Monday, April 21, 2014

Bagaikan Nafas Kedua


(Tulisan ini diterbitkan secara terbatas dengan sedikit editing pada 19 Maret 2014, untuk melengkapi acara proses pemasangan rangkaian bangau origami karya si Nina di Tarumanegara Knowledge Centre, Universitas Tarumanegara, Jakarta. Karya yang berjudul Nafas Kedua ini merupakan bagian dari sebuah proyek seru Grogol 11440)




Nina itu suka banget sama segala yang berbau jepang-jepangan (Nina: “Sebutannya, suka akan unsur-unsur budaya Jepang, Moy!” Bodo...). Ada banyak hal yang dia sukai sebenarnya, salah satunya adalah origami. Yaitu, seni melipat kertasnya Jepang. Favoritnya adalah yang berbentuk bangau. Dia suka dengan bentuknya yang anggun itu. Dalam pandangan Nina, bangau adalah sang pembawa kehidupan. Berdasarkan legenda bahwa bayi datang ke dalam sebuah keluarga dibawa oleh burung bangau.

Sementara, di dalam mitologi Jepang bangau merupakan salah satu binatang suci yang dapat mencapai usia sampai seribu tahun. Berangkat dari situ, terbetik legenda yang menyebutkan apabila seseorang melipat bangau origami sejumlah seribu buah—disebut senbazuru—maka sang bangau suci akan memenuhi permohonannya. Kesuksesan dalam pekerjaan, kebahagiaan dalam perkawinan, kesehatan lahir bathin, kesembuhan dari penyakit.

Seribu bangau hasil lipatan tersebut lalu direnteng menjadi empatpuluh untai. Tiap untai terdiri dari duapuluh lima buah bangau origami. Untaian tersebut lalu disemat orang di kuil-kuil. Berwarna-warni melambai-lambai sampai hilang warnanya dibawa waktu. Indahnya...—tapi Nina hanya melihatnya di foto dari internet sebab dia beum pernah ke Jepang hehe...

Senbazuru atau seribu bangau origami menyeruak ke dunia internasional bersama kisah tragis Sadako Sasaki, seorang anak perempuan duabelas tahun asal Hirsoshima. Usianya baru dua tahun ketika sekutu menjatuhkan bom atom di kota kelahirannya. Rumahnya berjarak sekitar satu kilometer dari ground zero atau titik jatuhnya bom. Karena itu ia pun turut terpapar radiasi bom atom dan mmbuatnya terjangkit leukemia. Sebagai upaya akhir untuk mencapai kesembuhan, Sadako melipat bangau-bangau kertas. Namun, ketika baru mencapai sekitar enamratusan, ajal telah menjemputnya. Sadako Sasaki meninggal dunia pada 25 Oktober 1955.

Terkisah bahwa teman-teman sekolahnya yang merasa sedih atas kematiannya, melanjutkan kerja Sadako dalam melipat kertas menjadi bangau origami. Sampai mencapai angka seribu, sebagai penghormatan untuk teman mereka yang sudah tiada tersebut.

Versi lain dari kisah Sadako menyatakan bahwa gadis tersebut sesungguhnya berhasil melengkapi bangau origaminya sampai seribu. Namun, permohonannya tampaknya tak terpenuhi. Tapi itu tak menghentikannya untuk terus melipat bangau sampai tiba ajalnya.

Patung Sadako yang memegang bangau origami didirikan di Hiroshima Peace Memorial Museum. Menjadi tempat di mana orang menyangkutkan rentengan bangau origami pada hari raya obon untuk mengenang para leluhur. (Obon adalah hari raya ketika masyarakat Jepang memperingati leluhur mereka.)

Duh, sedih banget sih ceritanya. Dan, itu bukan sekedar dongeng lho, melainkan kejadian yang sesungguhnya. Doaku untuk kedamaian arwah Sadako Sasaki...

Di periode kehidupannya sebelum bertemu denganku—pada masa bahkan ketika aku belum lagi dilahirkan tuh—Nina adalah seorang perokok berat. Separuh hidupnya dijalaninya secara demikian, sampai di satu titik muncul keinginannya untuk berhenti. Dan, wahai!, ternyata berhasil. Itu kejadian pada 2009. Cara merokoknya Nina seperti sepur begitu, artinya tangannya nyaris tak pernah berhenti dari memegang batang-batang rokok menyala. Atau bungkusan rokok, atau korek api. Atau, uang untuk membeli rokok—semuanya berhubungan dengan rokok ya. Pendek kata, selalu saja ada kesibukan bagi jari jemari di kedua belah tangannya. Ketika merokok tak lagi menjadi kebiasaannya, jari jemari itu bagaikan kehilangan pegangan.

Di lain sisi, Nina itu pengumpul kertas-kertas tak keruan dan tak berguna yang ukurannya kecil-kecil. Macamnya bon-bon belanja, tiket-tiket masuk entah ke mana, dan flyer-flyer yang sering ditebar orang di jalan. Katanya sih, buat dipakai sebagai kertas coret-coretan atau sejenisnya. Nina selalu merasa bahwa pasti akan ada kegunaannya.Tapi, untuk sementara, ya jadi romel berantakan saja dahulu. Sampai jari-jemarinya menjadi lapar kegiatan.

Kertas-kertas mungil tersebut dipotong-potongnya ke bentuk bujur sangkar. Ukurannya beragam, tergantung dari lebarnya bon atau sejenisnya itu. Cara demikian lebih simpel daripada membuat semuanya ke dalam satu ukuran. Akan banyak bagian kertas yang terbuang jadinya. “Sayang kan, Moy,” perjelas Nina. Lalu, dilipat-lipat deh menjadi bangau origami. Ukurannya kecil-kecil saja tidak seperti umumnya bangau origami sebab materialnya pun yang bekas bon-bon itu kecil-kecil kan. Pokoknya, nggak pakai aturan lah. Santai saja dia, seada-adanya bahan. Lalu, muncul lah tantangan untuk menciptakan senbazuru. Karena senbazuru adalah sebuah permohonan, maka diada-adakannya lah permohonan itu oleh Nina, Bunyinya, agar dia tetap kukuh pada keputusannya dan sepanjang sisa umurnya tidak kembali menjadi perokok.

Hari-hari berbekal potongan kertas persegi pun dimulai. Ketika ada waktu, atau sambil menunggu waktu, Nina pun dengan mengisinya melipat kertas demi mencipta bangau. Di lakukannya di ruang tunggu dokter gigi, dalam transportasi harian macam angkot, bis trans Jakarta, kereta commuter line. Di perjalanan dinas ke luar kota baik dengan pesawat terbang atau pun dalam mobil. Di kapal laut saja yang belum. Bila orang mengisi waktu bersibuk dengan gadget, Nina dengan kertas-kertas bujursangkarnya—gadget-nya disimpan dalam ransel sebab takut kecopetan. Tiap kali seratus bangau selesai, dironcenya menjadi satu. Tahu-tahu sepuluh ronce bangau kertas sudah menggantung.

Banyak teman Nina yang terkagum-kagum dengan kegigihan (eh?) Nina itu. Tapi, sesungguhnya, yang lebih terkagum-kagum adalah Nina sendiri. Betapa tidak!? Ketika memulai ia berpikir bahwa pasti akan memakan tahunan untuk menghasilkan seribu bangau origami. Mengenal dirinya sendiri, dia tahu bahwa rasa bosan bisa kapan saja muncul. Kalau sudah begitu, segalanya pasti akan ditinggalkan jauh sebelum jumlahnya mencapai empat digit.

Lima tahun setelah kertas pertamanya, hampir tujuh ribu bangau sudah dilipat Nina. Mungkin begitu ya apabila berkriya  diperlakukan sebagai nafas kedua.







No comments:

Post a Comment