Friday, September 26, 2014

Tak Kuasa Melawan Gaya Tarik Bumi



Sudah tau belum, bahwa beberapa hari lalu Nina terjatuh di trotoar di jalanan depan Blok M Plaza, Jakarta Selatan. Matanya yang meleng membuat kaki kanannya melayang ke udara kosong. Dengkul kiri pun mencium tepian trotoar. Berdarah deh—untung otaknya tak berada di situ ya...

Kejadian yang menimpanya ini mengingatkan Nina pada ibundanya. Almarhumah dulu seorang supir yang handal. Ke mana-mana pasti menyetir sendiri. Pada saat beliau tidak mengendarai mobil sendiri, beliau memilih naik biskota. Tahulah bagaimana bis kota di Jakarta, di mana ketika penumpang turun belum pun menapakkan satu kaki di jalan, kadang sudah langsung tancap gas.

Ditambah dengan kadang terserang vertigo, tak hanya sekali dua si ibu mendarat bukan tengan telapak kakinya ketika turun dari bis kota. Melainkan, dengan lututnya. Bikin cemas terutama karena beliau itu penderita diabetes.

Kembali ke lokasi trotoar tempat di mana Nina jatuh, di mana kita dapat melihat Nina yang meringis-ringis nyeri. Ada tiga titik luka. Makin ke atas, makin parah. Pada bagian atas betis terdapat baret-baret rada panjang, sedangkan di bagian bawah tempurung lutut baretnya lebih pendek tapi lebih dalam. Sementara di lutut terpampang luka terbuka yang lumayan dalam.

Sebagai upaya penanganan, Nina menekan luka yang di lutut. Berusaha agar darah tak keluar. Sambil mengumpulkan kembali semangat hidup yang ikut terbang ke mana-mana.

"Sakitnya luar biasa, Moooy!" lapor Nina.

Aaah..., cengeng!

Untung saat itu Nina sedang bersama tante Lulu. Sang tante segera mengorek-korek tasnya mencari plester instan yang selalu dibawa-bawanya. Luka di dengkul pun lalu sukses ditutupi plester supaya darahnya tak berleleran. Perjalanan masih panjang, Nina masih harus wira-wiri ke sana ke sini sehingga diharap pelester tersebut akan membantu.

Terjatuh memang kerap mewarnai (mengancam?) kehidupan Nina. Mungkin karena kakinya yang cenderung tipe tapak rata, dan menonjolnya tulang kaki di dekat ke dua jari jempol kakinya. Kondisi kaki yang demikian, membuat Nina cenderung memilih sepatu yang rata dan terbuka. Kesukaannya jalan kaki membuatnya merasa cocok dengan sepatu-sandal gunung. Sempat mencoba dengan sepatu-sandal yang modelnya lebih manis untuk perempuan, tapi akhirnya Nina memilih untuk tetap setia pada sepatu-sandal gunungnya sebab lebih asik untuk kakinya.

Kalau memilih sepatu Nina memang harus sangat hati-hati. Satu kali pernah dia menyukai sebuah sepatu model kets tanpa tali. Alasnya terlihat empuk, sepertinya enak untuk dipakai jalan. Bukan merek terkenal, tapi mungkin mencontoh atau meniru model sepatu olahraga dari merek ternama. Harganya murah, maka dibelinya dengan senang hati. Tapi, setiap kali Nina memakai sepatu itu, ia pasti jatuh. Kalau tidak benar-benar jatuh, pasti tersandung sesuatu. Atas saran sahabatnya, sepatu itu akhirnya dihibahkan ke orang lain. Yang lalu aman-aman saja memakainya.

Gara-gara jatuh juga tulang ekor Nina jadi rada bergeser. Sekurangnya dua kali dia terjatuh di tangga sih, ya nggak heran. Terpeleset sampai jatuh terduduk, dan lalu menggelosor sampai beberapa jenjang tangga ke bawah dengan pantatnya. Horor dirasakannya waktu kejadiannya!

Keseimbangan Nina memang buruk sih. Karena itu, ia memang harus hati-hati kalau melangkah. Atau, berkendara. Untungnya dia sudah tak pernah naik sepeda motor lagi. Kalau tidak, pasti entah sudah berapa ratus kali dia jatuh tuh! Sejauh ini sih hanya satu kali dia pernah jatuh dari motor yang dikendarainya. Masa di sekolah menengah atas dulu. Tulang kering kaki kanannya sampai sobek, dijahit di ruang gawat darurat RSCM. Mana motornya pinjaman pula...

Tapi, sebenarnya sedang diam pun bisa saja Nina tu jatuh. Misalnya, seperti yang pernah terjadi suatu waktu dulu. Masa ketika ia masih kuliah, saat dia dan saudara-saudara sekandungnya masih tinggal dengan orangtua yang masih lengkap. Hari itu, Nina yang sedang duduk diam-diam dan asik nonton televisi bermaksud untuk menggeser posisi duduknya. Tapi, aduh, ternyata ia bergeser terlalu jauh ke bagian pinggir sofa yang tak berpegangan. Keseimbangan yang buruk ditambah tarikan grafitasi bumi yang kuat, Nina pun jatuh menuju lantai.

Ajaibnya, jatuhnya tidak gubrag gabrug petakilan. Melainkan, secara perlahan. Perlahaaan sekali..., seperti adegan slow motion dalam sebuah film atau adegan ulang dalam sebuah pertandingan bola kaki. Konyolnya, dalam kondisi pasrah sebab tak bisa menghentikan proses jatuh perlahannya itu, Nina merekam bagaimana ajaibnya ekspresi keheranan dan terbengong-bengong ayah dan adik laki-laki bungsunya yang menyaksikan adegan jatuh perlahan-lahannya Nina.

Sebelum badannya gedubrag menyentuh lantai, terdengar suara 'ting!' yang nyaring sekali. Hasil sentuhan halus antara cincin perak di jemari Nina dan tabung gas yang ada di sekitar. Untung hanya cincinnya yang beradu dengan benda biru itu. Apabils jarinya yang kena, dan dengan keras, pasti sakitnya luar biasa!

Jangan heran kalau kemudian yang paling kencang terbahak adalah Nina sendiri. Sebab ia merasa geli dengan ekspresi wajah para penonton kejatuhannya.

Yang pernah bertemu dengan Nina umumnya menyadari bahwa kedua tangannya itu, tepat di bagian siku, bengkok adanya. Apalagi kalau bukan karena jatuh!

Kejadiannya adalah waktu umurnya sekitar empat setengah tahun. Ketika jendela-jendela lebar dan besar yang bercokol di rumah keluarganya masih belum dipasangin terali. Pada suatu hari, tiga saudara laki-laki Nina—satu kakak dan dua adik—yang masih kecil-kecil juga, main kuda-kudaan di jendela. Bagaimana dengan Nina? Tidak ikutan tapi penuh dengan keinginan yang tercegahkan oleh kata-kata ibunya.

"Jangan ikut-ikutan sama anak-anak laki-laki, Nin. Biar rasa sendiri, kalau nanti jatuh tanganya pada patah," demikian kira-kira ucapan ibunya.

Tapi, bukan berarti keinginan Nina untuk main kuda-kudaan di jendela lebar itu pupus sama sekali. Begitu sang ibu berhasil membuat tiga anak lelaki bandelnya beralih minat dan mau bermain bersama ibu di kamar, Nina pun melihat kesempatan emas. Diserbunya jendela itu. Berhubung masih kecil dan pendek, cukup sulit naik ke jendela yang tingginya sekitar satu meter dari lantai. Biarpun sudah bertumpu pada kotak peralatan kerja ayah yang ada di situ. Maka Nina pun melompat, tuiiiing! Dan, dengan manis ia mendarat di sisi lain jendela. Jatuh dengan posisi menelungkup, tangan kanan terpelintir di bawah badan.

Nina merasa ada yang aneh dengan tangan kanannya—sampai sekarang masih diingatnya rasa aneh itu—dan dia tahu bahwa tangannya telah patah. Teringat Nina akan peringatan ibunya tadi, tentang kalau jatuh tangan bisa patah. Karenanya, meski tak sanggup bangun, ia diam saja. Tak berani bersuara, takut ketahuan ibu.

Entah berapa lama dia dalam posisi itu sebelum akhirnya ditemukan ibu. Amarhum ibu dulu sempat bercerita bahwa ketika sedang seru-serunya bermain dengan ketiga anak lelakinya di kamar, beliau tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah. Karena, terlalu sepi di luar kamar, tak ada suara apapun dari Nina.

Meski tak ingat bagaimana ia ditemukan sang ibu, tapi Nina ingat beberapa hal berikutnya. Ayah yang buru-buru pulang dari tempat dinasnya, masih memakai seragam AURI, segera memboyong Nina. Awalnya ke dokter anak di daerah Polonia—daerah rumahnya dulu—di Jakarta Timur. Nina tidak turun dari mobil, sepertinya ayah hanya berkonsultasi sebentar saja. Lalu mereka menuju ke rumah sakit umum pusat yang sekarang disebut RSCM.

Waktu itu, awal 1966, situasi di Jakarta sangat mencengkam. Di mana sedang berlangsung serangkaian demonstrasi Tritura yang dimotori oleh organisai-organisasi mahasiswa dan pelajar di Jakarta. Ayah seharusnya berjaga di kantor. Berkat Nina, beliau terpaksa harus meninggalkan pos-nya. Mengurusi anak perempuan satu-satunya nan badung itu...

Tentu Nina tak ingat bagaimana gawat daruratnya situasi malam itu, tapi dia ingat bagaimana pada akhirnya tangannya di-gips. Bagaimana aroma adonan gips, bagaimana dingin di tangan terasa ketika adonan basah tersebut menyentuh tangan patahnya. Semua ingatan itu masih tersimpan rapih dalam kotak rekaman di kepala Nina.

Pada masa itu Nina tidur di tempat tidur anak-anak yang berkaki tinggi dan berpagar. Supaya Nina yang tidurnya lasak tak jatuh dalam lelapnya. Kira-kira seminggu setelah tangan kanannya patah, suatu siang, Nina yang terkungkung di tempat tidur berpagarnya itu ingin pipis. Tak ada guna minta bantuan pada kakaknya, sebab, sang kakak yang hanya berusia satu setengah tahun lebih tua itu sama tak berdayanya. Bukannya berteriak memanggil ibu, Nina memilih memanjat pagar tempat tidur. Tentunya, dengan hanya berpegangan dengan tangan kirinya yang bebas dari gips.

Lalu, ia terjatuh. Lagi. Menyusul tangan kanannya, yang kiri pun patah jua adanya.

Episode tangan patah ini bukan satu-satunya epic fall dalam masa kecil Nina. Ada satu lagi kejadian, yang sepertinya terjadinya sebelum tangannya patah.

Suatu hari, Nina dan dua dari tiga sekandung laki-lakinya bepergian dengan ayah. Naik mobil dinas jeep willys atap kanvas. Entah bagaimana, Nina dapat kesempatan duduk di kursi depan, sementara dua saudara laki-lakinya duduk di belakang.

Dua anak laki-laki yang duduk di belakang itu ribut saja. Saat mobil melaju dari arah Jl. Jend. Sudirman menuju ke Jl. Gatot Subrotodi di tanjakan lengkung Semanggi—di posisi yang sekarang berada di depan Plasa Semanggi—ricuh perkelahian di belakang terdengar semakin meninggi. Ayah cepat menengok ke belakang, bermaksud untuk memarahi mereka. Pada saat sedang menggerakan kepalanya itu, ayah melihat bahwa anaknya yang perempuan sedang sibuk mempermainkan kait pengunci pintu jip.

Sehabis memarahi anak-anak laki-lakinya ayah lalu menengok ke Nina untuk menyuruhnya berhenti memainkan kait pintu. Takut nanti Nina jatuh. Tapi, yang ayah temukan adalah kursi depan yang kosong tanpa Nina. Sementara pintu jip yang terbuka tampak melambai-lambai. Dengan panik ayah menghentikan mobilnya. Beberapa puluh meter jaraknya dari mobil, dilihatnya Nina terbengong-bengong dalam posisi bertumpu di kedua lutut dn kedua tangannya.

"Aku juga masih ingat waktu menggelinding itu, Moy," kenang Nina, "pemandangannya terang gelap, terang gelap, begitu".

Pasti menggelindingnya kencang tuh! Mengingat mobil saat itu sedang menanjak di putaran Semanggi sementara Nina jatuh ke arah sebaliknya. Menurun.

Tak ada luka serius atau tulang yang patah, untungnya. Biarpun pedis di sekujur badan luar biasa rasanya. Semakin pedis saja ketika di rumah luka beset-beset itu diobati bukannya dengan obat merah biasa, tapi dengan yodium tingtur (iodine tincture) yang berasal dari kotak P3K militer punya sang ayah.

Untunglah kejadiannya masih di sekitar pertengahan 1960-an. Masa ketika jembatan Semanggi masih sepi. Bukan terjadi pada masa-masa sekarang di mana kendaraan umum macam bis kota, kopaja, metromini; berderu seolah tanpa rem...

"Tapi, kalau kejadiannya sekarang-sekarang ini juga pun mungkin nggak apa-apa, Moy. Aku nggak akan cedera parah. Yang namanya Semanggi kan macet mulu sampai-sampai mobil-mobil cuman bisa diem berjam-jam," kata Nina.

Ya terserah deh... §



 Kaki Nina yang terluka itu...

No comments:

Post a Comment