Tuesday, September 23, 2014

Palang Pintu



Entah tahun berapa kejadiannya, Nina sudah lupa. Dia hanya ingat bahwa waktunya adalah setelah kehidupan umat manusia masuk ke dalam abad ke-21. Sementara tempatnya sih dia tak lupa sama sekali. Yaitu, di perlintasan kereta api Jl. Pramuka, Jakarta Pusat.

Di siang hari nan tertentu itu, kalau tak salah Nina baru saja mencari sesuatu di Pasar Pramuka. Dari sana, ia melanjutkan perjalanan jalan kakinya menuju Utan Kayu. Sebelum melintasi rel kereta, dengan hati-hati Nina menengok ke kanan dan ke kiri. Aman. Tak ada tanda-tanda kereta akan segera melintas. Rel di situ dobel, ada dua jalur, dan setelah menyeberangi rel terakhir, terdengar suara orang berteriak-teriak. Dengan panik Nina tengok-tengok ke kanan dan ke kiri, tapi sepertinya aman saja tuh. Tak dipahaminya apa yang dimaksud orang itu, tapi langkah pun dipercepat biar aman. Dengan sedikit panik tentunya.

Dan, lalu...

BLETAAAKKK!!! Suara keras terdengar membahana. Diiringi jeritan dari sana-sini.

Itu suara berasal dari kepala Nina yang tertimpa sesuatu. Tak main-main, sesuatu tersebut adalah palang pintu kereta. Rupanya, teriakan-teriakan tadi maksudnya memperingati Nina akan palang pintu kereta yang sedang turun dengan perlahan tapi pasti.

Sakitkah? Tentu saja! Sakit di kepala bagian atas tentunya, tapi, yang paling tak enak adalah rasa pegal yang timbul di leher belakang.

Beberapa orang yang berada tak terlalu jauh darinya bertanya apakah ia baik-baik saja. Sambil tetap terus melangkah, Nina menjawab bahwa; ya, dia baik-baik saja. Rada malu, pastinya, apalagi sudut matanya menangkap beberapa orang yang tampak menahan senyum geli. Yaaah..., selalu kan ada orang-orang yang mendapat penghiburan jiwa melalui kesialan orang lain.

Sebagai catatan, pegal di leher belakang berlangsung selama beberapa hari. Ditambah benjut di ubun-ubun tentunya. Selebihnya, tak ada masalah. Nggak percuma Nina berkepala batu, jadi tak sampai bocor itu kepalanya.

Namun, bukan berarti pelajaran telah diserap dengan baik. Sebaliknya, pengalaman penuh kesialan itu malah menguap entah kenapa. Sebab, kejadian serupa kemudian terjadi lagi. Kali ini di halaman gedung Djakarta Theater yang berada di pojokan antara Jl. MH Thamrin dan Jl. Wahid Hasyim, Jakarta Pusat.

Kali itu Nina sedang dengan santainya melintas masuk melalui pintu akses untuk kendaraan bermotor yang terletak di sisi Jl. Wahid Hasyim, alias yang berada di seberang toserba Sarinah. Ketika itulah suara 'bletak' keras seperi yang dulu di Jl. Pramuka itu mengelegar lagi di telinganya. Datang dari sisi kepala sebelah kiri atas, tempat di mana palang pintu parkiran tepat menghantam.

Biarpun hanya di satu sisi kepala, rasa sakitnya sama saja seperti waktu di Jl. Pramuka. Pegal di lehernya pun tak berbeda. Mungkin ada orang yang mentertawakannya, tapi yang pasti Nina lebih merasa dongkol terhadap dirinya sendiri. Dirinya yang tak cukup hati-hati dan waspada padahal pernah mengalami hal yang sama sebelumnya.

Perlu dua kali Nina mengalami terkemplang palang pintu sampai akhirnya dia menjadi cukup waspada. Makanya sampai sekarang belum pernah ada lagi palang pintu nyasar di ubun-ubun Nina.

Namun, sebenarnya, sebelum dua kejadian tersebut di atas, pernah juga tuh kepala Nina nyaris tertimpa palang pintu rel kereta. Peristiwa yang menurut Nina terjadi bukan karena kesalahannya. Dan, meski namanya nyaris, tetap saja ia merasa dirugikan. Kejadiannya adalah di palang pintu perlintasan kereta di Pasar Bintaro, Jakarta Selatan.

Pada hari yang rada-rada nahas itu, Nina menggonceng sepeda motor seorang anak muda yang adalah asistennya pada waktu itu. Ia, si anak muda itu, model pengendara sepeda motor yang selalu terburu nafsu dan tak sabaran. Begitulah kira-kiranya. Karena itu, mungkin tak aneh jadinya kalau pada saat motornya mendekati pelintasan rel terdengar lantunan suara peringatan, ditambah dengan situasi di mana palang pintu perlahan mulai turun, yang dilakukannya bukannya berhenti tapi malah menancap gas.

"Woi! Berhenti!" teriak Nina seraya menepak bagian atas helm si bocah bangor.

Bocah bangor segera menginjak rem motornya. Lebih karena kaget gara-gara tepakan di helm-nya daripada merupakan bentuk dari sebuah kepatuhan. Motor pun terhenti, dan palang pintu perlintasan kereta turun tepat di depan mata Nina. Situasinya jadi aneh, karena palang pintu itu posisinya berada di antara Nina dan bocah bangor. Dengan kata lain, motor berada separuh di luar area terlarang dan separuh berada di dalam. Pengendara berada di dalam, pegonceng berada di luar.

Entah apakah palang itu menyenggol bocah bangor atau tidak, yang jelas sih kepala Nina tidak kena kemplang sama sekali. Namun, bukan berarti dia baik-baik saja. Sebab, dia mendengar suara 'trek!' yang halus. Yang ternyata adalah suara patahnya gagang kacamata baca yang berada di saku kiri bajunya, akibat tertekan palang pintu. Kacamata yang baru seminggu lalu dibuat di salah satu optik ternama.

Sebenarnya sih Nina baik-baik saja. Masalahnya adalah, dia tidak punya kacamata baca cadangan. Kacamata patah itu adalah satu-satunya kacamatanya.

"Kalau saya nggak disuruh berhenti, kacamata mbak nggak akan rusak," bocah bangor dengan pandainya berkelit.

Ya, tapi mungkin kita sudah mejret terlindas kereta, anak bodoh!, desis Nina.

Semua kejadian itu tak lagi terlalu diingat oleh Nina. Mungkin, dia pikir, yang sudah lalu biarlah berlalu. Cukup sudah bahwa dia kini menjadi waspada tiap kali meliwati palang pintu macam itu, tanpa perlu merasa tahu kenapa ia harus waspada kecuali demi keselamatan. Baik yang di perlintasan kereta, maupun pada akses masuk kendaraan bermotor. Entah yang otomatis, ataupun yang manual. Sampai dengan beberapa waktu lalu, ketika pada satu hari, Nina ada pergi main dengan tante Didi mamihboz Pacoh. Entah bagaimana, tanteku ini bercerita ke Nina kalau tante Sandy mamihprez Dung Dung pernah ketiban palang pintu macam itu. Cerita si tante yang disampaikan secara sambil lalu itu seperti menekan sebuah tombol dalam tabung memori di kepala Nina. Maka itu, semua ingatan Nina tentang tertiban palang pintu pun mengalir keluar.

Siapa suruh lalu diceritakannya kepadaku. Oleh sebab itu, kini seluruh dunia pun jadi tahu melalui tulisan ini. Hehehe... §






2 comments:

  1. astaga mba nina *ngakak* parah.. thanks kamoy sudah mau bercerita, pagi ini terhibur sekali

    ReplyDelete