Aku sudah tak ingat lagi siapa ibuku. Aku bahkan sudah tak ingat
bagaimana aku bisa terdampar di jalan kecil di tengah-tengah rumah susun Tanah
Abang. Mungkin aku dibuang oleh orang yang tidak bertanggungjawab, sebagaimana yang sering dilakukan orang
di areal rumah susun ini. Belum tentu mereka itu adalah penghuni rumah susun ya, namun, yang pasti rumah susun
sepertinya menjadi sasaran strategis untuk membuang anak-anak kucing mungil
manis nan menggemaskan seperti aku ini.
Yah, apa sih yang aku ingat?
Cerita tentangku ini pun hanya aku dengar-dengar saja dari apa yang selalu
dikatakan oleh peliharaanku si Nina itu. Sepertinya dia bisa sedikit
dipercaya—asal jangan banyak-banyak,
jadi, mengenai sejarah hidupku ini, aku akan berpegang pada kata-katanya.
Kata-kata yang juga bukannya diceritakannya secara langsung kepadaku lho. Tapi, kerap digembar-gemborkannya
kepada teman-temannya. Dengan kebanggaan yang ajaib, tentunya. Tanpa sadar
kalau aku juga turut mendengarkannya. Hihihihihi...
Kata Nina, waktu itu hari baru beranjak ke malam. Magrib, istilahnya.
Malam natal tanggal 24 Desember 2010. Nina yang baru pulang entah dari mana,
melihat dalam keremangan di jarak beberapa puluh meter dari tempatnya berada,
sesosok kecil mahluk yang lari-lari dengan gerak cepat mengikuti orang-orang.
Tiap kali orang yang diikuti si kecil itu berteriak mengusir dengan
"hush!!! hush!!!" begitu, ia berpindah mengejar orang yang lain. Begitu berulang kali.
"Aku sempat berpikir itu tikus got, lho, tapi geraknya terlalu lincah," cerita Nina pada temannya
di suatu hari melalui telepon genggamnya—kurangajar, masakan aku disamakan dengan tikus got!?
Tapi, yang penting, Nina lah yang menanggapi aku. Aku tidak melihatnya
ketika dia mendatangiku. Karena, pandanganku saat itu sedang
mengarah ke orang terarkhir
yang mengusirku. Tahu-tahu saja aku tersauk sebilah telapak tangan. Badanku
tertampung sepenuhnya dalam telapak tangan itu. Ada rasa gembira dan lega maka
sembari memeluk pergelangan tangannya, diesel-ku pun berbunyi. Aku pun berhenti
mengeong-ngeong.
Catatan, diesel adalah istilah yang 'diciptakan' oleh almarhum ayah si
Nina untuk suara dengkur kucing. Entah itu kreatif atau mungkin bahkan sama
sekali tak imajinatif, aku tak tahu. Tapi, aku paham kenapa diesel yang dijadikan
perumpamaan. Sebab, almarhum ayah si Nina itu adalah seorang ahli listrik—demikian
pengakuan Nina
Lanjut cerita, Nina membawaku ke lantai tiga rumah susun kontrakannya.
Wah, senangnya!—ssst...,
jangan kasih tahu Nina kalau aku merasa senang ya. Sesampainya di dalam,
setelah pintu dikuncinya, Nina menurunkan aku di lantai rumah-susunnya yang
berlapis karpet vinyl. Aku takjub dengan rumah yang penuh dengan barang ini.
Aku langsung menjelajah, dan segera menemukan tempat-tempat asik untuk bersembunyi.
Yang bikin asik tepatnya adalah, kalau aku lagi bersembunyi, Nina
menjadi panik. Maka ia lalu memanggil-manggil sepeti ini, "pus pus
pus...". Kalau aku yang masih blo'on
ini lalu terpancing keluar, Nina akan dengan terkagum-kagum berkomentar,
"waaah, kamu ngumpet di sana
ya...". Dan, tempat yang asik-asik itu pun menjadi tidak asik lagi karena
Nina jadi tahu ke mana harus mencariku bila ku menghilang lagi.
Namun, yang sebenarnya paling asik untukku adalah matras tempat Nina
tidur. Di situ ada beberapa boneka kecil, dan aku bisa tidur menyamar menjadi
salah satu dari boneka kecil itu. Aku juga suka tidur di pinggiran alas matras.
Lebih sejuk rasanya. Di situ lah aku tidur di malam pertama aku jadi roommate-nya Nina, dan segera tempat itu menjadi tempat favorit-ku. Biar pun
sering-sering aku harus berebut tempat dengan barang-barang macam komik atau
kain-kain perca-nya, atau entah apa lagi itu.
Aku suka posisi itu sebab tempat itu sejajar dengan bantal Nina. Kalau
Nina yang tidurnya keseringan menyamping sedang berada di posisi menghadap ke
kiri, matanya akan sejajar dengan posisiku tiduran. Itu penting! Penting bagiku
untuk selalu berada di dalam lingkup pandang matanya Nina.
Tapi, Nina juga sering berpindah posisi ke arah sebaliknya. Tapi lagi,
tak masalah... Aku ya ikut-ikutan pindahan saja, ke pinggir sebelah sananya
matras. Mepet dengan tembok tiada mengapa. Toh aku kucing. Badanku lumayan
fleksibel, dan tempat sempit selalu menarik perhatianku—kata Nina lagi. Yang penting aku bisa terus in-frame dalam pandangan mata Nina.
No comments:
Post a Comment