‘Mi ayam’, atau yang lebih kerap ditulis sebagai ‘mie ayam’, adalah makanan yang sangat digemari para manusia. Jenis makanan
itu dapat diperoleh di mana-mana. Baik di restoran yang berpendingin, maupun di
pinggir jalan nan panas berdebu. Yang
terakhir biasanya dijajakan oleh
penjualnya dengan gerobak yang bentuknya sangat khas. Sedemikian khas-nya, kalau seseorang
manusia meligat gerobak macam itu, dia segera tahu bahwa itu adalah penjual mie ayam. Sebaliknya, kalau ia ingin makan mie ayam,
maka ia akan mencari gerobak berbentuk khusus tersebut.
Standarnya mie ayam ini terdiri dari sekepal mie telur berkuah yang
diberi sejumlah bahan. Mie tersebut sebelumnya selama beberapa menit direndam dalam air mendidih yang
berada di atas kompor bersama daun sawi. Lalu, diletakan
di sebuah mangkuk. Disusul
dengan potongan daun bawang, cacahan daging ayam yang sudah diolah, tongcai,
garam, merica, dan, terkadang bumbu penyedap yang ditengarai tak sehat itu.
Lalu, kuah kaldu ayam pun disiramkan. Lain metode, kuah tak disiramkan pada mie
dan kawan-kawannya itu. Melainkan, di taruh terpisah pada sebuah mangkok yang
lebih kecil. Yang suka pedas boleh pakai sambal, atau saus yang kadang dianggap
saus tomat atau saus sambal, tapi
sebenarnya entah apa bahannya. Mungkin bahannya cabai juga. Atau, entah apa...
Dimakannya bisa begitu saja, dan kadang disebut polos. Kalau yang tak
polos biasanya ditambahi baso
daging atau pangsit. Atau, dua-duanya sekaligus. Terserah daya muat perut si pemesan.
Ada juga yang mie-nya diaduk dulu dengan kecap sebelum diberi
bahan-bahan lainnya. Bisa yang asin atau manis, tergantung selera si manusia
lah. Disebut yamin, tapi ada juga yang menyebutnya yami (eh, ataukan yamin dan
yami ini punya arti yang berbeda ya?).
Seperti yang disebutkan di atas, mie-nya direndam dalam air mendidih
yang berada di atas kompor. Itu artinya direbus, kan? Ya, betul. Tapi, kalau
para manusia menyebut 'mie rebus', jenis masakannya lain lagi. Mie-nya sama-sama mie telur tapi bentuknya
sedikit berbeda. Bahan-bahan pelengkapnya pun kebanyakannya tak sama. 'Lawan' dari mie rebus
ini adalah mie goreng. Oya, ada satu lagi jenis mie berkuah lho! Namanya, mie masak. Dulu Nina sempat
sangat menggemarinya. Mirip
mie rebus tapi bahan-bahan lainnya bisa disebut segala ada. Baso daging dan
baso ikan, cacahan daging dan
hati ayam, udang, berbagai jenis sayuran, jamur.
Kembali ke mie ayam, makanan yang satu ini bisa menjadi makan
kegemaran, tapi, nah ini hebatnya
nih, juga bisa jadi makanan penyelamat dan survival food. Coba deh perhatikan. Kalau ada seseorang manusia yang lapar,
kecenderungannya ia akan mencari mie ayam. Atau, kalau buntu dalam mencari ide
hendak makan apa siang ini, sering ucapan tersebut di bawah ini yang keluar.
“Mie ayam aja deh...”
Sebuah jawaban yang membuat manusia yang mengucapkannya lalu menjadi terlepas dari beban maha berat
untuk memikirkan menu apa
untuk makan siangnya. Soal gizi? Hehehe...,
terserah! Tapi, lumayan tuh ada
ptotein nabati dan protein hewaninya.
Bahwa mie ayam itu adalah survival
food, bisa diketahui dari dialog di
bawah ini.
”Hei, udah makan?” tanya si A.
“Sudah, makan mie
ayam tadi. Laper banget sih, adanya mie
ayam, ya udah makan itu
aja deh,” jawab B.
Jelas kan bahwa mie ayam itu survival food!? Kalau tidak makan mie ayam, si B itu pasti sudah mati
kelaparan sebelum sempat ditanya oleh si A.
Mie ayam juga sering disebut sebagai ‘bakmie ayam’.
Sebuah sebutan salah kaprah karena ‘bak’ itu berarti babi—dari salah satu bahasa kelompok masyarakat Cina dari mana budaya
mie itu berasal. Nina mengetahuinya secara kebetulan. Pada sekian dekade lalu,
tepatnya 1987, di Pulau Seram, Maluku.
Waktu itu, setelah
hidup di hutan selama tiga bulan, akhirnya Nina dan teman-teman satu ekspedisi
kembali ke kota. Kota kecil saja
yang bernama Wahai, yang pada masa itu merupakan sebuah kota kecamatan.
Setelah sekian lama hidup dengan makanan kalengan, biskuit, oatmeal, coklat batangan, kiju, dan
lainnya; kini terbuka
kesempatan untuk makan makanan 'betulan'. Tersiar kabar bahwa ada sebuah tempat di mana manusia bisa makan bakmie. Bukan
restoran atau warung, tapi di sebuah keluarga Cina setempat yang punya toko yang sama sekali bukan toko makanan.
Ke sanalah Nina dan teman-teman berbondong-bondong datang.
“Selamat malam, kami
mau makan bakmie,” sapa mereka pada yang punya rumah.
“Silahkan
masuk!” kata bapak kepala keluarga di rumah itu.
Nina cs. dipersilahkan duduk di ruang tamu rumah keuarga itu, meriung
di satu set sofa sederhana. Kan bukan restoran, jadi seadanya duduknya.
Tak lama, dari ruangan tengah terdengar pembicaraan dalam salah satu
dialek bahasa Cina antara si
bapak dengan istrinya. Tak makan waktu lama, si bapak keluar dan mengajak kami
bicara.
”Maaf, kami tidak
punya daging babi. Kami hanya ada dendeng rusa,” jelas si bapak.
Sebagai catatan, di pulau itu pada waktu itu, daging yang tersedia
adalah daging rusa yang sudah
didendeng supaya awet. Jenis daging lain sedikit lebih sulit untuk diperoleh.
‘Lho, kami ini nggak makan
babi, pak, kami muslim,”
jelas salah satu teman Nina.
“Begitu ya? Habis
tadi mintanya ‘bakmie’," terang si Bapak. Lanjutnya,
‘’’Bak’ itu kan artinya babi”.
Nina dan teman-temannya
bengong. Lho lho lho
lhooooo... Baru pada tahu ya... Padahal,
ayahnya si Nina juga sudah tahu tuh. Nina saja yang tak pernah tanya-tanya ke ayahnya sendiri.
Nina itu termasuk penggemar mie ayam juga, ngomong-ngomong. Namun, menjadi vegan membuatnya
berhenti menyantap makanan khas tersebut. Untungnya, ia lalu menemukan sebuah
rumah makan vegetarian yang juga menjual mie ayam. Mie ayam vegetarian/vegan
tentunya. Kuahnya bukan kaldu daging, cacahan ayamnya diganti unsur non hewani,
dan, mie-nya bukan mie telur atau yang mengandung telur. Oya, ada pangsitnya
juga lho! Patutlah Nina jadi girang banget.
Aku pernah bertanya ke Nina, dari semua mie ayam yang pernah
dirasakannya, yang mana kiranya yang paling enak menurutnya.
“Jangan tanya yang paling
enak deh, Moy, sebab banyak tuh yang enak tapi beda-beda rasa enaknya. Meskipun demikian, aku
bisa cerita soal mie ayam paling epic yang pernah kusantap,” tegasnya.
Di manakah itu? Di Bandung, yang nama tempat dan jalannya pun sudah tak
diingatnya lagi. Kejadiannya
berlangsung beberapa tahun lalu. Sekitar tahun 2009 kalau tak salah—aku belum terbit tuh dalam kehidupannya Nina.
Waktu itu, di suatu malam minggu, Nina sedang nongkrong-nongkrong di galeri Antara di
Pasar Baru itu. Barang Nina banyak, jadi oom Danny yang kerja di situ menawarkan untuk mengantarkan Nina pulang dengan mobilnya.
Masuklah semua barang Nina ke bagasi mobilnya oom Danny. Tapi lalu tiba-tiba,
oom Danny bilang begini...
“Ke Bandung yuk, mak,” kata oom Danny. “Temenin gue, lagi pengen makan
mie ayam yang di Bandung nih,”
sambungnya—‘mak’ adalah panggilan Nina di komunitas di situ.
Ya sudah, Nina sih ayo saja. Nina tahu bahwa di Bandung
ada beberapa tempat di mana orang biasa makan mie ayam yang enak, jadi,
kemungkinan itu salah satunya. Jam sembilan malam mereka pun meninggalkan
galeri yang di Pasar Baru itu. Rencananya, pagi besok sehabis sarapan mie ayam
yang diidamkan, langsung kembali ke Jakarta. Di mana menginap? Ah, bukan hal
penting. Dan, sesampainya kembali di Jakarta nanti, si oom akan langsung
mengantar Nina pulang.
Pergi ke Bandung lewat tol
Cipularang. Lancar saja dan tak ada macet. Sampai di Bandung sekitar pukul
sebelas. Makan malam sambil nongkrong di semacam mol di jalan Dago yang buka 24 jam. Jam satu malam sudah bosan,
jadi mereka berdua lalu putar-putar kota Bandung. Sampai oom Danny ngantuk, dan mobil di parkir di dekat sebuah taman. Sementara oom Danny tidur di mobil, Nina yang
imsonia keluyuran di taman itu. Melihat kesibukan para loper koran yang sedang
mengambil jatah koran paginya. Mengobrol dengan kucing-kucing liar yang
bersedia nanggep Nina.
Jam tujuh pagi, dua manusia
itu pun sampai di sebuah restoran masakan Cina dan memesan mie ayam. Mie
ayamnya rasanya sih biasa-biasa saja kecuali bahwa sayurannya bukan sawi,
melainkan daun selada. Yang berubah hitam ketika terkena air panas hehe...
Makan makan makaaaaan...,
lalu dua manusia itu buru-buru kembali ke Jakarta. Oom Danny harus sampai di
galeri sebelum jam sepuluh pagi. Akibat waktu yang mepet, tak ada tempo buat
mengantar Nina terlebih dahulu. Maka, mereka langsung kembali ke galeri. Nina
diantar pulang baru kemudian.
Berangkat dari galeri semalam
pada pukul sembilan, tiba kembali jam sembilan pagi. Pas dua belas jam
perjalanan epic demi semangkuk mie
ayam itu. Tapi, sesungguhnya, yang paling epic
dari semua itu adalah apa yang beberapa hari kemudian oom Danny ungkapkan ke Nina.
Yang berbunyi kira-kira begini.
“Mak, kita kan salah tempat makan mie ayam di
Bandung itu. Bukan yang itu benerannya,
gue lupa sih tempatnya blahblahblah...”
No comments:
Post a Comment