Satu lagi tulisan lama Nina
yang merupakan sebuah kritik fotografi. Dimuat di harian KOMPAS Minggu, 20-07-1997,
halaman 24. Tulisan di bawah adalah versi editan Kompas berhubung versi aslinya
sudah tidak jelas ke mana....
=^.^=
BAHWA sebuah foto bermakna
seribu kata bukan lagi adagium yang sepenuhnya benar. Sesungguhnya, foto adalah imaji yang
terperangkap dalam penggalan waktu sehingga terlepas dari konteksnya. Jadi,
foto tidak dengan sendirinya merekam makna, karena makna diberikan oleh
pemirsa, sesuai dengan rangsang yang bangkit dalam imajinasi. Fotonya sendiri
hanya berfungsi sebagai pemicu bagi pemirsa untuk merefleksikan pengalamannya.
Fitrah inilah yang sering dieksploitir
fotografer dalam mengomunikasikan gagasannya, dengan mengarahkan imajinasi
pemirsa lewat judul atau teks foto, pengantar di katalog dan sebagainya.
Dalam pameran foto di galeri
TC yang berlangsung sampai 22 Juli 1997, pemirsa bisa melihat betapa ide dapat
dipaparkan dengan gamblang lewat visualisasi serangkaian foto; atau malah
sebaliknya. Dua orang fotografer dengan latar belakang dan pendekatan
komunikasi berbeda, bercerita tentang dunia mereka lewat pameran berjudul
bombastis International Photo Exhibition, Worlds and Zones.
Zsuzsanna Kemenesi atau Susan
(26) dari Hongaria, saat ini tengah belajar di ISI Yogyakarta. Tadinya ia
merupakan mahasiswi jurusan pendidikan visual dan jurusan komunikasi di
Universiy of Pecs, Hongaria. Para seniman yang hidup di negara-negara Eropa
Timur di mana sensor sangat ketat, dalam berkarya cenderung memakai bahasa nonverbal.
Kritik maupun gagasan selalu dibungkus dalam idiom
multiarti. Tak heran bila Susan memilih gaya personifikasi dalam karyanya.
Kata pengantarnya di katalog mengandaikan keberadaan sebuah dunia maya yang
disebutnya Infranesia. Sebuah ruang tanpa batas, di mana segala sesuatu menjadi
mungkin. "All the magic of their world is that they can desire
contradictions, opposites without restriction."
Lewat foto-foto hitam putihnya
yang dibuat tak hanya di Indonesia, ia mengajak bertualang ke dunia
Infranesia-nya. Dunia dalam segmen foto yang bebas diberi makna sendiri. Susan
tidak membatasi imaji pemirsa, ia hanya memberi judul pada foto-fotonya, yang
dalam katalog ditata apik secara grafis, dan pengantar sebagai pembimbing yang
membuat pemirsa lebih bebas bertualang.
Fotonya berjudul Sunny Night
(4) yang menggambarkan refleksi sinar matahari di jalanan basah menggambarkan
siluet orang dengan sepeda di ujung jalanan, merangsang imaji untuk meluaskan
horison ke arah ruang antah berantah, yang menjanjikan petualangan menarik di
suatu malam saat terang bulan. Atau, Road to Paradise, foto puncak tanjakan
jalan raya yang ujungnya tak terlihat sehingga membuat orang tergelitik rasa
penasaran: apa yang ada di balik tanjakan itu? Imajinasi yang ditimbulkan foto
bisa menyenangkan atau menakutkan.
Manhunt (3), foto dengan
siluet burung di sudut kanan yang terancam (siluet) alat pemotong kawat, adalah
gambaran ancaman teknologi pada alam.
Esensi
Dalam menggarap foto-fotonya,
Susan tidak pernah berusaha menangkap realitas kehidupan. Ia melihat sesuatu
bukan sebagaimana adanya, tapi sebagai sesuatu yang dapat dimetamorfosiskan. Ia
pun tidak memperhitungkan segi estetika, tapi menangkap esensi. Sebagai wanita muda
dalam pengalaman dan usia, ia berusaha mengungkapkan perasaan, mimpi dan
pengalaman batinnya lewat gambar yang penuh tenaga. Namun demikian, kebanyakan
foto tersebut hanya berhasil mengusik angan-angan
akan sesuatu yang sering kita khayalkan. Susan belum mampu menggiring pada
perenungan yang mengarah pada pemahaman nilai-nilai baru. Fotonya berjudul 1,
2, 3; yang mungkin bermaksud menggambarkan hubungan manusia dan Khaliknya,
terasa hanya menyentuh permukaan. Bandingkan
dengan foto Agus Leonardus berjudul Remember Him. Foto ini memperlihatkan
bidang gelap terpotong secara diagonal oleh seberkas cahaya yang melebar di
bawah. Di bagian bawah berkas cahaya terdapat
siluet salib. Foto ini terasa lebih kuat dan menggiring pemirsanya pada
perenungan.
Agus Leonardus, rekan berpameran
Susan, asal Yogya, punya latar belakang pendidikan di fakultas ekonomi. Pada
1978 ia mulai belajar fotografi lewat Salon Foto Indonesia. Sebagian besar
foto-fotonya
bergaya salon dengan obyek human interest. Menurut Agus, foto tersebut dibuat
dengan dasar pamrih (pujian, menang lomba, jualan atau lainnya).
Dalam pameran kali ini, Agus
menyajikan foto yang sangat berbeda. Ia mengeksploitir detail benda-benda yang
ada di sekelilingnya dan mentransformasikannya ke sesuatu yang lain. Bila Susan
lewat fotonya menangkap esensi kejadian atau benda agar termetamorfosa menjadi nilai-nilai
baru, penekanan Agus sangat berbeda. "Impuls saya paling tergerak bila
melihat warna. Mungkin itu sebabnya kenapa foto hitam putih kurang memuaskan
bagi saya," katanya. Memang terlihat Agus sangat mengandalkan penekanan
pada warna dan pola, termasuk warna pigura. Tak heran bila foto-foto tersebut
terasa sangat dekoratif.
Dari sekian banyak unsur
estetika (warna, tekstur, gradasi, grafis dan lain sebagainya), warna memang
unsur yang paling mudah merangsang mata. Tetapi, sensasi warna saja tidak cukup
kekuatannya untuk
merangsang imajinasi pemirsa agar memberikan nilai-nilai baru pada sebuah
karya. Para penganut mazhab komposisi ini (disebut juga "Westonian",
dari nama fotografer yang mengembangkan aliran ini,
Edward Weston) berkarya dengan melakukan isolasi atau menyederhanakan obyek
lewat kemampuan kamera (fokus, ruang tajam, framing, jenis film dan
sebagainya). Penyederhanaan ini bertujuan agar obyek yang difoto tertransformasi
menjadi sesuatu yang baru. Bentuk aslinya tidak dapat dikenali lagi, sementara
maknanya mengikuti khayalan si pemirsa.
Dalam kebanyakan karya Agus di
sini, isolasi tersebut tidak bisa dibilang berhasil. Dengan mudah asal-muasal
foto dapat ditebak: jangkar, dinding rumah, layar, gelas dan tembok dan
seterusnya. Sementara itu, pola dan warna yang menjadi andalan kekuatan foto terasa
kurang bertenaga. Dari sekian banyak foto yang dipamerkan, hanya beberapa yang
bisa dibilang berbeda. Misalnya foto sepotong jangkar (1). Dari sudut
transformasi foto ini cukup berhasil. Sayangnya sangat verbal mengarah pada
bentuk palus. Foto berjudul Loneliness (2) walaupun secara transformasi gagal,
masih mempunyai tenaga. Dinding retak-retak membawa imajinasi pemirsa pada
kengerian perang saudara di Haiti atau aparteid di Afrika Selatan.
Namun secara umum foto-foto
Agus cukup enak dipandang, karena sifatnya dekoratif. Barangkali agak
berlebihan bila mengharapkan bobot dari foto-foto demikian. Yang justru
mengganggu adalah judulnya yang terlalu dipaksakan sehingga terasa berlebihan
dan tidak menjadi pembimbing bagi pemirsa. Sebaliknya, judul itu malah menjadi antiklimaks
bagi imajinasi. Foto Chinese New Year, misalnya. Warna
merah yang ditampilkan enak dilihat, sayang judulnya mematahkan imajinasi.
Foto Nude, biarpun tak jelas mengarahkan ke mana, transformasinya bisa dibilang
berhasil. Lagi-lagi judulnya mementahkan
kekuatan foto. Barang kali benar juga apa yang dikatakan Agus bahwa ia tidak
suka dengan judul karena bisa jadi pembatas.
Terlepas dari segala macam
kekurangan yang ada, secara keseluruhan pameran foto ini tetap menarik disimak.
***
(Nina Y Masjhur, anggota Klik, kelompok fotografi jalanan)
Artikel di KOMPAS Minggu, 20-07-1997
No comments:
Post a Comment