Friday, October 31, 2014

SISI GEMERLAP BENNO HARUN



Tulisan lama Nina, sebuah kritik fotografi, yang pernah dimuat di harian KOMPAS Minggu, 06-07-1997, halaman 24. Tulisan di bawah adalah versi editan Kompas. Versi asli sudah tidak jelas ke mana....


=^.^=


   PADA sebuah kafe. Di tengah alunan musik, di sela obrolan ringan golongan menengah atas Jakarta, terhampar foto-foto wajah molek para model yang sering tampil di sampul maupun berita media cetak. Foto-foto tersebut seakan menjadi bagian ruang santai berkelas di  bilangan Kemang tersebut. Di sudut lain, di sebuah ruangan yang lebih terang, terpampang foto-foto yang lain lagi ragamnya, mulaidari tukang sepatu, gadis desa, sampai selebritis.

   Nilai sebuah karya seni, sebagaimana dipercaya banyak orang,sering tergantung pada banyak hal. Misalnya, bobot karya itu sendiri, apresiasi kritikus, institusi ruang pamer, akses bisnis dan lain sebagainya. Benno Harun, fotografer muda lulusan Academy of Art San Francisco yang baru empat tahun lalu merintis karirnya di blantika foto Indonesia rupanya paham benar keterkaitan tersebut. Sebagai fotografer yang punya perhatian terhadap bidang desain grafis, ia memanfaatkan elemen ruang dengan sangat baik. Penempatan foto-foto para model di ruang utama kafe, sementara jenis lainnya di ruang  galeri, menunjukkan kejelian tersebut.

   Secara garis besar foto yang dipamerkan terdiri atas dua kategori, pribadi dan pesanan. Karya pesanan mempunyai dua tema: perjuangan dan wanita Indonesia. Pada tema wanita Indonesia tampil potret perempuan desa dengan setting kuno, berlatar belakang lukisan mooi indie (4). Sentuhan tata rias dari pakarnya dan pilihan tata lampu yang tepat membuat foto-foto tersebut tampil cemerlang. Secara fotografis Benno berhasil menampilkan nuansa kecantikan masa lalu, bahkan lebih cantik dari foto kuno yang kita kenal. Sebagai foto kangen-kangenan, ia berhasil mengusik kerinduan akan eksotisme tempo doeloe.

   Namun, tidak banyak yang dapat dikomunikasikan lewat fotosemacam itu. Konsep yang hanya menyentuh permukaan tidak memberiruang eksplorasi yang lebih jauh. Foto semacam ini hanya mengandalkan kekuatannya pada sensasi retina belaka. Tidak ada kedalaman sama sekali. Sebagaimana diungkapkan Benno, "Ide dasarnya memang hanya sebatas membuat foto dengan setting kuno."

   Sementara itu foto dengan tema perjuangan walaupun sama-sama foto pesanan, secara konsep lebih kuat dan karena itu foto yang tampil pun terasa lebih berisi. Di sini Benno berusaha menampilkan subyek secara utuh. Menurut penuturannya, dalam pengerjaannya ia berusaha membuat pendekatan yang dalam. "Saya bahkan membiarkan mereka memilih props-nya sendiri, demi menjaga keutuhan penampilan mereka," ujar Benno. Tak heran bila di sini Benno lebih berhasil menampilkan subyek secara menonjol. Apalagi ditunjang latar polos berwarna kusam. Namun demikian latar tersebut - sering dipakai dalam pemotretan mode - yang seharusnya mendramatisasi keadaan, malah menampilkan kesan gemerlap. Padahal menurut pengakuan Benno ia sangat tersentuh akan penderitaan mereka.

   Keengganan Benno campur tangan terlalu banyak dalam proses pemotretan mengakibatkan beberapa kejanggalan yang mengganggu. Haltersebut terutama terlihat dari sikap tubuh mereka (3). Disadari atau tidak, memindahkan subyek dari konteksnya akan mengakibatkanmereka merasa gamang. Di sinilah diperlukan sentuhan fotografer - dengan kepekaan dan sensibilitas tinggi - untuk membangun kembali keutuhan eksterior maupun interior si subyek.

   Mengenai kontradiksi ini (membebaskan subyek demi kewajaran, tapi di sisi lain memaksa mereka keluar dari konteksnya untuk difotodi studio) Benno memberikan alasan demi kesederhanaan. Pemakaian latar polos dilakukan juga untuk memberikan kesan sederhana supaya obyek tampil lebih dominan dan lebih mudah dicerna umum. Menurutnya, sebagai foto pesanan bila 75 persen ide pemotret bisa masuk, sudah oke. Yang 25 persen lagi buat klien karena mereka butuh batu loncatan untukbisa mengapresiasi karya yang total pribadi.

                                   ***

   PADA karya Benno pribadi, muncul dua jenis foto: selebritis dan model. Keduanya digarap dengan pencahayaan dan setting sederhana.

   Di sini Benno tampil lebih berhasil. Pada foto para model (1) ia berhasil menampilkan eksistensi subyek lewat nilai estetika. Penataan cahaya yang sederhana dan pemaksimalan grafis menjadikan kesederhanaan muncul sebagai kekuatan. Walaupun bukan sebuah terobosan dominan, paling tidak Benno berhasil memberi warna berbeda dalam khasanah foto mode Indonesia yang nyaris mandek. Pada foto ini terlihat Benno lebih in touch karena ia dan subyek sama-sama akrab dengan dunia mode dan foto.

   Foto pribadi yang lainnya adalah para selebritis yang dieksplotasi dari sisi kartun (2). Foto-foto ini tampil paling menarik karena sekaligus merekam sisi gemerlap mereka - Benno berasal dari latar belakang kelas sosial yang kurang lebih sama sehingga bisa langsung menangkap simbol-simbol mereka - tanpa terjebak menampilkan mereka seperti badut.

   "Sisi humor saya harap bisa menjadi stopper bagi pemirsa untuk lebih mengamati, karena kita sudah jenuh dengan persoalan berat,"ungkap Benno. Ia juga menjelaskan, foto-foto pada pameran ini memangtidak dipersiapkan khusus. Semua berlangsung atas permintaan rekansemasa sekolah yang kebetulan mengelola kafe dan galeri. Pamerannya yang berlangsung di TC cafe Kemang yang dikaitkan dengan ulang tahunke 470 Jakarta, 22 Juni 1997 lalu, dilangsungkan atas permintaan salah satu rekannya.

                                  ***

   SEBAGAI pameran foto, bisa dibilang Benno cukup berhasil. Karya-karyanya menarik disimak. Karya pribadinya berhasil membuat pengunjung berhenti mengamati. Terlihat di sini Benno selalu berhasil merekam sisi cemerlang, gemerlap dari segala hal. Namun apakah dalam merekam kehidupan wong cilik, sisi gemerlap masih harus menonjol? Pertanyaan untuk direnungkan, mengingat pernyataan Benno, ia lebih suka fotonya tampil powerful dibandingkan beautiful.

   Sebagai fotografer yang sempat mengenyam pendidikan seni rupa fotografi di sebuah institusi di Amerika, seyogyanya ia tidak hanya bermain dengan tema yang hanya menyentuh permukaan saja tapi harus mampu melangkah kepersoalan yang lebih dalam.

   Namun demikian, sebagai fotografer muda yang baru memulai kiprahnyadi Indonesia, kehadiran Benno dalam khasanah foto di negeri ini sangat menjanjikan. Apalagi ditunjang pendidikan formalnya yang memberinya kesempatan memiliki studi banding yang luas serta keterbukaannya menerima kritik dan saran. Diharapkan di masa mendatang di Indonesia akan lahir fotografer komersial yang bisa disejajarkan dengan Annie Lebowitz atau Herb Rits yang foto-foto potretnya mampu menampilkan karakter subyek secara dalam dan memvisualkan idenya secara lugas.*
(Klik, pengamat fotografi jalanan)

Artikel di Kompas Minggu
 

No comments:

Post a Comment