=^.^=
Tiap kali berbelanja persediaan di toko pernik-pernik atau
bahan-bahan kerajinan macam manik-manik dan sejenisnya, saya akan membiarkan
rasa suka saya berjalan liar. Akibatnya, apa pun yang menarik hati, secara
bentuk mau pun (perkiraan-)fungsi, akan saya beli. Dalam jumlah yang tidak sedikit
pula. Sesampainya di rumah, belanjaan tadi mungkin akan segera saya pergunakan,
tapi mungkin juga hanya akan saya simpan tanpa menyentuhnya sama sekali. Tak terasa,
lama kelamaan persediaan pun kian menumpuk. Makan tempat, tentu saja, tapi saya
tidak khawatir. Karena, mengenal diri sendiri, saya tahu benar gemasnya perasaan
saat ide timbul di kepala, atau ketika keinginan membuat sesuatu datang
tiba-tiba namun bahan yang diperlukan tidak ada. Nah, jika segala sesuatunya
sudah siap sedia, senangnya hati ini tiada terkira.
Bicara soal kebiasaan menumpuk, sepertinya hal itu sudah
menjadi bagian dari kepribadian saya—atau jangan-jangan saya terlahir demikian
adanya? Sejak kecil saya kerap menyimpan sampai bertumpuk benda-benda yang oleh
orang lain pasti sudah dilempar ke tong sampah begitu saja. Membuat pening
kepala orangtua saya. Berbagai jenis kertas adalah benda yang paling banyak
saya koleksi. Entah itu majalah gratisan, nota-nota belanja, leaflet kemasan
obat, brosur iklan toko, tiket-tiket perjalanan, karton-karton kemasan, dan seterusnya.
Saya percaya pasti ada saat di mana ‘sampah-sampah’ tersebut akan berguna juga.
Pada akhirnya, bagi saya, nilai dari kertas-kertas pada tumpukan di pojok-pojok
rumah pun setara belaka dengan bahan-bahan persediaan macam manik-manik dan
sejenisnya yang tak kalah bertumpuknya itu.
Saya ini suka sekali dengan origami, seni melipat kertas
asal Jepang. Tapi hanya sedikit bisa, dan favorit saya adalah origami bangau. Masyarakat
Jepang percaya bahwa seribu bangau origami, yang dironce dalam sepuluh untai, yang
diiringi dengan doa yang kuat tentunya, bisa mewujudkan suatu keinginan. Saat
mulai melipat bangau, saya baru berhenti merokok. Ada kebutuhan untuk memberi
kesibukan pada jari jemari yang tadinya kerap memainkan batang-batang rokok. Siapa
tahu juga seribu bangau yang saya buat bisa mengabulkan keinginan saya agar
jauh dari rokok selamanya. Apa pun itu, melipat kertas menjadi bangau ternyata
mengasyikan. Dapat pula dilakukan di sembarang tempat. Seperti saat berada di
ruang tunggu dokter gigi, ketika berdesakan di halte busway, dalam kendaraan
baik itu angkot mau pun pesawat terbang.
Tipe origami lain yang juga merupakan favorit saya adalah hana
tsumami. Tsumami itu teknik origami tertentu untuk membuat kelopak-kelopak bunga
(hana artinya bunga). Di Jepang-nya kembang-kembang yang kelopaknya dibuat
dengan teknik tsumami menjadi penghias rambut para maiko (geisha magang atau
calon geisha). Disebut kanzashi, atau secara lengkapnya hana tsumami kanzashi. Sejatinya,
materinya adalah sutera chirimen. Namun, kertas pun bisa dipakai, dan cocok
sekali untuk belajar teknik tsumami. Sifat kertas yang kaku memudahkan proses melipat
dengan teknik tsumami yang gampang-gampang susah itu.
Bila mengenang masa-masa di sekolah dasar dulu, puluhan
tahun lalu, ingatan selalu mampir ke sebuah pelajaran prakarya berbahan kertas.
Di mana kami diajar guru mengubah kertas menjadi manik-manik cantik. Proses
pembuatannya sederhana saja, cukup dengan melinting kertas-kertas yang telah dipotong
jadi segitiga meninggi. Belakangan saya pahami bahwa perbedaan ukuran pada
dasar segitiga, tinggi si segitiga, dan ketebalan kertas; akan menghasilkan
bentuk dan ukuran manik-manik yang berbeda. Dengan pandai-pandai memperkaya
pilihan warna, manik-manik kertas dalam koleksi saya pun menjadi sangat
bervariasi. Siap diolah dengan paduan manik-manik atau materi lainnya yang
tersimpan bertumpuk-tumpuk di rumah.
Seribu bangau origami (foto: Nina Masjhur) |
Anting-anting bangau origmai (foto: Nina Masjhur) |
Hana tsumami yang terbuat dari kertas bekas brosur (foto Rahmad Gunawan/Tole) |
Manik-manik kertas (foto: Rahmat GUnawan/Tole) |
No comments:
Post a Comment