Ini tulisan lama Nina, sebuah kritik fotografi.
Pernah dimuat di harian KOMPAS Minggu, 10-08-1997, halaman 24. Tulisan di
bawah adalah versi editan Kompas. Versi asli sudah tidak jelas ke mana....
=^.^=
PAMERAN foto berjudul Kota
Kita III: Jakarta Bermain (JB) digelar dari 29 Juli - 24 Agustus 1997 di Galeri
Foto Jurnalistik Antara (GJFA). Bila Anda mengharapkan pameran foto yang
konvensional, jangandatang. Anda tidak akan menemukan foto berbingkai apik seperti yang Anda
bayangkan. Di sana, Anda juga harus hati-hati melangkah, jangan sampai
menginjak onggokan tanah berbentuk kuburan di tengah galeri.
Ada lima fotografer muda yang
mengikuti pameran. Ray Bachtiar, sang pembimbing, mengungkapkan, bimbingan yang
ia berikan selama hampir setahun bermaksud membentuk bimbingannya agar mampu
menjadikan foto media ekspresi. "Bagus atau tidak bagus, urusan mereka.
Tugas saya hanya membuka pemikiran mereka untuk kemungkinan lain,"
katanya. Pameran foto yang sangat tidak biasa merupakan salah satu dari yang disebutnya
sebagai kemungkinan lain.
Dalam mempersiapkan pameran
biasanya fotografer akan memilih foto terbaiknya, lalu memikirkan bingkai yang
sesuai guna menunjang kekuatan foto. Penataan di ruang pameran dilakukan agar
kenyamanan pemirsa melihat foto dapat membantu memahami makna. Cara ini memangkonvensional sehingga sangat wajar apabila pemirsa JB bertanya-tanya, apakah
pameran ini masih bisa disebut pameran foto?
Hanya elemen
JB menampilkan foto secara
tiga dimensi. Banyak elemen selain foto yang terlibat. Semisal tanah, pecahan
genting, pelek sepeda, rumput, miniatur rumah dan sebagainya. Orang bisa saja mengatakan
ini adalah pameran foto, toh materi utama pameran ini foto. Tapi, apakah masalahnya
sesederhana itu? Mari kembali ke ruang pameran GFJA.
Satu-satunya yang tak repot
dengan berbagai elemen adalah Mila Fadliana dengan Simbol Ke(a)ku-asaan-nya.
Tetapi ia masih jauh dari berhasil dalam menyampaikan pesannya. Satu fotonya
yang menyambut kedatangan pemirsa, sempat membuat pemirsa menyangka ia tiba di pameran
real estat, gara-gara foto itu terpasang di miniatur rumah.
Kuburan yang tadi sudah
disebut adalah bingkai karya Achmad Fauzie yang resah dengan matinya permainan
tradisional. Kuburan Permainan Anak adalah judulnya. Fauzie sangat berhasil
mencuri perhatian orang, dan pesannya tersampaikan. Hanya saja kekuatan yang
tampil bukan berasal dari foto, melainkan karena kekuatan hiperbola bingkainya.
Awaluddin, punya keresahan
dengan semakin sempitnya lahan tempat si buyung bermain. Karyanya berjudul
Lahan Semakin Sempit hadir dengan teknik kolase. Teknik ini tidak baru, sudah
dilakukan sejak tahun 1920-an dalam penyampaian gagasan. Sebuah karya fotografi
selalu diasosiasikan orang sebagai rekaman atas realitas. Karena itu orang sangat
terhenyak ketika melihat cuplikan karya Awaluddin di brosur: dua orang anak
bermain bola di atas bus kota yang terperangkap kemacetan. Tetapi ternyata
aslinya adalah kolase, sehingga terjadilah antiklimaks.
Di sudut lain ruangan, dua
pelek sepeda tersusun di sebuah rangka sepeda membingkai foto Eny Erawati.
Menurut Eny, masih ada lahan bermain di Jakarta. Cuma saja bila mau main harus
beli es krim dulu di McDonald. Jika diamati satu per satu, karya Eny masih
kurang bertenaga. Tapi, ... Dolan Yuk!!!-nya yang ditunjang bingkai tak lazim,
sukses melibatkan pemirsa untuk berinteraksi dengan karyanya.Lagi-lagi terlihat yang berhasil mencuri perhatian bukanlah fotonya.
Salma dengan Kebimbingan
mencoba memaparkan keresahan sekelompok kaum muda akan bubarnya kelompok musik
kesayangan mereka, Slank. Ia tak terlalu heboh dengan berbagai elemen, namun ia
juga sibuk dengan bingkai hiperbola. Ia membingkai foto-fotonya dengan
foto-foto juga, sehingga tampil cukup menarik. Tetapi Salma masih kurang dalam mengeksplorasi
materi fotonya. Bermainnya Slank dalam pencarian harmoni yang sifatnya
alternatif bagi para penggemarnya, tidak terekam dengan baik.
Tampilan karya kelima
fotografer tadi mengingatkan orang pada karya seni yang disebut instalasi,
ketika benda apa pun absah dipakai dalam mengekspresikan diri, termasuk foto.
Ray menampik pendapat itu, "Terlalu jauh bila kita menariknya sampai ke
sana. Pameran ini hanya mau menampilkan kemungkinan lain dalam berpameran,
supaya perhatian orang tercuri."
Sayang foto-foto yang
semestinya punya kekuatan terpaksa dikorbankan. Dengan kata lain, keberhasilan
pameran ini bukan karena foto-fotonya, tetapi kemegahan bingkainya.
Foto adalah media ekspresi.
Sebagai medium, ia mempunyai kekuatannya sendiri. Bila sebuah foto berhasil
menggugah pemirsa dan menggiringnya pada perenungan, pesan yang ingin
disampaikan tercapai. Sementara di JB penyampaian pesan tercapai atas bantuan
penyajian. Foto-foto yang mempunyai kekuatan di sini, terkubur bingkainya
sendiri karena ia diperlakukan sebagai elemen.
Sederhana, indah
Mari bandingkan foto-foto anak
didik Ray dengan foto-foto dokumentasi yang dipamerkan Mitra Masyarakat Kota
(MMK), lembaga swadaya masyarakat di Jakarta. Pameran ini menyertai JB danberlangsung di lantai atas GFJA. MMK ingin menyampaikan pesan tentang masalah
di Jakarta lewat pendekatan dokumentasi. Foto-foto mereka tampil sangat
sederhana, tanpa tendensi ke arah seni. Namun justru di situlah letak
kekuatannya. Foto sebagai media ekspresi bersifat universal dan mudah dipahami.
Bila disertai dengan keterangan yang pas, ia bisa menjadi komunikator langsung
tentang inti permasalahan. Kekuatan inilah yang tidak dieksploitasi dengan baik
peserta JB.
JB akan berlangsung selama
hampir sebulan. Ray mengharap, selama itu akan lahir polemik yang dapat menjadi
proses berkelanjutan bagi workshop ini. Kritik dan saran diharapkan dapat
membantu merekamematangkan diri dalam dunia yang mulai mereka geluti. Tak tertutup kemungkinan
mereka akan memperbaiki karya-karyanya.
Satu lagi pelajaran berharga yang
barangkali perlu diperhati-kan, bagaimana menangkap inti sebuah peristiwa,
meresapkannya, kemudian mengaplikasikannya. Karya mereka ini mengingatkan pada
pameran Bauhaus yang pernah diadakan di tempat yang sama beberapa waktu lalu.
Walaupunpameran ini mengetengahkan berbagai kemungkinan dalam mempresentasikan sebuah
karya, inti paham Bauhaus sebenarnya adalah mengeksploitir kekuatan paling
hakiki sebuah materi mulai dari nol!
Dalam bukunya, From Bauhaus to
Our House (1981), Tom Wolfe memaparkan cerita menarik. Suatu hari, Josef
Albers, seorang pelukis, menugaskan murid-muridnya berkarya dengan koran bekas.
Terciptalah berbagai karya. Albers mengambil karya njelimet, katedral, dan mengatakan
katedral seharusnya terbuat dari batu atau logam. Bukan kertas koran. Lalu ia
meraih karya lain, lipatan selembar koran yang membentuk tenda. Katanya, karya
ini dibuat dengan mengeksploitir ruh dari kertas. Kertas bisa dilipat tanpa
patah, mempunyai kekuatan direntangkan dan bidang yang luas cukup ditunjang
hanya oleh dua sisi lipatan. .... This is a work of art in a paper. Begitu sederhana.Begitu indah. ***
(Nina Y Masjhur, anggota kelompok fotografi jalanan Klik)
Penampakan artikelnya di KOMPAS Minggu
No comments:
Post a Comment