Thursday, December 4, 2014

Menumpuk Materi

Pada awal 2012 lalu, Nina mengirimkan tulisannya ke sebuah majalah craft terbitan Yogyakarta. Berikut adalah naskah aslinya...

=^.^=



Tiap kali berbelanja persediaan di toko pernik-pernik atau bahan-bahan kerajinan macam manik-manik dan sejenisnya, saya akan membiarkan rasa suka saya berjalan liar. Akibatnya, apa pun yang menarik hati, secara bentuk mau pun (perkiraan-)fungsi, akan saya beli. Dalam jumlah yang tidak sedikit pula. Sesampainya di rumah, belanjaan tadi mungkin akan segera saya pergunakan, tapi mungkin juga hanya akan saya simpan tanpa menyentuhnya sama sekali. Tak terasa, lama kelamaan persediaan pun kian menumpuk. Makan tempat, tentu saja, tapi saya tidak khawatir. Karena, mengenal diri sendiri, saya tahu benar gemasnya perasaan saat ide timbul di kepala, atau ketika keinginan membuat sesuatu datang tiba-tiba namun bahan yang diperlukan tidak ada. Nah, jika segala sesuatunya sudah siap sedia, senangnya hati ini tiada terkira.

Bicara soal kebiasaan menumpuk, sepertinya hal itu sudah menjadi bagian dari kepribadian saya—atau jangan-jangan saya terlahir demikian adanya? Sejak kecil saya kerap menyimpan sampai bertumpuk benda-benda yang oleh orang lain pasti sudah dilempar ke tong sampah begitu saja. Membuat pening kepala orangtua saya. Berbagai jenis kertas adalah benda yang paling banyak saya koleksi. Entah itu majalah gratisan, nota-nota belanja, leaflet kemasan obat, brosur iklan toko, tiket-tiket perjalanan, karton-karton kemasan, dan seterusnya. Saya percaya pasti ada saat di mana ‘sampah-sampah’ tersebut akan berguna juga. Pada akhirnya, bagi saya, nilai dari kertas-kertas pada tumpukan di pojok-pojok rumah pun setara belaka dengan bahan-bahan persediaan macam manik-manik dan sejenisnya yang tak kalah bertumpuknya itu.

Saya ini suka sekali dengan origami, seni melipat kertas asal Jepang. Tapi hanya sedikit bisa, dan favorit saya adalah origami bangau. Masyarakat Jepang percaya bahwa seribu bangau origami, yang dironce dalam sepuluh untai, yang diiringi dengan doa yang kuat tentunya, bisa mewujudkan suatu keinginan. Saat mulai melipat bangau, saya baru berhenti merokok. Ada kebutuhan untuk memberi kesibukan pada jari jemari yang tadinya kerap memainkan batang-batang rokok. Siapa tahu juga seribu bangau yang saya buat bisa mengabulkan keinginan saya agar jauh dari rokok selamanya. Apa pun itu, melipat kertas menjadi bangau ternyata mengasyikan. Dapat pula dilakukan di sembarang tempat. Seperti saat berada di ruang tunggu dokter gigi, ketika berdesakan di halte busway, dalam kendaraan baik itu angkot mau pun pesawat terbang.

Tipe origami lain yang juga merupakan favorit saya adalah hana tsumami. Tsumami itu teknik origami tertentu untuk membuat kelopak-kelopak bunga (hana artinya bunga). Di Jepang-nya kembang-kembang yang kelopaknya dibuat dengan teknik tsumami menjadi penghias rambut para maiko (geisha magang atau calon geisha). Disebut kanzashi, atau secara lengkapnya hana tsumami kanzashi. Sejatinya, materinya adalah sutera chirimen. Namun, kertas pun bisa dipakai, dan cocok sekali untuk belajar teknik tsumami. Sifat kertas yang kaku memudahkan proses melipat dengan teknik tsumami yang gampang-gampang susah itu.

Bila mengenang masa-masa di sekolah dasar dulu, puluhan tahun lalu, ingatan selalu mampir ke sebuah pelajaran prakarya berbahan kertas. Di mana kami diajar guru mengubah kertas menjadi manik-manik cantik. Proses pembuatannya sederhana saja, cukup dengan melinting kertas-kertas yang telah dipotong jadi segitiga meninggi. Belakangan saya pahami bahwa perbedaan ukuran pada dasar segitiga, tinggi si segitiga, dan ketebalan kertas; akan menghasilkan bentuk dan ukuran manik-manik yang berbeda. Dengan pandai-pandai memperkaya pilihan warna, manik-manik kertas dalam koleksi saya pun menjadi sangat bervariasi. Siap diolah dengan paduan manik-manik atau materi lainnya yang tersimpan bertumpuk-tumpuk di rumah.




Seribu bangau origami (foto: Nina Masjhur)

Anting-anting bangau origmai (foto: Nina Masjhur)


Hana tsumami yang terbuat dari kertas bekas brosur (foto Rahmad Gunawan/Tole)

Manik-manik kertas (foto: Rahmat GUnawan/Tole)

No comments:

Post a Comment