(Tulisan ini diterbitkan secara terbatas dengan sedikit editing pada 19 Maret 2014, untuk melengkapi acara proses pemasangan rangkaian bangau origami karya si Nina di Tarumanegara Knowledge Centre, Universitas Tarumanegara, Jakarta. Karya yang berjudul Nafas Kedua ini merupakan bagian dari sebuah proyek seru Grogol 11440)
Nina itu suka banget sama segala yang berbau
jepang-jepangan (Nina: “Sebutannya, suka akan unsur-unsur budaya Jepang, Moy!” Bodo...). Ada banyak hal yang dia sukai
sebenarnya, salah satunya adalah origami. Yaitu, seni melipat kertasnya Jepang.
Favoritnya adalah yang berbentuk bangau. Dia suka dengan bentuknya yang anggun
itu. Dalam pandangan Nina, bangau adalah sang pembawa kehidupan. Berdasarkan
legenda bahwa bayi datang ke dalam sebuah keluarga dibawa oleh burung bangau.
Sementara, di dalam mitologi
Jepang bangau merupakan salah satu binatang suci yang dapat mencapai usia
sampai seribu tahun. Berangkat dari situ, terbetik legenda yang menyebutkan apabila
seseorang melipat bangau origami sejumlah seribu buah—disebut senbazuru—maka sang bangau suci akan
memenuhi permohonannya. Kesuksesan dalam pekerjaan, kebahagiaan dalam
perkawinan, kesehatan lahir bathin, kesembuhan dari penyakit.
Seribu bangau hasil lipatan
tersebut lalu direnteng menjadi empatpuluh untai. Tiap untai terdiri dari duapuluh
lima buah bangau origami. Untaian tersebut lalu disemat orang di kuil-kuil.
Berwarna-warni melambai-lambai sampai hilang warnanya dibawa waktu.
Indahnya...—tapi Nina hanya melihatnya di foto dari internet sebab dia beum
pernah ke Jepang hehe...
Senbazuru atau seribu
bangau origami menyeruak ke dunia internasional bersama kisah tragis Sadako
Sasaki, seorang anak perempuan duabelas tahun asal Hirsoshima. Usianya baru dua
tahun ketika sekutu menjatuhkan bom atom di kota kelahirannya. Rumahnya berjarak
sekitar satu kilometer dari ground zero
atau titik jatuhnya bom. Karena itu ia pun turut terpapar radiasi bom atom dan mmbuatnya
terjangkit leukemia. Sebagai upaya akhir untuk mencapai kesembuhan, Sadako
melipat bangau-bangau kertas. Namun, ketika baru mencapai sekitar enamratusan,
ajal telah menjemputnya. Sadako Sasaki meninggal dunia pada 25 Oktober 1955.
Terkisah bahwa teman-teman
sekolahnya yang merasa sedih atas kematiannya, melanjutkan kerja Sadako dalam melipat
kertas menjadi bangau origami. Sampai mencapai angka seribu, sebagai
penghormatan untuk teman mereka yang sudah tiada tersebut.
Versi lain dari kisah Sadako
menyatakan bahwa gadis tersebut sesungguhnya berhasil melengkapi bangau
origaminya sampai seribu. Namun, permohonannya tampaknya tak terpenuhi. Tapi
itu tak menghentikannya untuk terus melipat bangau sampai tiba ajalnya.
Patung Sadako yang memegang
bangau origami didirikan di Hiroshima
Peace Memorial Museum. Menjadi tempat di mana orang menyangkutkan rentengan
bangau origami pada hari raya obon untuk
mengenang para leluhur. (Obon adalah
hari raya ketika masyarakat Jepang memperingati leluhur mereka.)
Duh, sedih banget sih ceritanya. Dan, itu bukan sekedar dongeng lho, melainkan kejadian yang sesungguhnya. Doaku untuk kedamaian
arwah Sadako Sasaki...
Di periode kehidupannya sebelum
bertemu denganku—pada masa bahkan ketika aku belum lagi dilahirkan tuh—Nina adalah seorang perokok berat.
Separuh hidupnya dijalaninya secara demikian, sampai di satu titik muncul
keinginannya untuk berhenti. Dan, wahai!, ternyata berhasil. Itu kejadian pada
2009. Cara merokoknya Nina seperti sepur
begitu, artinya tangannya nyaris tak pernah berhenti dari memegang
batang-batang rokok menyala. Atau bungkusan rokok, atau korek api. Atau, uang
untuk membeli rokok—semuanya berhubungan dengan rokok ya. Pendek kata, selalu
saja ada kesibukan bagi jari jemari di kedua belah tangannya. Ketika merokok
tak lagi menjadi kebiasaannya, jari jemari itu bagaikan kehilangan pegangan.
Di lain sisi, Nina itu pengumpul
kertas-kertas tak keruan dan tak berguna yang ukurannya kecil-kecil. Macamnya
bon-bon belanja, tiket-tiket masuk entah ke mana, dan flyer-flyer yang sering
ditebar orang di jalan. Katanya sih, buat
dipakai sebagai kertas coret-coretan atau sejenisnya. Nina selalu merasa bahwa pasti
akan ada kegunaannya.Tapi, untuk sementara, ya jadi romel berantakan saja dahulu. Sampai jari-jemarinya menjadi lapar
kegiatan.
Kertas-kertas mungil
tersebut dipotong-potongnya ke bentuk bujur sangkar. Ukurannya beragam,
tergantung dari lebarnya bon atau sejenisnya itu. Cara demikian lebih simpel
daripada membuat semuanya ke dalam satu ukuran. Akan banyak bagian kertas yang
terbuang jadinya. “Sayang kan, Moy,” perjelas Nina. Lalu, dilipat-lipat deh menjadi bangau origami. Ukurannya
kecil-kecil saja tidak seperti umumnya bangau origami sebab materialnya pun
yang bekas bon-bon itu kecil-kecil kan.
Pokoknya, nggak pakai aturan lah.
Santai saja dia, seada-adanya bahan. Lalu, muncul lah tantangan untuk
menciptakan senbazuru. Karena senbazuru adalah sebuah permohonan, maka
diada-adakannya lah permohonan itu oleh Nina, Bunyinya, agar dia tetap kukuh pada
keputusannya dan sepanjang sisa umurnya tidak kembali menjadi perokok.
Hari-hari berbekal potongan
kertas persegi pun dimulai. Ketika ada waktu, atau sambil menunggu waktu, Nina
pun dengan mengisinya melipat kertas demi mencipta bangau. Di lakukannya di
ruang tunggu dokter gigi, dalam transportasi harian macam angkot, bis trans Jakarta, kereta commuter line. Di perjalanan dinas ke luar kota baik dengan pesawat
terbang atau pun dalam mobil. Di kapal laut saja yang belum. Bila orang mengisi
waktu bersibuk dengan gadget, Nina
dengan kertas-kertas bujursangkarnya—gadget-nya
disimpan dalam ransel sebab takut kecopetan. Tiap kali seratus bangau selesai, dironcenya
menjadi satu. Tahu-tahu sepuluh ronce bangau kertas sudah menggantung.
Banyak teman Nina yang
terkagum-kagum dengan kegigihan (eh?) Nina itu. Tapi, sesungguhnya, yang lebih
terkagum-kagum adalah Nina sendiri. Betapa tidak!? Ketika memulai ia berpikir
bahwa pasti akan memakan tahunan untuk menghasilkan seribu bangau origami.
Mengenal dirinya sendiri, dia tahu bahwa rasa bosan bisa kapan saja muncul.
Kalau sudah begitu, segalanya pasti akan ditinggalkan jauh sebelum jumlahnya mencapai
empat digit.
Lima tahun setelah kertas
pertamanya, hampir tujuh ribu bangau sudah dilipat Nina. Mungkin begitu ya
apabila berkriya diperlakukan sebagai
nafas kedua.
No comments:
Post a Comment