Monday, April 21, 2014

Bando-bando Cantik Ibu Jeminem



Suatu hari Minggu, bermaksud makan siang di Kalcit, Nina turun di stasiun Duren Kalibata. Namanya lapar, ngebut saja dia melangkah. Kalcit kan nggak dekat-dekat amat jaraknya dari stasiun, demikian menurut Nina, maka harus ngebut. Cepat! Cepat! Cepat!

Saat melintasi jalur keluar stasiun, sudut mata Nina menangkap sesosok mungil berbalut kaus jambon di sisi kanan. Langkah Nina tak segera terhenti, sebab lapar begitu mencengkeram. Sekilas tadi Nina juga lihat bahwa di dekat sosok mungil itu ada bando-bando cantik yang tersangkut di sebentuk boks plastik. Kakak Bycan cucunya Nina kan suka dengan bando. Tapi, nanti saja deh, “sehabis makan”, begitu pikir Nina. Lapar, nih! Tapi, belum tentu kan sosok tersebut masih ada nantinya, bisik hati Nina yang sebelah sana. Lagi pula, Nina sedang kehabisan persediaan bando untuk kakak Bycan. Maka, Nina pun memutar langkah dan kembali ke jalur keluar tadi. Mendekati sosok mungil yang adalah seorang ibu paruh baya.

Ibu itu tersenyum menyambut Nina yang balas tersenyum. Boks plastik tempat bando-bando cantik tersangkutkan berisi sejumlah benang wol imitasi dan berbagai mote. Variasi warna-warninya meriah dan cerah. Ada juga beberapa bunga rajutan dan perangkat lainnya. Sebagai pelaku kriya, Nina senang melihat itu semua. Tambah semangat hatinya untuk membeli.

“Waduh, bandonya cantik-cantk semua!” jerit Nina dalam hati.

Nina akhirnya memilih dua buah bando. Ah, bukan memilih sebenanrya. Karena bingung, Nina hanya meraih dua bando itu secara acak belaka. Rasanya ingin membeli lebih, tapi hari ini ada urusan sehingga baru malam bisa pulang. Takut bunga-bunga rajut nan cantik itu pada penyet bila terlalu lama tersimpan dalam ranselnya yang sesak. Mungkin lain kali ya, pikir Nina, karena itu, ia merasa perlu untuk bertanya sesuatu dan lain hal pada si ibu mungil itu.

“Ibu setiap hari ada di sini?” tanya Nina.

“Iya, biasanya kalau hari kerja jam empat sore saya ke sini, “ jawabnya.

Dia berkata bahwa tak jauh dari stasiun terdapat sebuah sekolah tinggi entah bidang ekonomi atau apa, yang tampaknya menjadi harapan dn ssarannya dalam memperoleh calon pembeli pekerjaan tangannya.

“Nama ibu siapa?” lanjut Nina bertanya.

“Jeminem”

“Juminem, ya,” Nina mengulang seraya mencoba untuk menanamkan dalam ingatannya.

“Jeminem. Dengan ‘Je’, bukan ‘Ju’. Jeminem,” si ibu sabar menjelaskan.

Aduh, salah! “Oh!” sahut Nina rada malu-malu.

Ibu Jeminem lalu menjelaskan bahwa dia tinggal di kompleks Polri Pangadegan yang tak terlalu jauh jaraknya dari stasiun KRL Duren Kalibata.

"Tanya aja Ibu Jeminem bando, orang tahu semua," katanya.

Nina mencatat keterangan-keterangan Ibu Jeminem dalam hatinya dengan hati-hati.

"Ini bando antipatah. Bisa dicuci," jelasnya lagi sambil mengemas bando-bando tersebut ke dalam kantong plastik hitam kecil—sebenarnya Nina ingin menolak kantong plastik itu, tapi apa boleh buat sebab buat perlu juga untuk melindungi bando-bando belian agar tak kotor atau rusak.

Nina lalu membayar belanjaannya, sambil mengucakan terima kasih.

“Sampai ketemu lagi, Bu. Semoga dagangannya banyak laku...,” salam Nina sebelum berlalu.

Nina benar-benar berharap bisa bertemu lagi. Selalu perlu ada persediaan bando sih...

Tak terlalu lama kemudian, saat makan, Nina mulai menyesal kenapa hanya membeli dua buah bando. Sebab, entah kapan lagi ia bisa mampir ke situ pada saat yang sama dengan hadirnya Ibu Jeminem di tempat itu. Yah, menyesal belakangan itu tidak ada gunanya, Nina...







No comments:

Post a Comment