya pernah ke Jepang
duapuluh tahun lalu," jawab Nina.
Bohong deh, mana pernah Nina ke Jepang. Entah juga apa benar bahwa koyo itu
asalnya bahasa Jepang...
Melihat masih ada waktu, Nina bersedia menerima koyo itu dan menanggapi kerepotannya. Nama dicatat,
Nina hanya menuliskan nama depannya saja. Nomor hp
ditulis, nomor yang kerap dapat sms dan telepon sampah.
"Pasti nomer hp saya ini akan
kamu jual deh," celetuk Nina.
"Ah, nggak donk, Bunda," kata si SPB yang sekarang aku sebut sebagai SPB1.
Pada akhirnya ada tiga SPB. SPB2 adalah yang sedang memijat kakinya dengan
alat pemijat kaki elektronik di meja-kursi di mana Nina dipersilahkan duduk. SPB3 tahu-tahu
muncul.
Setelah nulis nama, SPB1 membawa tiga-empat lembar kertas persegi panjang yang
tertutup.
"Apa tuh?" tanya Nina.
"Ini undian berhadiah, sebagai ucapan terima kasih. Tapi, biasanya sih
nggak ada yang dapat. Maklum
lah...," jawab SPB1 menggantungkan kalimatnya.
"Seperti ini," tiba-tiba SPB2 muncul dengan membawa segepok kertas sejenis
yang telah terbuka.
Nina membuka kertas tersebut, dan, ahoy..., *drum roll* isinya menyatakan bahwa Nina
mendapatkan sebuah kompor listrik seharga lima belas juta lebih!!! Plus, vocer
sebesar dua juta rupiah!!! Jreng!!!
SPBI1 melirik kertas tersebut dengan acuh tak acuh. Lalu, sambil sedikit mengangkat bahu, ia berkata bahwa itu tidaklah mungkin. Karena,
katanya lagi, belum pernah ada yang dapat kompor listrik tersebut. Jadi, blablabla...
"Lha terus, ini apa? Jelas-jelas
kan tercantum di sini bahwa hadiahnya
kompor nih," Nina berkata.
"Sebentar ya, Bunda. Saya tanya bos
saya dulu. Sebab, belum pernah ada yang dapat ini. Ini hadiah utama ini, tapi
belum pernah ada yang dapat. Lagi pula pasti ada pajak hadiahnya," kata
SPB1.
Ia lalu beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Nina yang ditemani SPB2. Nina melirik jam, masih lebih dari setengah jam sebelum
film dimulai. Masih cukup waktu. SPB1 muncul kembali.
"Bunda, ternyata benar! Bunda memenangkan hadiah kompor itu! Dan, nggak
ada pajaknya! Aduh, mimpi apa sih Bunda semalam!? Tapi, ada syarat-sayaratnya
nih!" seru SPB1.
Nah, kan! Tak akan semudah
itu deh untuk mendapatkan barang harga
belasan juta secara gratis.
Pertama, kompornya tidak boleh dijual lagi. Lalu, Nina harus bantu promo barang tersebut.
"Caranya, kasih tahu teman-teman Bunda soal kompor ini. Tapi, jangan bilang
kalau Bunda dapat sebagai hadiah. Katakan kalau Bunda beli".
Okay...
Kemudian, harus bikin foto shelfie
bersama barang hadiahnya. Sebanyak tiga kali. Nggak masalah, pikir Nina.
Syarat berikutnya, Nina harus mendengarkan petunjuk pemakaian kompor listrik
tersebut. SPB3 lalu menjelaskan cara pemakaiannya, beserta informasi lainnya.
"Vocernya mau dipakai untuk beli apa? Panci-panci ini aja, Bunda. Bagus!
Cocok untuk kompornya," saran SPB3 sambil memperlihatkan sebuah kotak besar berisi panci-panci logam dengan merek yang sama dengan si kompor listrik.
"Saya pengen air purifier-nya,"
sahut Nina.
SPB3 pun lalu menjelaskan cara kerja dan keistimewaan barang tersebut.
SPB1 muncul lagi. Bawa kabar gembira lagi sepertinya.
"Bunda, kan di kertas tadi ada
tulisan 'istimewa', nah, ini ada hadiahnya lagi," demikian kata si SPB1.
Sepertinya keberuntungan Nina malam itu banyak banget deh. Mungkin nggak sih?
Beberapa lembar kupon berhadiah yang berbeda dengan yang tadi, diperlihatkannya kepada Nina. Katanya, kupon itu bernilai antara satu dan
lima juta. Nina berhak untuk memilih salah satu dari kupon tersebut. Dan, SPB2 pun, seperti sebelumnya, tiba-tiba muncul membawa
kupon yang bagian tertutupnya sudah terkuak, memperlihatkan tulisan angka tiga juta rupiah.
Lalu SPB1 menyampaikan kabar gembira lagi. Disebutkan bahwa bos-nya menyatakan bahwa foto selfie Nina nanti akan diprioritaskan untuk menjadi salah satu pemenang dalam lomba foto selfie! Total akan ada empat pemenang yang masing-masing mendapat satu buah sofa pijat listrik! Jadi, kata SPB1 lagi, sudah bisa dipastikan bahwa Nina akan membawa pulang satu sofa tersebut! Entah kapan...
Lalu SPB1 menyampaikan kabar gembira lagi. Disebutkan bahwa bos-nya menyatakan bahwa foto selfie Nina nanti akan diprioritaskan untuk menjadi salah satu pemenang dalam lomba foto selfie! Total akan ada empat pemenang yang masing-masing mendapat satu buah sofa pijat listrik! Jadi, kata SPB1 lagi, sudah bisa dipastikan bahwa Nina akan membawa pulang satu sofa tersebut! Entah kapan...
Dijelaskan juga kenapa tidak ada pajak hadiah. Berhubung menyewa bintang iklan itu
sangat mahal adanya, perusahaan memutuskan meniadakannya. Lebih murah memakai
cara memberikan hadiah kepada yang beruntung, lalu membayarkan
pajaknya dan mewajibkan si penerima hadiah untuk membantu promo.
Selanjutnya, SPB1 memberitahu Nina bahwa vocer dua
juta-nya hanya boleh dipakai untuk barang yang belum pernah diiklankan. SPB3 memberitahu rekannya bahwa Nina memilih air purifier, dan SPB1 mengacungkan jempol tangan kanannya karena katanya barang pilihan Nina tadi belum pernah diiklankan.
"Pilihan yang pas," kata SPB1 lagi.
"Pilihan yang pas," kata SPB1 lagi.
Mereka lalu menunjukan sebuah majalah Asri. Ada iklan dengan foto keluarga
kecil bersama peralatan rumahtangga dengan merek serupa. Dikatakan bahwa itu adalah pemenang seperti
Nina, dengan lokasi Banjarmasin. Entah yang mana pemenangnya sih, satu keluarga gitu fotonya—ayah, ibu dan dua anak kalau Nina tak salah ingat.
Dikatakan bahwa si pemenang tersebut menerima sepuluh juta rupiah atas pemakaian fotonya di iklan tersebut. Berlaku untuk penerbitan selama tiga bulan—kalau tak salah majalah Asri
terbit bulanan ya...
"Foto selfie-nya Bunda nanti
juga mau dipakai seperti ini. Buat tiga bulan Bunda dibayar sepuluh juta. Boleh
kan!?"
"Boleeeh...," sambut Nina.
Sebenarnya, ada dua majalah lagi lho yang dipertunjukkan. Pada salah satunya, kelihatannya ada tuh iklan air purifier. Tanpa memakai model manusia. Tapi, Nina diam saja. Cukup dicatatnya di dalam hati.
Di antara ini dan itu yang terjadi di atas, entah SPB2 atau SPB3 tiba-tiba datang
membawa telepon. Katanya, bos-nya mau
bicara lagi. Mengucapkan selamat sekali lagi, dan memberitahukan soal peluang
besar Nina dalam kesempatan memperoleh sofa pijat.
“Aduh, mimpi apa Bunda semalam!?” seru SPB1.
“Auk, udah lupa...,” jawab Nina.
Tapi, lalu Nina harus menghadapi kenyataan bahwa harga air purifier-nya ternyata sebelas juta lebih!
"Wah, nggak jadi deh, saya pilih yang lebih murah saja.
Sesuai dengan nilai vocernya saja,"
kata Nina sambil tertawa.
Sebagai reaksi atas perkataan Nina di atas, para SPB ramai-ramai memberitahukan bahwa malam ini Nina tetap bisa bawa pulang air purifier-nya. Tak masalah, kata mereka sembari tersenyum. Nantinya, di lain hari, bisa ditukar dengan barang yang
lebih murah. Segampang itu? Tentu saja tidak.
Untuk bisa membawa air
purifier pulang bersama kompor listrik saja, terlebih dahulu Nina harus membayar
sembilan juta sekian rupiah. Sisa harga si air
purifier setelah dikurangi dua juta nilai vocer. Pembayarannya 'cukup' dengan menggesek
kartukredit yang ‘ternyata’ satu merek dengan salah satu sponsor mereka.
"Kartukredit Bunda ada lambang seperti ini tidak? tanya SPB1.
"Kartukredit Bunda ada lambang seperti ini tidak? tanya SPB1.
Dengan bodoh Nina mengeluarkan kartukreditnya untuk memeriksa, yang langsung disambar SPB1. SPB2 dengan sigap meletakan alat gesek
kartu kredit di meja. Menyadari situasi yang berubah dengan cepat, Nina segera menyambar kembali kartukreditnya. Menyimpannya
kembali ke dompet. Memasukan dompet ke dalam ransel kembali.
"Begini ya, saya ini bukan orang yang punya banyak duit. Karena itu, saya nggak mau ah kalau harus membayar sebanyak itu," jelas Nina.
SPB1 berkata, bahwa sebelum tagihan kartukredit datang, mereka akan
mengembalikan sembilan juta lebih itu dalam bentuk tunai ke Nina, pada saat
Nina menukar barang. Duh, memangnya mungkin segampang itu?
Sementara itu, jam sudah hampir menunjukkan pukul sembilan. Tiba-tiba SPB3
datang membawa telpon. Si bos mau
bicara lagi dengan Nina, katanya. Pasti si bos sudah mendengar
laporan akan keengganan Nina dari salah satu SPB.
Si bos itu apalagi yang dikatakannya kalau bukan mendorong Nina agar tak ragu memakai kartukreditnya. Mengulang yang dikatakan SPB1 tadi, disebutkannya bahwa nantinya Nina akan menerima kembali jumlah yang sama dengan yang telah dibayarkan dengan kartukredit, dalam bentuk tunai. Jadi, Nina tak usah kuatir. Dikatakannya bahwa untuk keperluan itu, akan dibuatkan hitam di atas putih supaya Nina tenang. Lalu, tambahnya lagi, setelah ada approval dari pihak penerbit kartukredit, malam itu Nina akan bawa pulang bukan dua barang, tapi empat. Setelah mendengar Nina meng-iya-kannya, si bos pun meminta telepon diberikan kembali ke anak buahnya.
Peng-iya-an Nina di telepon tadi adalah cara cepat menutup pembicaraan telepon. Ketika kembali menghadapi para SPB, Nina menyatakan bahwa dia tetap menolak untuk memakai
kartukreditnya. SPB1 sepertinya menolak untuk putus asa, sehingga terus berusaha meyakinkan Nina. Sebuah invoice siap ditangannya. SPB3 nimbrung membantu, menyuruh Nina untuk segera mengisi
kartu data yang tadi dibawa SPB1.
"Waaah..., Bunda nggak ngerti, nih," kata SPB1 yang melihat Nina tetap bergeming. "Lagi pula kan kita akan buat hitam di atas putih
seperti kata bos".
Tanpa pengacara? Nggak ada kekuatan hukum tuh!
"Ini urusan nggak bisa dilanjutkan besok saja?" tanya Nina.
Tidak bisa ternyata. Pastinya...
"Eh, udah jam sembilan lewat tuh! Saya kan mau nonton," seru Nina sambil menunjuk ke jam tangan SPB1.
"Belum! Jam saya kecepatan, jam dia yang tepat" kata SPB1 seraya
menunjuk SPB3.
"Iya, belum jam sembilan koq,
Bunda," sahut SPB3 sambil melihat jam tangannya tapi tanpa memperlihatkannya
ke Nina.
Nina pun mengeluarkan hp-nya, dan
memperlihatkannya ke mereka.
"Jam saya tepat nih, tuh, sudah jam sembilan lewat tiga
menit!" kata Nina. "Saya nonton dulu deh, setelah itu saya balik ke sini!"
"Kami kan juga harus pulang, Bunda... Selesai bioskop kami sudah nggak ada," kata salah satu dari
mereka—yang mana, Nina tak ingat lagi.
"Kalau gitu, saya bawa pulang kompornya saja deh," sahut Nina tanpa rasa percaya hal itu mungkin terjadi.
"Kalau gitu, Bunda berarti berhutang," jawab SPB1.
Semakin jelas sudah persoalannya. Ini sih memang tidak ada niat sama sekali untuk ngasih
gratis. Semua itu tak lebih daripada sebuah jebagan betmen.
"Ya sudah, saya mau nonton ya," Nina berkata sambi berdiri.
"Lho!? Jadi batal, bunda?"
seru SPB1.
"He'eh," jawab Nina sambil
meraih tas belanjannya.
"Kalau begitu, harus tandatangani pembatalan, Bunda!!!"
"Nggak usah!!!" teriak Nina
sambil beranjak dan segera berlari ke lift yang
pintunya tengah terbuka.
Untung lift-nya langsung menuju ke atas. Tapi,
tetap saja film-nya sudah berlangsung.
Persoalan tidak dianggap kelar begitu saja oleh Nina.
Beberapa jam kemudian, di rumah, Nina memeriksa apakah kartukreditnya benar-benar sudah kembali. Pada keesokan harinya, ia menelpon perusahaan penerbit kartukredit. Kuatir jangan-jangan sudah terjadi transaksi di luar sepengetahuannya. Nina merasa semalam dirinya berada dalam kontrol yang baik. Tapi, siapa tahu ada sesuatu yang terjadi, pakai hipnotis-hipnotis, begitu. Yang dihadapinya kan tiga orang ditambah satu yang berbicara melalui telepon.
Persoalan tidak dianggap kelar begitu saja oleh Nina.
Beberapa jam kemudian, di rumah, Nina memeriksa apakah kartukreditnya benar-benar sudah kembali. Pada keesokan harinya, ia menelpon perusahaan penerbit kartukredit. Kuatir jangan-jangan sudah terjadi transaksi di luar sepengetahuannya. Nina merasa semalam dirinya berada dalam kontrol yang baik. Tapi, siapa tahu ada sesuatu yang terjadi, pakai hipnotis-hipnotis, begitu. Yang dihadapinya kan tiga orang ditambah satu yang berbicara melalui telepon.
Pihak penyelenggara kartukredit menyatakan tidak ada transaksi apapun yang
terjadi. Karena Nina menyebutkan bahwa ia hampir ditipu semalam, ditawarkan
kepadanya untuk dilakukan pemblokiran. Demi keamanan. Disetujui oleh Nina.
Malam itu, Nina berhasil lolos dari sebentuk penipuan karena ada hal-hal yang menjaga kesadarannya. Pertama, sejak Nina disebut telah memenangkan
kompor listrik tersebut, di benaknya muncul wajah seorang kawan yang tertawa dan berkata, "ditipu tuh".
Ditambah, ada kesadaran dalam diri Nina bahwa hari gini, mana ada sih barang gratisan. Apalagi barangnya
belasan juta begitu!
Kemudian, keinginan untuk menonton pada akhirnya menyelesaikan persoalan. Kalau
benar dapat gratisan, direlakan saja lah karcis yang sudah dibayar itu. Tapi,
jelas-jelas nggak bener gitu urusannya. Rugi bandar donk kalau karcisnya hangus. Sayang kan...
Ketiga SPB itu jelas sudah gagal dalam tugasnya. Padahal, permainannya sandiwara ketiganya untuk memojokkan Nina kelihatan begitu rapih. Sayangnya—bagi mereka, Nina tak mudah tergiur dengan barang konsumtif seperti yang mereka tawarkan. Entah apa yang harus mereka bayar kepada bos-nya sebagai pengganti dari kegagalan mereka. Maaf ya, tapi itu bukan urusannya Nina apalagi aku... =^.^=
Ni dia koyo yang dijadikan umpan~ |
No comments:
Post a Comment