Friday, October 31, 2014

PAMERAN BINGKAI FOTO ALTERNATIF



Ini tulisan lama Nina, sebuah kritik fotografi. Pernah dimuat di harian KOMPAS Minggu, 10-08-1997, halaman 24. Tulisan di bawah adalah versi editan Kompas. Versi asli sudah tidak jelas ke mana....


=^.^=

   PAMERAN foto berjudul Kota Kita III: Jakarta Bermain (JB) digelar dari 29 Juli - 24 Agustus 1997 di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GJFA). Bila Anda mengharapkan pameran foto yang konvensional, jangandatang. Anda tidak akan menemukan foto berbingkai apik seperti yang Anda bayangkan. Di sana, Anda juga harus hati-hati melangkah, jangan sampai menginjak onggokan tanah berbentuk kuburan di tengah galeri.

   Ada lima fotografer muda yang mengikuti pameran. Ray Bachtiar, sang pembimbing, mengungkapkan, bimbingan yang ia berikan selama hampir setahun bermaksud membentuk bimbingannya agar mampu menjadikan foto media ekspresi. "Bagus atau tidak bagus, urusan mereka. Tugas saya hanya membuka pemikiran mereka untuk kemungkinan lain," katanya. Pameran foto yang sangat tidak biasa merupakan salah satu dari yang disebutnya sebagai kemungkinan lain.

   Dalam mempersiapkan pameran biasanya fotografer akan memilih foto terbaiknya, lalu memikirkan bingkai yang sesuai guna menunjang kekuatan foto. Penataan di ruang pameran dilakukan agar kenyamanan pemirsa melihat foto dapat membantu memahami makna. Cara ini memangkonvensional sehingga sangat wajar apabila pemirsa JB bertanya-tanya, apakah pameran ini masih bisa disebut pameran foto?

Hanya elemen
   JB menampilkan foto secara tiga dimensi. Banyak elemen selain foto yang terlibat. Semisal tanah, pecahan genting, pelek sepeda, rumput, miniatur rumah dan sebagainya. Orang bisa saja mengatakan ini adalah pameran foto, toh materi utama pameran ini foto. Tapi, apakah masalahnya sesederhana itu? Mari kembali ke ruang pameran GFJA.

   Satu-satunya yang tak repot dengan berbagai elemen adalah Mila Fadliana dengan Simbol Ke(a)ku-asaan-nya. Tetapi ia masih jauh dari berhasil dalam menyampaikan pesannya. Satu fotonya yang menyambut kedatangan pemirsa, sempat membuat pemirsa menyangka ia tiba di pameran real estat, gara-gara foto itu terpasang di miniatur rumah.

   Kuburan yang tadi sudah disebut adalah bingkai karya Achmad Fauzie yang resah dengan matinya permainan tradisional. Kuburan Permainan Anak adalah judulnya. Fauzie sangat berhasil mencuri perhatian orang, dan pesannya tersampaikan. Hanya saja kekuatan yang tampil bukan berasal dari foto, melainkan karena kekuatan hiperbola bingkainya.

   Awaluddin, punya keresahan dengan semakin sempitnya lahan tempat si buyung bermain. Karyanya berjudul Lahan Semakin Sempit hadir dengan teknik kolase. Teknik ini tidak baru, sudah dilakukan sejak tahun 1920-an dalam penyampaian gagasan. Sebuah karya fotografi selalu diasosiasikan orang sebagai rekaman atas realitas. Karena itu orang sangat terhenyak ketika melihat cuplikan karya Awaluddin di brosur: dua orang anak bermain bola di atas bus kota yang terperangkap kemacetan. Tetapi ternyata aslinya adalah kolase, sehingga terjadilah antiklimaks.

   Di sudut lain ruangan, dua pelek sepeda tersusun di sebuah rangka sepeda membingkai foto Eny Erawati. Menurut Eny, masih ada lahan bermain di Jakarta. Cuma saja bila mau main harus beli es krim dulu di McDonald. Jika diamati satu per satu, karya Eny masih kurang bertenaga. Tapi, ... Dolan Yuk!!!-nya yang ditunjang bingkai tak lazim, sukses melibatkan pemirsa untuk berinteraksi dengan karyanya.Lagi-lagi terlihat yang berhasil mencuri perhatian bukanlah fotonya.

   Salma dengan Kebimbingan mencoba memaparkan keresahan sekelompok kaum muda akan bubarnya kelompok musik kesayangan mereka, Slank. Ia tak terlalu heboh dengan berbagai elemen, namun ia juga sibuk dengan bingkai hiperbola. Ia membingkai foto-fotonya dengan foto-foto juga, sehingga tampil cukup menarik. Tetapi Salma masih kurang dalam mengeksplorasi materi fotonya. Bermainnya Slank dalam pencarian harmoni yang sifatnya alternatif bagi para penggemarnya, tidak terekam dengan baik.

   Tampilan karya kelima fotografer tadi mengingatkan orang pada karya seni yang disebut instalasi, ketika benda apa pun absah dipakai dalam mengekspresikan diri, termasuk foto. Ray menampik pendapat itu, "Terlalu jauh bila kita menariknya sampai ke sana. Pameran ini hanya mau menampilkan kemungkinan lain dalam berpameran, supaya perhatian orang tercuri."

   Sayang foto-foto yang semestinya punya kekuatan terpaksa dikorbankan. Dengan kata lain, keberhasilan pameran ini bukan karena foto-fotonya, tetapi kemegahan bingkainya.

   Foto adalah media ekspresi. Sebagai medium, ia mempunyai kekuatannya sendiri. Bila sebuah foto berhasil menggugah pemirsa dan menggiringnya pada perenungan, pesan yang ingin disampaikan tercapai. Sementara di JB penyampaian pesan tercapai atas bantuan penyajian. Foto-foto yang mempunyai kekuatan di sini, terkubur bingkainya sendiri karena ia diperlakukan sebagai elemen.

Sederhana, indah
   Mari bandingkan foto-foto anak didik Ray dengan foto-foto dokumentasi yang dipamerkan Mitra Masyarakat Kota (MMK), lembaga swadaya masyarakat di Jakarta. Pameran ini menyertai JB danberlangsung di lantai atas GFJA. MMK ingin menyampaikan pesan tentang masalah di Jakarta lewat pendekatan dokumentasi. Foto-foto mereka tampil sangat sederhana, tanpa tendensi ke arah seni. Namun justru di situlah letak kekuatannya. Foto sebagai media ekspresi bersifat universal dan mudah dipahami. Bila disertai dengan keterangan yang pas, ia bisa menjadi komunikator langsung tentang inti permasalahan. Kekuatan inilah yang tidak dieksploitasi dengan baik peserta JB.

   JB akan berlangsung selama hampir sebulan. Ray mengharap, selama itu akan lahir polemik yang dapat menjadi proses berkelanjutan bagi workshop ini. Kritik dan saran diharapkan dapat membantu merekamematangkan diri dalam dunia yang mulai mereka geluti. Tak tertutup kemungkinan mereka akan memperbaiki karya-karyanya.

   Satu lagi pelajaran berharga yang barangkali perlu diperhati-kan, bagaimana menangkap inti sebuah peristiwa, meresapkannya, kemudian mengaplikasikannya. Karya mereka ini mengingatkan pada pameran Bauhaus yang pernah diadakan di tempat yang sama beberapa waktu lalu. Walaupunpameran ini mengetengahkan berbagai kemungkinan dalam mempresentasikan sebuah karya, inti paham Bauhaus sebenarnya adalah mengeksploitir kekuatan paling hakiki sebuah materi mulai dari nol!

   Dalam bukunya, From Bauhaus to Our House (1981), Tom Wolfe memaparkan cerita menarik. Suatu hari, Josef Albers, seorang pelukis, menugaskan murid-muridnya berkarya dengan koran bekas. Terciptalah berbagai karya. Albers mengambil karya njelimet, katedral, dan mengatakan katedral seharusnya terbuat dari batu atau logam. Bukan kertas koran. Lalu ia meraih karya lain, lipatan selembar koran yang membentuk tenda. Katanya, karya ini dibuat dengan mengeksploitir ruh dari kertas. Kertas bisa dilipat tanpa patah, mempunyai kekuatan direntangkan dan bidang yang luas cukup ditunjang hanya oleh dua sisi lipatan. .... This is a work of art in a paper.  Begitu sederhana.Begitu indah. *** 
(Nina Y Masjhur, anggota kelompok fotografi jalanan Klik)

 Penampakan artikelnya di KOMPAS Minggu

No comments:

Post a Comment