Friday, October 31, 2014

Pameran Foto Susan Kemenesi dan Agus Leonardus: IMAJI DAN KENYATAAN



Satu lagi tulisan lama Nina yang merupakan sebuah kritik fotografi. Dimuat di harian KOMPAS Minggu, 20-07-1997, halaman 24. Tulisan di bawah adalah versi editan Kompas berhubung versi aslinya sudah tidak jelas ke mana....


=^.^=

   BAHWA sebuah foto bermakna seribu kata bukan lagi adagium yang sepenuhnya benar. Sesungguhnya, foto adalah imaji yang terperangkap dalam penggalan waktu sehingga terlepas dari konteksnya. Jadi, foto tidak dengan sendirinya merekam makna, karena makna diberikan oleh
pemirsa, sesuai dengan rangsang yang bangkit dalam imajinasi. Fotonya sendiri hanya berfungsi sebagai pemicu bagi pemirsa untuk merefleksikan pengalamannya. Fitrah inilah yang sering dieksploitir
fotografer dalam mengomunikasikan gagasannya, dengan mengarahkan imajinasi pemirsa lewat judul atau teks foto, pengantar di katalog dan sebagainya.

   Dalam pameran foto di galeri TC yang berlangsung sampai 22 Juli 1997, pemirsa bisa melihat betapa ide dapat dipaparkan dengan gamblang lewat visualisasi serangkaian foto; atau malah sebaliknya. Dua orang fotografer dengan latar belakang dan pendekatan komunikasi berbeda, bercerita tentang dunia mereka lewat pameran berjudul bombastis International Photo Exhibition, Worlds and Zones.

   Zsuzsanna Kemenesi atau Susan (26) dari Hongaria, saat ini tengah belajar di ISI Yogyakarta. Tadinya ia merupakan mahasiswi jurusan pendidikan visual dan jurusan komunikasi di Universiy of Pecs, Hongaria. Para seniman yang hidup di negara-negara Eropa Timur di mana sensor sangat ketat, dalam berkarya cenderung memakai bahasa nonverbal. Kritik maupun gagasan selalu dibungkus dalam idiom
multiarti. Tak heran bila Susan memilih gaya personifikasi dalam karyanya. Kata pengantarnya di katalog mengandaikan keberadaan sebuah dunia maya yang disebutnya Infranesia. Sebuah ruang tanpa batas, di mana segala sesuatu menjadi mungkin. "All the magic of their world is that they can desire contradictions, opposites without restriction."

   Lewat foto-foto hitam putihnya yang dibuat tak hanya di Indonesia, ia mengajak bertualang ke dunia Infranesia-nya. Dunia dalam segmen foto yang bebas diberi makna sendiri. Susan tidak membatasi imaji pemirsa, ia hanya memberi judul pada foto-fotonya, yang dalam katalog ditata apik secara grafis, dan pengantar sebagai pembimbing yang membuat pemirsa lebih bebas bertualang.

   Fotonya berjudul Sunny Night (4) yang menggambarkan refleksi sinar matahari di jalanan basah menggambarkan siluet orang dengan sepeda di ujung jalanan, merangsang imaji untuk meluaskan horison ke arah ruang antah berantah, yang menjanjikan petualangan menarik di suatu malam saat terang bulan. Atau, Road to Paradise, foto puncak tanjakan jalan raya yang ujungnya tak terlihat sehingga membuat orang tergelitik rasa penasaran: apa yang ada di balik tanjakan itu? Imajinasi yang ditimbulkan foto bisa menyenangkan atau menakutkan.
   Manhunt (3), foto dengan siluet burung di sudut kanan yang terancam (siluet) alat pemotong kawat, adalah gambaran ancaman teknologi pada alam.

Esensi
   Dalam menggarap foto-fotonya, Susan tidak pernah berusaha menangkap realitas kehidupan. Ia melihat sesuatu bukan sebagaimana adanya, tapi sebagai sesuatu yang dapat dimetamorfosiskan. Ia pun tidak memperhitungkan segi estetika, tapi menangkap esensi. Sebagai wanita muda dalam pengalaman dan usia, ia berusaha mengungkapkan perasaan, mimpi dan pengalaman batinnya lewat gambar yang penuh tenaga. Namun demikian, kebanyakan foto tersebut hanya berhasil mengusik angan-angan
akan sesuatu yang sering kita khayalkan. Susan belum mampu menggiring pada perenungan yang mengarah pada pemahaman nilai-nilai baru. Fotonya berjudul 1, 2, 3; yang mungkin bermaksud menggambarkan hubungan manusia dan Khaliknya, terasa hanya menyentuh permukaan. Bandingkan
dengan foto Agus Leonardus berjudul Remember Him. Foto ini memperlihatkan bidang gelap terpotong secara diagonal oleh seberkas cahaya yang melebar di bawah. Di bagian bawah berkas cahaya terdapat
siluet salib. Foto ini terasa lebih kuat dan menggiring pemirsanya pada perenungan.

   Agus Leonardus, rekan berpameran Susan, asal Yogya, punya latar belakang pendidikan di fakultas ekonomi. Pada 1978 ia mulai belajar fotografi lewat Salon Foto Indonesia. Sebagian besar foto-fotonya
bergaya salon dengan obyek human interest. Menurut Agus, foto tersebut dibuat dengan dasar pamrih (pujian, menang lomba, jualan atau lainnya).

   Dalam pameran kali ini, Agus menyajikan foto yang sangat berbeda. Ia mengeksploitir detail benda-benda yang ada di sekelilingnya dan mentransformasikannya ke sesuatu yang lain. Bila Susan lewat fotonya menangkap esensi kejadian atau benda agar termetamorfosa menjadi nilai-nilai baru, penekanan Agus sangat berbeda. "Impuls saya paling tergerak bila melihat warna. Mungkin itu sebabnya kenapa foto hitam putih kurang memuaskan bagi saya," katanya. Memang terlihat Agus sangat mengandalkan penekanan pada warna dan pola, termasuk warna pigura. Tak heran bila foto-foto tersebut terasa sangat dekoratif.

   Dari sekian banyak unsur estetika (warna, tekstur, gradasi, grafis dan lain sebagainya), warna memang unsur yang paling mudah merangsang mata. Tetapi, sensasi warna saja tidak cukup kekuatannya untuk
merangsang imajinasi pemirsa agar memberikan nilai-nilai baru pada sebuah karya. Para penganut mazhab komposisi ini (disebut juga "Westonian", dari nama fotografer yang mengembangkan aliran ini,
Edward Weston) berkarya dengan melakukan isolasi atau menyederhanakan obyek lewat kemampuan kamera (fokus, ruang tajam, framing, jenis film dan sebagainya). Penyederhanaan ini bertujuan agar obyek yang difoto tertransformasi menjadi sesuatu yang baru. Bentuk aslinya tidak dapat dikenali lagi, sementara maknanya mengikuti khayalan si pemirsa.

   Dalam kebanyakan karya Agus di sini, isolasi tersebut tidak bisa dibilang berhasil. Dengan mudah asal-muasal foto dapat ditebak: jangkar, dinding rumah, layar, gelas dan tembok dan seterusnya. Sementara itu, pola dan warna yang menjadi andalan kekuatan foto terasa kurang bertenaga. Dari sekian banyak foto yang dipamerkan, hanya beberapa yang bisa dibilang berbeda. Misalnya foto sepotong jangkar (1). Dari sudut transformasi foto ini cukup berhasil. Sayangnya sangat verbal mengarah pada bentuk palus. Foto berjudul Loneliness (2) walaupun secara transformasi gagal, masih mempunyai tenaga. Dinding retak-retak membawa imajinasi pemirsa pada kengerian perang saudara di Haiti atau aparteid di Afrika Selatan.

   Namun secara umum foto-foto Agus cukup enak dipandang, karena sifatnya dekoratif. Barangkali agak berlebihan bila mengharapkan bobot dari foto-foto demikian. Yang justru mengganggu adalah judulnya yang terlalu dipaksakan sehingga terasa berlebihan dan tidak menjadi pembimbing bagi pemirsa. Sebaliknya, judul itu malah menjadi antiklimaks bagi imajinasi. Foto Chinese New Year, misalnya. Warna
merah yang ditampilkan enak dilihat, sayang judulnya mematahkan imajinasi. Foto Nude, biarpun tak jelas mengarahkan ke mana, transformasinya bisa dibilang berhasil. Lagi-lagi judulnya mementahkan
kekuatan foto. Barang kali benar juga apa yang dikatakan Agus bahwa ia tidak suka dengan judul karena bisa jadi pembatas.

   Terlepas dari segala macam kekurangan yang ada, secara keseluruhan pameran foto ini tetap menarik disimak. ***
 (Nina Y Masjhur, anggota Klik, kelompok fotografi jalanan)


Artikel di KOMPAS Minggu, 20-07-1997

No comments:

Post a Comment