Suatu hari Minggu, bermaksud
makan siang di Kalcit, Nina turun di stasiun Duren Kalibata. Namanya lapar, ngebut saja dia melangkah. Kalcit kan nggak dekat-dekat amat jaraknya dari
stasiun, demikian menurut Nina, maka harus ngebut.
Cepat! Cepat! Cepat!
Saat melintasi jalur keluar
stasiun, sudut mata Nina menangkap sesosok mungil berbalut kaus jambon di sisi
kanan. Langkah Nina tak segera terhenti, sebab lapar begitu mencengkeram.
Sekilas tadi Nina juga lihat bahwa di dekat sosok mungil itu ada bando-bando
cantik yang tersangkut di sebentuk boks plastik. Kakak Bycan cucunya Nina kan suka dengan bando. Tapi, nanti saja deh, “sehabis makan”, begitu pikir Nina.
Lapar, nih! Tapi, belum tentu kan sosok tersebut masih ada nantinya,
bisik hati Nina yang sebelah sana. Lagi pula, Nina sedang kehabisan persediaan
bando untuk kakak Bycan. Maka, Nina pun memutar langkah dan kembali ke jalur keluar
tadi. Mendekati sosok mungil yang adalah seorang ibu paruh baya.
Ibu itu tersenyum menyambut
Nina yang balas tersenyum. Boks plastik tempat bando-bando cantik tersangkutkan
berisi sejumlah benang wol imitasi dan berbagai mote. Variasi warna-warninya
meriah dan cerah. Ada juga beberapa bunga rajutan dan perangkat lainnya.
Sebagai pelaku kriya, Nina senang melihat itu semua. Tambah semangat hatinya
untuk membeli.
“Waduh, bandonya
cantik-cantk semua!” jerit Nina dalam hati.
Nina akhirnya memilih dua
buah bando. Ah, bukan memilih sebenanrya. Karena bingung, Nina hanya meraih dua
bando itu secara acak belaka. Rasanya ingin membeli lebih, tapi hari ini ada
urusan sehingga baru malam bisa pulang. Takut bunga-bunga rajut nan cantik itu pada
penyet bila terlalu lama tersimpan
dalam ranselnya yang sesak. Mungkin lain kali ya, pikir Nina, karena itu, ia
merasa perlu untuk bertanya sesuatu dan lain hal pada si ibu mungil itu.
“Ibu setiap hari ada di
sini?” tanya Nina.
“Iya, biasanya kalau hari
kerja jam empat sore saya ke sini, “ jawabnya.
Dia berkata bahwa tak jauh
dari stasiun terdapat sebuah sekolah tinggi entah bidang ekonomi atau apa, yang
tampaknya menjadi harapan dn ssarannya dalam memperoleh calon pembeli pekerjaan
tangannya.
“Nama ibu siapa?” lanjut
Nina bertanya.
“Jeminem”
“Juminem, ya,” Nina
mengulang seraya mencoba untuk menanamkan dalam ingatannya.
“Jeminem. Dengan ‘Je’, bukan
‘Ju’. Jeminem,” si ibu sabar menjelaskan.
Aduh, salah! “Oh!” sahut
Nina rada malu-malu.
Ibu Jeminem lalu menjelaskan
bahwa dia tinggal di kompleks Polri Pangadegan yang tak terlalu jauh jaraknya
dari stasiun KRL Duren Kalibata.
"Tanya aja Ibu Jeminem
bando, orang tahu semua," katanya.
Nina mencatat
keterangan-keterangan Ibu Jeminem dalam hatinya dengan hati-hati.
"Ini bando antipatah.
Bisa dicuci," jelasnya lagi sambil mengemas bando-bando tersebut ke dalam
kantong plastik hitam kecil—sebenarnya Nina ingin menolak kantong plastik itu,
tapi apa boleh buat sebab buat perlu juga untuk melindungi bando-bando belian agar
tak kotor atau rusak.
Nina lalu membayar
belanjaannya, sambil mengucakan terima kasih.
“Sampai ketemu lagi, Bu.
Semoga dagangannya banyak laku...,” salam Nina sebelum berlalu.
Nina benar-benar berharap
bisa bertemu lagi. Selalu perlu ada persediaan bando sih...
Tak terlalu lama kemudian,
saat makan, Nina mulai menyesal kenapa hanya membeli dua buah bando. Sebab, entah
kapan lagi ia bisa mampir ke situ pada saat yang sama dengan hadirnya Ibu
Jeminem di tempat itu. Yah, menyesal belakangan itu tidak ada gunanya, Nina...
No comments:
Post a Comment