Monday, December 1, 2014

Kisah di Satu Hari Sabtu


Di satu hari Sabtu nan mendung, Nina menikmati akhir minggu dengan cara bermalas-malasan di tempat tidur bersama adik-adikku. Sementara aku yang sejak semalam berjaga di luar, masih belum dibukakan pintu karena Nina asik bermalas-malasan begitu—padahal aku sudah mengetuk-ketuk kaca jendela beberapa kali, dan, lihat sudah jam berapa ini huh...

Hari sudah menunjukkan jam satu siang liwat sedikit. Dari pagi tadi Nina terombang-ambing antara membaca dan tidur. Bila di tengah membaca matanya terasa berat, dibiarkannya matanya tersebut ditarik oleh gaya tarik bumi. Beberapa menit terbangun lagi, membaca lagi, mata berat lagi, terbangun lagi... Begitu terus. Sampai tiba-tiba telepon genggam #2 berdering. Telepon masuk. Nomor tak dikenal.


Biasanya, kalau ada telepon dengan nomor tak dikenal, Nina tak akan menyahut. Namun, kali ini entah kenapa, Nina melakukan hal yang sebaliknya. Mungkin karena setengah mengantuk
tuh.

Dari sebelah sana suara seorang wanita muda renyah menyapa. Mengaku berasal dari bank di mana Nina mempunya rekeningnya. Ada ia sebut namanya, tapi, sudah tentu Nina tak mengingatnya lagi.


"Ibu masih aktip memakai kartu kredit bank kami, Bu?" tanyanya sopan.


"Masih," jawab Nina
separo merem.

Padahal, entah berapa tahun kartu itu tidak pernah dipakainya.


"Karena itu Ibu mendapat penghargaan dari kami dengan memberikan Ibu kartu platinum bank kami," lanjutnya.


Hohoho..., peliharaanku si Nina ini tidak bodoh
lho. Tidak juga kurang pengalaman untuk memahami bahwa kata 'penghargaan' tersebut hanya pemanis kata di bibir.

Dikatakannya, bahwa kartu platimun tersebut diterbitkan bekerjasama dengan perusahaan penerbangan AxxAxxx. Oleh karenanya, katanta bersama dengan kartu itu Nina akan langsung dapat 500 poin yang segera dapat ditukarkan dengan tiket penerbangan dengan tujuan yang ditentukan oleh Nina.


Sudahlah, pikir Nina.


"
Nggak usah aja, mBak, saya nggak berminat," kalem Nina berucap.

"Kenapa, Bu!?
Kan sayang... Karena, ngakngekngok ngakngekngok ngakngekngok. Maka nanti Bu ngakngekngok ngakngekngok ngakngekngok lho!!!" si mBak berusaha keras membujuk.

Ada dua atau tiga kali Nina berusaha untuk menolak. Tapi, si mBak
kekeh surekeh dengan gigihnya.

"ini pasti ada iuran tahunannya, kan," Nina masih bekeras juga.


"Tahun pertama ini bebas dari iuran, baru tahun kedua nanti ada iuran tahunannya. Saat itu, kalau Ibu bermaksud untuk membatalkannya, tidak masalah. Terserah Ibu," bujuk si mBak.


Haaa..., pikir Nina, menjelang tahun kedua nanti pasti akan ada serangn bujukan lagi agar tetap menjadi anggauta.


Di titik ini Nina yang mengantuknya sudah hilang, akhirnya menyerah. Maka, dimulailah proses administrasi melalui teleponnya.


"Alamat Ibu di jalan anu anu anu, blok itu itu, nomor sekian, Jakarta; ya Bu?"


"
Nggak, saya udah pindah".

Dan Nina diminta untuk menyebutkan alamat baru. Lalu, ditanyakannya nomor telepon rumah.


"
Nggak ada," Nina menjawab.

"Kalau nomor
hp ini saja ya, Bu. Ada nomor lainnya?"

"
Nggak ada".

Alamat surat elektronik pun ditanya. Lalu, pertanyaan tentang status menikah dilontarkan.


"Saya tidak menikah," jelas Nina.


"Oh, Ibu belum menikah ya," jawab si mBak.


"Salah, bukannya belum, tapi tidak menikah. Saya TIDAK menikah. Bukannya belum!"


Percayalah, Nina harus mengulang sekurangnya satu kali lagi pernyataabbya untuk urusan status itu.
 Pada akhirnya si mBak seperti paham, tapi Nina tahu pasti bahwa yang tercantum adalah belum menikah. Mana ada kolom tidak menikah di formulis resmi apapun di negara ini

Ketika ditanya alamat kantor di mana, begini Nina menjawab.


"Saya tidak ada kantor. Kadang bekerja di rumah, kadang di jalan, kadang di kantor
temen, tapi bisa juga dari kafe ke kafe".

Atas keterangan Nina itu, si mBak sepertinya bingung
tuh...

Pertanyaan berikut, apa pekerjaan Nina.


"Macem-macem, mBak," Nina berkata sambil
cengengesan sendiri.

"Misalnya, apa, Bu?"


"Kadang-kadang begini, tempo-tempo begitu, tapi sering juga
begono"

Mungkin puyeng, lalu si mBak menyatakan bahwa pekerjaan Nina adalah apa yang disebut Nina terakhir. Terserah
deh, pikir Nina.

Berikutnya, ditanyakan siapa kontak untuk keadaan darurat. Nina menyebutkan nama adik bungsunya yang memang selalu diajukannya sebagai kontak darurat.


"Nomor telepon adik Ibu berapa?"


"Wah, saya
nggak berani memberikan nomor telepon orang lain, mBak!"

"Tapi ini penting, Bu. Bagaimana kami dapat menghubungi beliau kalau ada keadaan darurat?"


Baiklaaaaaah... Nina lalu memberikan satu nomor telepon genggam adiknya yang diketahuinya sudah tak aktip. Jadi, kalau disalahgunakan, ya tak bisa.


"Baiklah, Bu, kami akan segera mengirimkan kartunya ke alamat Ibu," kata si mBak yang menyangka sudah sukses dengan misinya.


"Kalau mau kirim jangan ke rumah, tapi saya ada sebuah alamat yang saya pinjam untuk meenrima kiriman-kiriman. Saya jarang di rumah
sih...," sergah Nina.

"Sebelum datang, kami akan telepon terlebih dahulu, Bu".


"Percuma, sudah bisa dipastikan saat ditelpon saya sedang tidak di rumah. Atau, kslsupum sedang di rumah, sudah hampir pergi dan tidak bisa menunggu," jelas Nina.


Sekali lagi, terjadi diskusi tak juntrung. Akhirnya si mBak menyerah. Nina pun memberikan sebuah alamat.


"Nomor telepon kantor itu berapa?"


"Wah, saya
nggak tau".

"Kalau Ibu hendak kontak ke sana, bagaimana?"


Yeeeeee,
hare geneeeh...

"Biasanya saya langsung menelpon ke
hp masing-masing orang di sana sesuai dengan keperluan," jawab Nina.

"Ibu di sana sebagai apa?" si mBak mengalihkan pertanyaan.


"Saya tidak bekerja tetap di sana. Kadang-kadang saja bantu-bantu".


"Oooh, kalau begitu ibu bekerja sebagai itu-itu ya di sana," si mBak
ngotot lagi.

Itu-itu maksudnya adalah pekerjaan yang tadi disimpulkannya sebagai pekerjaan Nina.


"Bukan, mBak. Aduh, kenapa
sih harus tahu saya ngapain di sana?" Nina mulai bernada tinggi.

"Kami bisa saja mengirimkan kartunya ke alamat rumah Ibu,
koq" si mBak menjelaskan.

"Ya sudah, terserah mBak
aja deh apa pekerjaan saya di situ!"

Si mBak segera menyimpulkan pekerjaan Nina sesukanya dia, lalu melanjutkan pertanyaannya.


"Berapa gaji bulanan Ibu di sana?"


"Wah,
nggak tau ya, saya kan bukan pekerja tetap di sana".

"Kira-kira saja, Bu".


"Ya
nggak tau," Nina semakin tinggi tensinya.

"Apakah x juta, atau xx juta sebulannya? Atau, mungkin xxx juta?" si mBak seolah menolong, padahal memaksa.


"Aduh, mBak, kenapa
sih sampai segitunya menanyakan soal gaji!?"

"Ya kalau tidak, bisa saja kami mengirimkan kartunya ke alamat rumah ibu!"


Ucapan terakhir si mBak membuat tensi Nina semakin meroket ke langit.


"mBak, saya mulai
capek deh dengan urusan ini! Saya kan sebenarnya sama sekali tidak berminat dengan kartu kredit itu, tapi mBak memaksa. Memaksa saya juga tentang info-info ini-itu," kata Nina. Lalu, disambungnya dengan lebih perlahan namun tetap judes, "Dengar baik-baik, ya mBak, saya akan tutup telponnya sekarang!"

Telpon pun dimatikannya.


Nina lega karena akhirnya bisa keluar dari cengkeraman si mBak pemaksa tadi. Tapi, sebal karena sekarang matanya menjadi melek bulat-bulat. Hilang kantuknya yang terasa asik tadi itu. Huh, gerutunya. Dirinya bear-benar merasa bahwa harinya yang damai telah dirusak. Dengan alasan untuk mengobati hatinya dari kesebalan-kesebalan itu, tak lama Nina bersiap pergi menonton ke bioskop. Untung saja film-nya bagus, sangaaat bagus, sehingga spirit Nina naik lagi dan terperbaikilah hatinya.


Pada mau tahu film apa yang ditontonnya? Nah. Buat yang
kepo, ini dia: Big Hero 6.   =^.^=

No comments:

Post a Comment