Saturday, April 19, 2014

Awal Mulanya



Aku sudah tak ingat lagi siapa ibuku. Aku bahkan sudah tak ingat bagaimana aku bisa terdampar di jalan kecil di tengah-tengah rumah susun Tanah Abang. Mungkin aku dibuang oleh orang yang tidak bertanggungjawab, sebagaimana yang sering dilakukan orang di areal rumah susun ini. Belum tentu mereka itu adalah penghuni rumah susun ya, namun, yang pasti rumah susun sepertinya menjadi sasaran strategis untuk membuang anak-anak kucing mungil manis nan menggemaskan seperti aku ini.

Yah, apa sih yang aku ingat? Cerita tentangku ini pun hanya aku dengar-dengar saja dari apa yang selalu dikatakan oleh peliharaanku si Nina itu. Sepertinya dia bisa sedikit dipercaya—asal jangan banyak-banyak, jadi, mengenai sejarah hidupku ini, aku akan berpegang pada kata-katanya. Kata-kata yang juga bukannya diceritakannya secara langsung kepadaku lho. Tapi, kerap digembar-gemborkannya kepada teman-temannya. Dengan kebanggaan yang ajaib, tentunya. Tanpa sadar kalau aku juga turut mendengarkannya. Hihihihihi...

Kata Nina, waktu itu hari baru beranjak ke malam. Magrib, istilahnya. Malam natal tanggal 24 Desember 2010. Nina yang baru pulang entah dari mana, melihat dalam keremangan di jarak beberapa puluh meter dari tempatnya berada, sesosok kecil mahluk yang lari-lari dengan gerak cepat mengikuti orang-orang. Tiap kali orang yang diikuti si kecil itu berteriak mengusir dengan "hush!!! hush!!!" begitu, ia berpindah mengejar orang yang lain. Begitu berulang kali.

"Aku sempat berpikir itu tikus got, lho, tapi geraknya terlalu lincah," cerita Nina pada temannya di suatu hari melalui telepon genggamnya—kurangajar, masakan aku disamakan dengan tikus got!?

Tapi, yang penting, Nina lah yang menanggapi aku. Aku tidak melihatnya ketika dia mendatangiku. Karena, pandanganku saat itu sedang mengarah ke orang terarkhir yang mengusirku. Tahu-tahu saja aku tersauk sebilah telapak tangan. Badanku tertampung sepenuhnya dalam telapak tangan itu. Ada rasa gembira dan lega maka sembari memeluk pergelangan tangannya, diesel-ku pun berbunyi. Aku pun berhenti mengeong-ngeong.

Catatan, diesel adalah istilah yang 'diciptakan' oleh almarhum ayah si Nina untuk suara dengkur kucing. Entah itu kreatif atau mungkin bahkan sama sekali tak imajinatif, aku tak tahu. Tapi, aku paham kenapa diesel yang dijadikan perumpamaan. Sebab, almarhum ayah si Nina itu adalah seorang ahli listrik—demikian pengakuan Nina

Lanjut cerita, Nina membawaku ke lantai tiga rumah susun kontrakannya. Wah, senangnya!—ssst..., jangan kasih tahu Nina kalau aku merasa senang ya. Sesampainya di dalam, setelah pintu dikuncinya, Nina menurunkan aku di lantai rumah-susunnya yang berlapis karpet vinyl. Aku takjub dengan rumah yang penuh dengan barang ini. Aku langsung menjelajah, dan segera menemukan tempat-tempat asik untuk bersembunyi.

Yang bikin asik tepatnya adalah, kalau aku lagi bersembunyi, Nina menjadi panik. Maka ia lalu memanggil-manggil sepeti ini, "pus pus pus...". Kalau aku yang masih blo'on ini lalu terpancing keluar, Nina akan dengan terkagum-kagum berkomentar, "waaah, kamu ngumpet di sana ya...". Dan, tempat yang asik-asik itu pun menjadi tidak asik lagi karena Nina jadi tahu ke mana harus mencariku bila ku menghilang lagi.

Namun, yang sebenarnya paling asik untukku adalah matras tempat Nina tidur. Di situ ada beberapa boneka kecil, dan aku bisa tidur menyamar menjadi salah satu dari boneka kecil itu. Aku juga suka tidur di pinggiran alas matras. Lebih sejuk rasanya. Di situ lah aku tidur di malam pertama aku jadi roommate-nya Nina, dan segera tempat itu menjadi tempat favorit-ku. Biar pun sering-sering aku harus berebut tempat dengan barang-barang macam komik atau kain-kain perca-nya, atau entah apa lagi itu.

Aku suka posisi itu sebab tempat itu sejajar dengan bantal Nina. Kalau Nina yang tidurnya keseringan menyamping sedang berada di posisi menghadap ke kiri, matanya akan sejajar dengan posisiku tiduran. Itu penting! Penting bagiku untuk selalu berada di dalam lingkup pandang matanya Nina.

Tapi, Nina juga sering berpindah posisi ke arah sebaliknya. Tapi lagi, tak masalah... Aku ya ikut-ikutan pindahan saja, ke pinggir sebelah sananya matras. Mepet dengan tembok tiada mengapa. Toh aku kucing. Badanku lumayan fleksibel, dan tempat sempit selalu menarik perhatianku—kata Nina lagi. Yang penting aku bisa terus in-frame dalam pandangan mata Nina.

No comments:

Post a Comment